HISTORIOGRAFI
ISLAM
(Tinjauan
Kritis Terhadap “Muqoddimah” Ibnu Khaldun)
Oleh :
Agus Jaya
Pendahuluan
Bangsa Arab sebagai sebuah bangsa yang
terkenal dengan kemampuan yang luar biasa dalam menggubah sya’ir, dan
sya’ir-sya’ir mereka diperlombakan, kemudian pemenang dari perlombaan tersebut
akan mendapatkan penghormatan dengan digantungnya karya yang telah dihasilkan
pada dinding Ka’bah. Melalui tradisi sastra inilah diketahui beberapa
peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi. dan nilai-nilai yang meyertai
peristiwa penting itu juga mereka abadikan melalui kisah, dongeng, nasab,
nyanyian, sya’ir dan sebagainya.
Demikian juga dengan para sejarawannya,
mereka berusaha merekam setiap peristiwa penting[1]
yang terjadi, dan mereka senantiasa eksis dengan masalah-masalah relevan untuk
dikaji yang mereka suguhkan. Karena itu mempelajari, menelaah dan merenungkan
masalah-masalah yang mereka kemukakan tetap urgen terutama dalam rangka
menanggulangi problem nyata yang kita hadapi. Ide-ide para sejarawan dan
pemikir muslim, seperti, Ibnu Ishaq, at-Thobari, al Mas’udi, al-Biruni dan Ibnu
Khaldun, serta para sejarawan lainnya. Pemikiran mereka dengan konpleksitasnya
telah berusia berabad-abad, namun tetap saja eksis untuk dikaji dan diteliti,
maka dalam makalah ini, penulis akan fokus membahas historiografi Islam dan Muqoddimah
sebagai sebuah buku sejarah monumental yang menjadi bagian dari historiografi
Islam itu sendiri yang telah dilahirkan dari seorang sejarawan muslim abad abad
pertengahan.[2]
Pengertian Historiografi
Kata ”historiografi”merupakan gabungan
dari dua kata, yaitu history yang berarti sejarah dan grafi yang
berarti deskripsi/penulisan[3].
History berasal dari kata benda Yunani ”istoria” yang
berarti ilmu. Yang pada perkembangan selanjutnya lebih banyak diguunakan ntuk
pemaparan mengenai gejala-gejala, terutamam tentang keadaan manusia, dalam
urutan kronologis.[4]
Sedang ”History” berarti arti masa ;ampau umat manusia.
Sejarah memiliki dua pengertian, yaitu
sebagai kejadian yang terjadi pada masa lampau dan sejarah sebagai ilmu, pada
defenisi diatas sejarah hanya dipahami sebagai kejadian yang terjadi pada masa
lampau sehingga untuk mewakili pemahaman bahwa sejarah sebagai sebuah disiplim
ilmu, Taufik Abdllah meletakkan beberapa batasan tertentu tentang peristiwa
masa lampau tersebut,[5]
yaitu :
1.
pembatasan
menyangkut waktu. Konsensus sejarah menetapkan bahwa sejarah bermula ketika
bukti-bukti sejarah tertulis telah ditemukan. Sedang sebelum adanya bukti
tersebut masuk dalam kategori ”prasejarah”.
2.
pembatasan
tentang peristiwa. Hanya peristiwa yang menyangkut manusia yang menjadi objek
sejarah
3.
pembatasan
tempat. Agar menjadi ilmu maka tempat kejadian sebuah peristiwa menjadi bagian
yang tidak terpisah sehingga bisa menjadi objek penelitian.
4.
seleksi.
Tidak semua peristiwa yang terjadi pada manusia termasuk dalam kategori
sejarah, semua kejadian tersebut bisa dianggap sejarah jika bisa digabung
sehingga membentuk bagian-bagian dari suatu proses, atau dinamika yang menjadi
perhatian sejarawan.
Dari uraian diatas bisa dipahami bahwa
penulisan sejarah adalah usaha merekonstruksi peristiwa yang terjadi dimasa
lampau. Dan penulisan tersebut baru bisa dikerjakan setelah melalui penelitian,
karena tanpa penelitian terlebih dahulu maka penulisan yang dilaksanakan hanya
akan menjadi sebuah catatan tanpa adanya pembuktian.
Historiografi Arab Pra Islam
Orang
Arab sebelum Islam dan pada awal kebangkitan Islam tidak menulis sejarah. Ada
dua faktor yang menyebabkan mereka tidak menulis sejarah tersebut. pertama,
karena mayoritas mereka adalah orang-orang yang buta aksara. Kedua, anggapan
mereka bahwa kekuatan mengingat lebih terhormat daripada menulis. Sehingga
semua peristiwa hanya diingat dan diceritakan berulang-ulang.
Adapun sejarah Arab pra Islam yang dapat
dipercaya adalah peninggalan-peninggalan arkeologis yang masih dapat ditemukan
didaerah Yaman, Hadhramaut, sebelah utara Hijaz dan sebelah selatan Syiria.
Untuk mengetahui secara mendalam sejarah
perjalanan dan warisan asli penduduk Jazirah Arab pada masa Jahiliyah, maka
hanya tradisi lisan yang bisa ditelusuri, karena orang-orang Arab pra Islam
telah mengenal tradisi yang menyerupai bentuk sejarah lisan tersebut, baik yang
dikenal dengan al Ayyam maupun al Ansab.
Ayyam al Arab
Adapun yang
dimaksud dengan ayyam al Arab perang-perang antar kabilah Arab.
Dikalangan kabilah Arab Jahiliyah sangat sering terjadi perang antar kabilah
baik disebabkan perselisihan untuk memilih pemimpin, perebutan sumber air dan
perebutan padang rumput untuk pengembalaan binatang ternak. Ayyam al Arab
sendiri secara etimologi memiliki arti hari-hari penting bangsa Arab. Disebut
demikian karena peperangan tersebut hanya tejadi disiang hari sementara pada
malam harinya mereka berhenti berperang dan beristiharat untuk menanti hari
esok dan melanjutkan perang kembali.[6]
Adapun isi dari ayyam
al Arab ini adalah perang-perang dan kemenangan-kemenangan, ntuk tjuan
membanggakan diri terhadap kabilah-kabilah yang lain. Informasi ini diabadikan
dalam bentuk syair mapun prosa-prosa yang diselingi syair-syair. Syair inilah
yang kemudian melestariakn perpindahan dan mendiseminasikan berita tersebut.
apabila syair itu terlupakan maka riwayat-riwayat kuno juga terlupakan. Hal
inilah yang memngkinkan sejarawan masa Islam mengetahui masa tentang Arab.
Meskipun demikian tidak seluruhnya menggambarkan kenyataan, berita itu tentu
bertolak dari realitas.
Meskipun al
Ayyam merupakan karya sastra yang mengandung informasi sejarah namun
peristiwa-peristiwa yang direkamnyatidak sistematis, terputus-putua dan setiap
informasi yang disampaikannya berdiri sendiri-sendiri dan tidak memperhatikan
wakt dan kronologinya serta tidak mempertimbangkan kausalitas sejarah dan
teori-teori sejarah tertentu.[7]
Ciri-ciri
umum ayyam al Arab
1. perhatian dicuarahkan pada kabilah Arab.
Dan kisah peperangan disampaikan secara lisan dalam bentuk prosa yang diselingi
syair
2. riwayat atau kisah kabilah diturunkan
secara lisan, sehingga menjadi milik bersama kabilah yang bersangkutan
3. tidak teraturnya kronologi dan waktu
4. objectifitasnya diragukan karena mengagungkan
satu kabilah dan merendahkan kabilah alin
5. disamping sebagian informasinya tidak
faktual, masih tetap bisa ditemukan fakta-fakta yang menunjukan kebenaran
sejarah.
Al Ansab
Yang dimaksud dari al Ansab adalah
silsilah. Orang-orang Arab sangat menjaga dan memperhatikan silsilah (geneology),
ketika itu pengetahuan tentang silsilah merupakan satu cabang pengethauan yang
dianggap sangat penting sehingga setiap kabilah menghafal seilsilahnya agar
silsilah tersebut teta murni dan menjadi kebanggaan terhadap kabilah lain.
Meskipun didalam al Ansab ada petuunjuk sejarah, namun tidak bisa dikatan bahwa
ini adalah ekspresi kesadaran bangsa Arab terhadap sejarah, karena :
1. pada masa pra Islam perhatian terhadap
silsalah belum mengambil tradisi tulis baru sebatas hafalan.
2. pengetahuan tentang silsilah akan lenyap
jika tidak ada yang menghafalnya
3. hafalan mereka tentang nasab-nasab
bercampur dengan mitos
4. tradisi ini tidak menyebar pada sejarah
”umum” yang \meliputi setiap kabilah, karena mereka memang belum mengenal tanah
air.
Perhatian orang-orang Arab terhadap nasab
semakin berlanjut, walaupun Rsulllah saw telah melarang umatnya untuk
berbangga-bangga dengan kabilah.
Aliran-aliran Penulisan Sejarah Masa Awal
Islam
Menurut
Husain Nashshar, penulisan sejarah di awal kebangkitan Islam bisa dibagi
menjadi tiga aliran yaitu : aliran Yaman, Aliran Madinah dan aliran Irak.[8]
- Aliran Yaman
Riwayat-riwayat
tentang Yaman di masa silam kebanyakan dalam bentuk hikayat (cerita). Isinya
adalah cerita-cerita khayal dan dongeng-dongeng kesukuan. Aliran ini merupakan
kelanjutan dari corak sejarah sebelum Islam. Penulis pada aliran ini bisa
dijuluki tukang hikayat sementara hasilnya bisa disebut sebagai novel sejarah.
Karenanya para sejarawan tidak menilai hikayat-hikayatnya memiliki nilai
sejarah.[9]
Diantara penulis
yang termasuk pada golongan ini adalah Ka’ab al Akhbar (wafat 32 H), Wahb ibn
Munabbih (wafat 114 H) dan Abid Ibn Syariyyah al Jurhumi.
- Aliran Madinah
Ilmu pengetahuan keagamaan Islam yang
pertama kali berkembang adalah ilmu hadits. Karena melalui ilmu hadits inilah
kaum muslimin pertama-tama mengetahui hukum-hukum Islam, penafsiran al Qur’an,
sunnah Rasulullah, keteladanan Rasulullah, dan lain sebagainya. Perkembangan
ilmu hadits ini berlangsung melalui periwayatan. Dari penulisan hadits-hadits
nabilah para sejarawan mengembangkan cakupannya sehingga membentuk satu tema
sejarah tersendiri, yaitu al maghazy (perang-perang yang dipimpin
langsung oleh Rasulullah), dan sirah an Nabawiyah (riwayat hidp nabi
Mhammad saw). Aliran yang muncul ini kemudian disebut dengan aliran Madinah,
yait alirah sejarah ilmiah yang mendalam yang banyak memfokuskan pada al
maghazi dan biografi Rasulullah saw. Dengan penekanan sisi sanad
sebagaimana pola ilmu hadits yang berkembang.
Sejalan dengan
riwayat perkembangannya, para sejarawan dalam aliran ini terdiri dari para ahli
hadits dan hukum fiqih. Perkembangan dan orientasi aliran Madinah ini sangat
ditentukan oleh usaha-usaha dari dua ulama dalam bidang ilmu fiqh dan hadits
yaitu ; Urwan bin az Zubair dan az Zuhri muridnya. Ditangan az Zuhri aliran
Madinah semakin berkembang. Murid-murid az |Zhri seperti Musa ibn Uqbah dan
Ibnu Ishaq melanjutkan langkahnya, tetapi sangat disayangkan bahwa Ibnu Ishak
banyak mengambil bahan sejarahnya dari isroiliyat[10]
sehingga nilai sejarah menjadi merosot kembali.
Sangat jelas bahwa
penulisan sejarah bermula dan sangat erat hubungannya dengan ilmu hadits,
bahkan dapat dikatan bahwa sejarah merupakan cabang dari ilmu hadits itu
sendiri. Langgamnya juga menggunakan langgam hadits. Dimana pemaparan
sejarahnya berkaitan tentang keadaan, peristiwa-peristiwa penting sejarah dalam
kehidupan Nabi dan kaum muslimin pertama. Dalam hal ini ada gagasan tentang
pentingnya pengetahuan tentang sirah an nabawiyah dan pengalaman umat
Islam.
Adapun orang yang
pertama kali membuat keangka jelas bagi penulisan as sirah adalah al
Zuhri. Ia telah menggariskan dengan jelas sehingga para sejarawan yang datang
setelahnya tinggal menyempurnakan kerangka tersebut dengan rinci. Dalam penulisannya
ini al Zuhri sangat memperhatikan kerangka kronologis sehingga ia menjelaskan
semenjak pra kenabian, priode Mekkah dan Madinah, selanjutnya ia juga
melengkapi karyanya dengan tahun kejadian sehingga mempermudah ntuk
merekonstruksi kembali kerangka karang buku al Zuhri.
Kajian sejarah al Zuhri tidak terbatas
pada al Maghazi, akan tetapi juga merambah al Ansab (nasab, garis
keturunan). Ia juga menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa apda masa khulafa
ar rasidin. Dalam kajian-kajiannya, al Zuhri selalu bersikap netral dan
obyektif. Meskipun ia telah lama bekerja di Istana Bani Umayyah di Damaskus,
akan tetapi pandangan-pandangan sejarahnya tidak terpengaruh oleh perkembangan
politk pada masa itu. Ia tetap merupakan seorang cendikiawan yang kritis.[11]
- Aliran Irak
Aliran ini lahir sesudah dua aliran
sebelumnya dengan bahasan yang lebih luas karena mencakup arus sejarah pra
Islam dan masa Islam. Dalam karya-karya sejarawan aliran ini, sejarah Irak
biasanya diuraikan lebih terperinci dan panjang, sedangkan yang berkenaan
dengna kota-kota lain hanya dibahasa sepintas.
Kelahiaran aliran sjarah ini sangat
dipengaruhi oleh aspek-aspek politik, sosial dan budaya Islam yang sedang tmbuh
di kota-kota dan komunitas-komunitas baru.
Langkah pertama yang sangat menetukan perkembangan
penulisan sejarah di Irak dilakkan oleh bangsa Arab adalah pembukuan tradisi
lisan sebagaimana yang dilakukan oleh Ubaidullah ibn Abi Rifa’i.
Karena cakupan
informasi dan subyek kajiannya lebih luas daripada dua aliran sebelumnya,
aliran Irak ini dapat diaktakan sebagai kebangkitan sebenarnya penulisan
sejarah sebagai ilmu.sejarah pada masa ini mulai melepaskan diri dari pengaruh
ilmu hadits dan bersamaan dengna itu terlihat adanya uaya meninggalkan pengaruh
pra Islam yang mengandung banyak ketidak benaran, sepeti dongeng dan cerita
khayal. Aliran ini selanjutnaya melahirkan sejarawan-sejarawan besar dan
diikuti oleh hampir seluruh sejarawan yang datang kemudian. Diantara para
sejarawan yang berasal dari aliran ini adalah Awanah bin al Hakam (wafat 147
H), Sayf bin Umar al Asadi at Tamimi (wafat 180 H) dan Abu Mikhnaf (wafat 157
H).
Corak Penulisan Sejarah Islam Klasik Dan Pertengahan
Corak penulisan sejarah
para sejarawan semenjak masa klasik hingga munculnya sejarawan sejarawan besar
dapat dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu :
- Khabar
Beberapa ciri yang
berkenaan dengan riwayat antara lain : pertama, antara satu riwayat
dengan riwayat lain tidak ada hubungan. Kedua, riwayat ditulis dalam
bentuk cerita dan terkadang dalam bentuk dialog. ketiga, riwayat-riwayat
tersebut kadang diselingi dengan syair untuk memperkuat isi khabar tersebut.
Setengah abad
setelah wafatnya Rasulullah saw kaum muslimin belum melahirkan tradisi menulis.
Pada masa itu riwayat berpindah dari satu orang keorang lain atau dari satu
generasi ke generasi berikutnya melalui tradisi lisan. Pada masa ini para
sejarawan tidak lebih dari sekedar menjadi perawi dan menuliskannya dalam
tulisan. Riwayat yang berdiri sendiri itulah yang dikenal dalam ilmu sejarah
sebagai khabar.
Al Mas’udi memuji at Thobary yang
mengkritik metode ini, ia berkata[12]
:
Karya sejarah Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al Thobari,
sebuah karya cemerlang melebihi karya-karya sejarah yang lain, telah menghimpun
beberapa macam khabar, meliputi berbagai peninggalan, berisi beragam ilmu.
Kitab ini adalah sebuah buku yang mempunyai faidah besar dan sangat bermanfaat.
- Hauliyat (kronologi berdasar tahun)
Priode sebelumnya,
para sejarawan muslim menuliskan sejarah dengan acak dan beratur (tidak
kronoligis), maka pada perkembangan selanjutnya para sejarawan menggunakan
metode penulisan : hauliyat (pelukisan sejarah berdasarkan tahun
kejadian). Adapun yang dimaksud dengan metode ini adalah penulisan sejarah yang
menggunakan pendekatan tahundemi tahun. Dalam metode ini bermaca macam
peristiwa dihimpun sesuai tahun kejadian peristiwa tersebut. apabila peristiwa
yang terjadi dalam tahun tersebut telah selesai dipaparkan maka akan beralih
ketahu berikutnya.at tobari adalah salah satu tokoh besar dalam kategori ini,
oleh banyak pemerhati sejarah ia dipandang sebagai sejawaran muslim pertama
yang menghasilkan metode hauliyat, yang terkenal dengan karyanya ”tarikh
al umam wa al mulk”.
Walaupn metode
penulisan ini telah mengalami kemajuan dari metode sebelunya namun tetap memiliki
kelemahan yaitu, terputusnya komunitas sejarah yang panjang dan memiliki
hubungan yang berkelanjutna dalam beberapa tahun. Sehingga sejarah tersebut
menjadi terpisah-pisah dan sulit untuk diadakan rekonstruksi kembali.
- Madhuiyat (tematik)
Melihat kesulitan
yang dihadapi dalam metode hauliyat maka Ibnu Atsir melontakan kritikan
terhadap metode tersebut dan mangajukan corak tematik sebagai alternatif. Walau
demikian, ia tidak termasuk sejarawan yang pertama menggunakan metode tematik
dalam karyanya, karena sebelumnya telah ada al Ya’qubi (wafat 284 H)
Sejarawan Muslim Era Klasik dan Pertengahan
a.
Al Thabari
Nama
lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir At Thobari. Kahir di Amul,
Tharabaristan tahun 224 H/839 M dan wafat di Baghdad tahun 310 H/923 M.[13]
Ia adalah
seorang sejarawan besar, ensiklopedis, ahli tafsir, ahli Qiroat, ahli hadits
dan ahli fiqih. Pada usia tujuh tahun ia telah hafal al Qur’an.
Metode Sejarah At Thabari
1. informasi yang disampaikannya senantias
abersandar pada riwayat.
2. menyebtkan sanad hingga sampai pada tangan
pertama
3. sistematika penulisan sejarahnya sesuai
kronologisnya (menggunakan metode hauliyat)
4. informasi sejarah yang tidak diketahui
tahunnya ditulisnya dengan menggunakan maudhui (tematik)
5. menyajikan teks-teks sastra seperti syait
dan pidato
b.
Al Mas’udi
Nama
lengkapnya adalah Abu Hasan Ali Ibn Husayn Ibn Ali. Ia adalah sejarawan dan
ahli geografi, ahli geologi, ahli zoologi, ilmu kalam dan sebagainya.
Dalam
penulisan sejarah[14]
dimasanya yang mayoritas menggunakan pendekatan tahun, justru al Mas’udi telah
menggunakan pendekatan tematik. Tema-temanya bertolak dari :
1. bangsa-bangsa
2. raja-raja
3. dinasti-dinasti.
Dalam
pemaparan sejarah ia menyajikannya dengan sangat menarik, diramu dengan
peristiwa-peristiwa politik, peperangan dan informasi tentang masyarakat dan
adat istiadanya. Disamping pembahasan geografis yang bernilai tinggi. Dalam hal
geografis ini banyak sejarawan yang mengikuti langkahnya termasuk Ibnu Khaldun.
c.
Al Biruni
Nama
lengkapnya adalah Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad al Biruni al Khawarizmi. Lahir
di Khawarizm, turkmenia pada tahun 363 H dan wafat di Ghazna pada tahun 448 H.
Pada masanya ia termasuk ulam besar yang menguasai ilmu-ilmu sejarah,
matematika, fisika, ilmu falak, kedokteran, ilmu-ilmu bahasa, geologi, geografi
dan filsafat.
Dalam penulisan sejarah[15],
ia memulainya dengan :
1. wawancara terhadap ahlul kitab, penganut
sekte-sektenya dan orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang masalah yang
diteliti.
2. jawaban dari wawancara yang diadakan
dijadikan sebagai dasar pertama
3. hasil wawancara dibandingkan antara satu
dengan wawancara yang lain
4. lalu dengan kekuatan rasio maka
diadakanlah kritik sehingga dapat diketahui yang mana yang benar dan yang mana
yang diragukan kebenarannya.
Cara ini
diakui oleh al Biruni adalah jalan yang sulit, apalagi jika yang diteliti
berkenaan dengan zaman yang sudah lama berlalu. Ia berkata ”jalan yang saya
tempuh dalam penelitian untuk ini bukanlah dekat dari sumbernya, sehingga
karena demikian jauh dan sulitnya, bisa jadi tidak mencapai sasaran. Apalagi
informasi yang saya terima sdah bercampur dengan kebathilan yang sangat banyak.
Namun, sejauh yang dapat dikerjakan adalah menganggap informasi tertentu
sebagai informasi yang benar, apabila tidak ada bukti langsung (syawahid) ata tidak langsung (Qorinah)
bahwa informasi itu salah.
d.
Ibnu Khaldun
Nama lengkapnya adalah Abd al-Rahman ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn Abi Bakr Muhammad ibn al-Hasan Ibn Khaldun. Lahir
pada 27 Mei 1332 di Tunisia dan meninggal 17 Maret 1406 di Kairo, Mesir.
Kondisi Masyarakat Islam Masa Ibnu Khaldun
Era Ibnu Khaldun hidup dipandang dari segi
sejarah Islam adalah era kemunduran dan perpecahan. Beberapa abad sebelumnya
semenjak abad ke-8 sampai sekitar abad 12 dan 13, Arab pernah dijuluki
”mukjizat Arab”[16].
Tokoh Ibnu Khaldun digambarkan sebagai tokoh budaya Arab-Islam yang paling kuat
dimasa kemundurannya.[17]
Dimasa hidup Ibnu Khaldun, di Afrika Utara
bagian Barat tepatnya Maghrib* tempat Beliau lahir dan malang melintang dalam
bidang politik aktif terdapat tiga buah negara yang selalu berperang antar
sesamanya.masing-masing berusaha menghancurkan pihak lain. Ketika itu
perpindahan loyalitas dari negara Islam yang satu kepada negara Islam yang lain
tidak diangggap sebagai hal yang luar biasa. Hal yang demikian menimbulkan
penafsiran pada sebagian pemerhati politik Ibnu Khaldun bahwa ia tidak mengenal
loyalitas dan bersifat sangat oportunis.[18]
Sementara
itu Di Eropa telah tanpak tanda-tanda perubahan dan kebangkitan, suatu suasana
yang bisa langsung dirasakan oleh Ibnu Khaldun sendiri. Abad ke-13 di Eropa
didominasi para pemikir konstruktif positif, masa para ahli teologi dan filosof
spekulatif.
Saling kritik dalam sebuah masalah menjadi
sebuah fenomena baru yang membangun, meskipun demikian mereka tetap menerima
prinsip-prinsip metafisis yang mendasar. Mereka juga mempercaya bahwa otak manusia memiliki kemampuan untuk
melampaui dunia fenomena ini dan mencapai kebenaran metafisis. Karena itu abad
ke-13 itu juga merupakan abad yang sangat menonjol dibidang intelektual, karena
di waktu itu disadari adanya sintesa antara rasio dan keyakinan atau antara
filsafat dan teologi.[19]
Pada abad ke-14, di Barat terjadi
kecendrungan kuat kalangan penguasa sipil untuk menegaskan kemandiriannya dari
Gereja. Dari abad inilah dimulainya sejarah timbulnya negara-negara nasional
yang kuat yang kemudian menjadi ciri yang sangat penting dari bentuk negara di
Eropa setelah masa abad pertengahan. Proses sentralisasi kekuasaan itu
dipercepat juga oleh peristiwa pengasingan para Paus yang berasa di Avignon
antara tahun 1305-1377.
Jadi, apabila abad ke-13 digambarkan
sebagai abad pemikir kreatif dan orisinal, maka abad ke-14 adalah abad
timbulnya berbagai mazhab yang saling berbeda pendapat.[20]
Sedangkan dipandang dari segi kehidupan universitas, terutama di Paris
merupakan abad berkembangnya sains.[21]
Ibnu Khaldun sendiri telah menyadari
fenomena ini, dalam al-Muqoddimah, Beliau menulis[22]
:
Demikianlah dimasa sekarang ini telah sampai
berita-berita kepada kami bahwa ilmu-ilmu filsafat ini telah mengalami kemajuan
yang pesat di negeri Franka (Ifranjah), di tanah Roma dan daerah-daerah bagian
utara yang berdekatan dengannya. Teori-teoraninya telah diperbaharui kembali,
tempat-tempat mempelajarinya banyak sekali, buku-buku serba mencakup dan dan
terdapat dalam jumlah yang memadai, sedangkan orang-orang yang mempelajarinya
juga sangat banyak jumlahnya. Hanya Tuhanlah yang lebih tahu tentang apa
sebenarnya yang sedang terjadi. Ia menciptakan dan memilih apa saja yang
dikehendaki-Nya.
Sementara Di Afrika Utara kampung halaman
Ibnu Khaldun dibesarkan, terjadi perkembangan politik yang sangat pesat. Ketika
itu Imperium al-Muwahhidun baru saja pecah dan berdirilah sejumlah
negara-negara kecil, Di Tunis terdapat Emirat Bani Hafs (1228-1574). Di Tlemsen
dan Di Barbaria Tengah* berdiri Emirat Bani Wad. Di Maroko
terdapat kerajaan Bani Marin (1269-1420). Di Mesir Mamluk tengah
berkuasa (1250-1517), pada masa itu juga terdapat Imperium Timurlane yang
usianya dan masa hidupnya hampir sama dengan Ibnu Khaldun. Mereka sempat
bertemu pada tahun 1401 di luar dinding kota Damaskus. Suatu pertemuan yang
sangat bersejarah.[23]
Di Iran masa
Ibnu Khaldun adalah sama dengan seorang penyair dari Syiraz (1320-1389),
demikian juga seorang ahli sejarah yang bernama Nizamuddin Syami, yang pernah
menulis tentang sejarah pemerintahan Timurlane pada tahun 1401. selain mereka,
Ibnu Khaldun menulis beberapa nama penulis Arab diantaranya : Ibnu Battuta yang
tak pernah bertemu (1304-1369), demikian
juga seorang ahli Ilmu Bumi, Umary (1349)- Mesir dari Suriah, dan al-Maqrizi
mendapatkan kesempatan duduk dalam kelas yang diajar oleh Ibnu Khaldun di al
Azahar.[24]
Sebagai
perbandingan dengan dunia yang dihadapi Ibnu Khaldun di Afrika Utara dan di
Andalusia, di belahan dunia yang lain bisa kita temukan Premiers Valois
(1328-1498) di Prancis, dan seorang ahli kebudayaan Jean Froissart.[25]
Riwayat Hidup Ibnu Khaldun
Keluarga Ibn Khaldun merupakan orang
berada yang memberikan pendidikan terbaik kepadanya. Ibn Khaldun merupakan
salah seorang pakar sejarah Arab teragung, juga dikenali sebagai bapak sejarah
kebudayaan dan sains sosial modern. Ibn Khaldun turut mengembangkan falsafah
tidak berasaskan keagamaan paling awal, terkandung dalam karyanya Muqaddimah
(“Pengenalan”). Ibn Khaldun juga menulis sejarah Muslim di Afrika Utara yang
terulung.
Dari riwayat hidup Ibnu Khaldun dalam
bukunya Muqoddimah, dapat diketahui bahwa asal usul keluarga Ibnu
Khaldun adalah dari Hadramaut, Yaman Selatan. Nenek moyangnya pindah ke Hijaz
sebelum datangnya Islam, ada diantara nenek moyangnya yang menjadi sahabat
Rasulullah saw yang terkenal bernama Wa’il bin Hujr. Beliau pernah meriwayatkan
sejumlah hadits, serta pernah pula dikirim Nabi ke daerah-daerah untuk
mengajarkan agama Islam kepada penduduk daerah itu.[26]
Di Andalusia keluarga Khaldun ini
memainkan peranan yang sangat menonjol, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun
dari segi politik. Mula-mula mereka menetap di kota Carmona, dan kemudian
pindah kekota Sevilla. Kemudian situasi di Andalusia sudah mulai kacau. Adapun
faktor munculnya kekacauan tersebut adalah :
-
perpecahan
yang terjadi diantara kaum muslimin sendiri
-
serangan
pihak Kristen dari utara semakin lama semakin meningkat sehingga akhirnya
seluruh semenanjung itu jatuh ketangan mereka.
Disaat terjadi gejolak di Sevilla itu, tokoh-tokoh
dari keluarga Khaldun juga ikut memainkan peranan aktif.[27]
Ketika situasi semakin gawat di Andalusia, kelurga khaldun pindah ke Tunis. Di
tempat baru ini, mereka juga memainkan peranan penting, baik di bidang politik
maupun di bidang ilmu pengetahuan, kecuali bapaknya Ibnu Khaldun yang memahami
demikian berbahanya bergerak dibidang politik sehingga ia memutuskan untuk
menjauh dari bidang politik dan lebih fokus di bidang ilmu pengetahuan. Ibnu
Khaldun adalah lima orang bersaudara, akan tetapi yang cukup dikenal dalam
sejarah hanya dia dan saudaranya yang bernama Yahya.[28]
Dari
latar belakang ini dapat disimpulkan bahwa keluarga Ibnu Khaldun banyak
bergerak dibidang politik dan ilmu pengetahuan, karenanya adalah hal yang
sangat logis jika Ibnu Khaldun mampu menyatukan kedua hal ini dalam dirinya.
Masa
hidup Ibnu Khaldun secara garis besar bisa dibagi menjadi tiga tahapan[29]
yaitu :
- masa di Tunis yang merupakan masa pendidikan dan permulaan karir di bidang pemerintahan (1332-1350)[30] pendidikan pertama diperolehnya dari orang tuanya sendiri dan berbentuk suatu pendidikan tradisional. Mata pelajaran yang dipelajarinya adalah Bahasa Arab dan sastra, al-Qur’an dan tafsir, hadits dan ilmu-ilmu hadits, kemudian ia mendapat pelajaran lain seperti logika dan filsafat.
- masa ketika berada di Fez di Maroko (1351-1382), ditandai oleh keterlibatan Ibnu Khaldun dalam politik praktis.[31] Ketika itu bakat Ibnu Khaldun yang sangat luar biasa telah tampak. Melalui persekongkolannya dengan berbagai tokoh dan kelompok, Ibnu Khaldun berhasil memegang berbagai jabatan yang tinggi tanpa meninggalkan perkembangan ilmu pengetahuan. Keterlibatannya dalam politik praktis menyebabkannya mendekam dalam penjara selama kira-kira dua tahun. Petualangan Ibnu Khaldun di bidang politik ini tidak memberikannya ketenangan dan ketentraman sehinga ia melarikan diri ke Andalusia dan berbakti kepada raja Muhammad yang sedang berkuasa di Andalusia saat itu. Di Andalusia Ibnu Khaldun bertemu Ibnu al Khatib seorang pemikir dan budayawan yang juga menjadi perdana menteri. Ketika berada di Andalusia inilah Ibnu Khaldun mendapatkan tugas untuk mengadakan perundingan dengan Pedro yang kejam, penguasa kristiani yang telah menjadikan Sevilla sebagai ibu kotanya. Keberhasilan Ibnu Khaldun dalam perundingan ini menyebabkan raja semakin percaya dan memberinya kedudukan penting. Keberhasilan yang diraih oleh Ibnu Khaldun ini menimbulkan rasa isi pada sahabatnya Ibnu al Khatib, menyadari gelagat ini Ibnu Khaldun memutuskan kembali ke Afrika Utara. Namun kembali lagi ketika ia berada di Afrika utara ia terlibat kembali dalam politik praktis yang ditandai dengan pertempuran dan persaingan yang tidak habis-habisnya antara berbagai dinasti kecil yang ada. Hal ini membuktikan bahwa Ibnu Khaldun sangat terkenal dan harapkan oleh setiap penguasa untuk senantiasa berada dibarisannya, karena perananya yang demikian besar dalam setiap pertepuran. Menyadari demikian berbahanya politik praktis maka Ibnu Khaldun memutuskan untuk bergerak dibidang ilmu pengetahuan. Karenanya Ibnu Khaldun mengasingkan diri di tengah padang pasir di Qol’at Bani Salamah di daerah Aljazair. Disanalah lahirnya Muqoddimah yang membuat namanya terkenal. Setalah empat tahun terpencil di Qol’at Bani Salamah ia kembali ke Tunis untuk menyempurnakan tulisannya dengan menggunakan fasilitas perpustakaan yang terdapat di Tunis Namun karena adanya dua hal yaitu :
-
penguasa
di Tunis ingin melibatkannya dalam politik praktis
-
para
ahli ilmu pengetahuan tidak menerimanya dengan baik bahkan menjadikannya
sebagai saingan.
maka Ibnu Khaldun meninggalkan Afrika
Utara belahan Barat dan pergi ke Timur dengan alasan menunaikan ibadah haji.
- Kehidupannya di Mesir hingga wafat (1382-1406), tahap terakhir dalam kehidupannya ini dilaluinya dengan menjadi guru dan hakim. Sesampainya di Mesir, ia sangat cepat menarik perhatian penguasa dan memberikannya kesempatan untuk memberikan perkuliahan diberbagai perguruan tinggi termasuk juga al Azhar, disamping itu ia juga diangkat menjadi mufti mazhab Maliki oleh Sultan Abul Abbas raja Mesir kala itu. Setelah merasa mantap tentram menetap di Mesir iapun membawa keluarganya Ke Mesir setelah mendapat dukungan dari pemerintah Mesir saat itu, ketika kapal yang mereka tumpangi tiba di Iskandariah terjadilah angin topan yang sangat dahsyat hingga menenggelamkan kapal dan seluruh penumpangnya hingga Ibnu Khaldun berkata ”habislah seluruh harta dan keluarga”.
Karya Ibnu Khaldun
Diantara karya monumental Ibnu Khaldun adalah Muqoddimah yang
merupakan sebuah pendahuluan dengan konsentrasi manusia dalam kehidupan
bermasyarakat serta aspek-aspek yang akan ditimbulkan sebagai akibat dari
kehidupan bermasyarakat baik dari bidang budaya, sejarah negara, pembangunan,
ekonomi, ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Dengan kandungan yang sangat
bervariasi maka buku ini bisa dikategorikan sebagai buku ensiklopedi. Luasnya
bidang keilmuan yang dijelajahi Ibnu Khaldun dalam Muqoddimah sehingga
menimbulkan perbedaan pendapat tentang kategori buku tersebut pada saat ini.
Akan tetapi setelah menelaah secara keseluruhan maka orang akan merasa pasti
bahwa buku ini adalah sebuah buku tentang ilmu-ilmu sosial dan merupakan
sumbangan yang sangat besar terhadap khazanah ilmu pengetahuan manusia.
Buku Muqoddimah adalah sebuah
buku yang berdiri sendiri, meskipun pada mulanya merupakan bagian dari sebuah
karya yang lebih besar yaitu buku ’Ibar (suri tauladan)[32]
yang terdiri dari tiga jilid. Pendahuluan dan jilid pertama dari buku ’Ibar
inilah yang kemudian menjadi buku ”Muqaddimah”. Sedang jilid kedua
khusus tentang sejarah bangsa Arab serta bangsa-bangsa lain yang semasa
dengannya sedang jilid ketiga khusus membahas tentang bagsa Berber yang berada
di Afrika Utara.
Faktor yang mendorong Ibnu Khaldun
untuk menulis buku al ’Ibar karena persepsinya bahwa sejarah adalah
sebuah cabang ilmu pengetahuan yang sangat mulia. Dan Ibnu Khaldn menjadikan
kebenaran sebagai tujuan akhir yang ingin dicapainya. Bagi Ibnu Khaldun sejarah
dibagi menjadi dua, yaitu :
pertama : lahir,
sebagai sejarah yang dipandang luarnya yang tidak lebih dari kisah masa-masa
dan bangsa-bangsa lalu yang selalu diagung-agungkan atau dihinadinakan.
kedua
: batin, yaitu aspek dalam dan
makna dari sebuah sejarah yang menjadi suatu renungan dan penelitian.
Memunculkan teori sebab akibat dan latar belakang dari perkembangan yang
terjadi.
Pengaruh
Ibnu khaldun tidak hanya dalam bidang ilmu sosial tapi juga merambah
bidang-bidang lain. Misalnya bahasa, secara ilmiah ungkapan-ungkapan bahasa
yang digunakannya belum lumrah bagi
masanya.[33]
Keistimewaan Ibnu Khaldun dalam mengungkapkan bahasa ini menyebabkan para pakar
Khalduni menyebutnya sebagai pakar perintis dibidang Bahasa Arab. Hanya saja
karena dimasanya belum dikenal foot note maka terkesan terjadi beberapa
pengulangan dalam menyajikan gagasan, seandainya pengulangan tersebut bisa
dihindari niscaya buku Muqaddimah tidak setebal saat ini. Walaupun
demikian pengulangan yang dikemukakannya tidaklah ”kering” karena pengulangan
tersebut selalu dihubungkan dengan hal yang baru dan mengemukakan segi baru
yang tidak dikemukakan pada kesempatan sebelumnya. Jika kita telaah muqoddimah,
maka bahasa yang digunakan Ibnu Khaldun adalah bahasa komunikasi dalam
perkuliahan dan bukan bahasa kitab sehingga sangat mudah untuk dicerna.
Kerangka Penulisan Sejarah ”Muqoddimah” Ibnu Khaldun
Kandungan buku Muqoddimah dari awal
sampai akhir tersusun rapih dengan sangat logis. Ibnu Khaldun memulai bukunya
dengan satu pendahuluan ringkas tentang sejarah dan tentang penyalah gunaan
sejarah dalam masyarakat baik dikalangan masyarakat awam maupun kalangan elit.
Menurutnya, sejarah pada hakikatnya adalah suatu ilmu pengetahuan yang sangat
mulia dan seharusnya menghantarkan orang menuju kebenaran.[34]
Walaupun demikian karena berbagai kekurangan yang terdapat dalam kehidupan
manusia, terutama dari aspek kejiwaannya, seperti sikap oportunis terhadap
penguasa dan lain sebagainya sejarah telah disalah gunakan sehingga cabang ilmu
pengetahuan ini tidak dapat menunaikan tugasnya dengan maksimal sebagai sebuah
ilmu pengetahuan yang menghantarkan dan menjelaskan kebenaran.
Salah satu kaidah pokok yang dalam
pemikiran Ibnu Khaldun yang mendasari kaidah-kaidah yang ada dalam bukunya,
adalah bahwa segala sesuatu yang ada dialam semesta ini selalu bergerak dari
keadaan yang sederhana menuju keadaan yang lebih canggih. Demikian juga dengan
perkembangan manusia. Karena peradaban manusia senantiasa berkembang dari
keadaan yang sangat sederhana menuju keadaan yang lebih maju dan lebih canggih
hingga pada akhirnya akan sampai pada titik yang paling maju dan canggih.
Karenanya dalam Muqoddimah, Ibnu Khaldun memulai membahas tentang
peradaban yang terbelakang. Dalam pendapatnya jenis tersebut terwakili oleh
kelompok Badui yang hidup ditengah padang pasir tandus, dari peradaban inilah
bergerak melaju hingga masuk pada peradaban sebuah kota metropolitan yang serba
maju. Dan dikota yang paling maju inilah akan terdapat peradaban yang paling
maju juga.
Dalam bab-bab berikutnya, ia berbicara
tentang peradaban yang lebih maju, tentang kota dan permasalahannya, tentang
ekonomi dan problemanya, tentang Ilmu Pengetahuan dan tekhnologi serta segala
cabang dan permasalahannya. Dalam temanya inilah Ibnu Khaldun menjelaskan
tentang konsep kekuasaan dan konsep negara yang merupakan hal sentral dalam
pemikirannya.
Bagi Ibnu Khaldun manusia adalah makhluk
yang paling mulia dan memiliki peranan terpenting dalam alam semesta karena
telah mendapatkan penghargaan langsung dari Tuhan dengan dijadikan khalifah,
karena topik pembahasan adalah
manusia sebagai pelaku sejarah, maka susunan bab-bab selanjutnya diatur dengan
sangat rapih. Manusia dalam perhatiannya tidak saja hanya dipandang sebagai
suatu unit dalam alam semesta tapi posisinya sebagai unit terpenting dari
segala hal yang ada di alam semesta ini yang unsur-unsur pokoknya terdiri dari
tanah, air, udara dan api.[35]
Setelah menjelaskan tentang hal ini, iapun
menjelaskan tentang makhluk yang ada di muka bumi seperti benda mati,
tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia sebagai makhluk terlengkap yang dapat
disaksikan oleh panca indera. Demikian juga ia menjelaskan tentang makhluk yang
tidak dapat dijangkau oleh pancaindera seperti malaikat, kenabian dan
kerasualan dan proses tibanya wahyu yang menggunakan sisi alam malaikat.
Dalam kajian Ibnu Khaldun, manusia lebih
banyak dipandang sebagai makhluk bermasyarakat dan bukan makhluk individu.
Karena masyarakat manusia itu hidup diatas dunia. Seementara dunia ini sendiri
dibagi-bagi menjadi beberapa kawasan sesuai iklim dan cuaca. Walaupun demikian,
pengetahuan Ibnu Khaldun tentang ilmu bumi yang dicapainya kala itu tidak bisa
dibandingkan dengan kemajuan yang telah dicapai saat ini.
Selanjutnya dalam pembahasannya ia
menjelaskan jenis perbedaan manusia, baik dari segi warna kulit, bahasa watak
dan pembawaan.[36] Perbedaan jenis ini sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sehingga ia menjelaskan interaksi manusia dengan lingkungan dalam
satu bab khusus.[37]
Pada bab selanjutnya ia menjelaskan
kehidupan golongan primitif yang hidup dalam kesederhanaannya. Ibnu Khaldun
melihat potensi-potensi positif yang terdapat dalam diri golongan primitif
tersebut diantaranya : kemurnian keturunan, sifat kebaikan yang murni,
keberanian dalam menghadapi bahaya, percaya diri dan solidaritas yang tinggi.
Pada bab selanjutnya Ibnu Khaldun
menjelaskan manusia sebagai makhluk berkuasa. Dalam pandangan Ibnu Khaldun,
kehidupan berpolitik dan bernegara hanya milik manusia semata. Sehingga dengan
panjang lebar ia menjelaskan tentang kehidupan bernegara dan perkembangannya.
Dari awal sebuah Ashobiyah (solidaritas) tumbuh menjadi penggerak
sehingga melahirkan gerakan untuk menciptakan sebuah negara hingga pada saat
negara telah kokoh dan mantap Ashobiyah (solidaritas) tidak dubutuhkan
lagi. Demikian juga sebuah negara yang berasal dari negara kecil akan
berkembang menjadi negara yang sangat besar dan mencapai kejayaannya lalu
kemudian akan memudar yang hancur. Hal ini sejalan dengna sunnatullah bahwa
tidak ada yang kekal dimuka bumi ini kecuali Allah swt.[38]
Di dalam karya sejarahnya ini, Ibnu
Khaldun tidak menggunakan ungkapan filsafat sejarah sebagai sebutan kajiannya,
tetapi menyebtnya dengan nama al Umran al basyary yang secara harfiah
berarti masyarakat manusia. Namun menurut Zaynab al Khdhary, banyak para peneliti
yang berpendapat bahwa yang dimaksud Ibnu Khaldun dengan al Umran al basyary
adalah kebudayaan.[39]
Metode Sejarah Ibnu Khaldun
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang sejarawan dan sebab-sebab kesalahan dalam penulisan sejarah.
A. Syarat-Syarat
Yang Harus Dipenuhi Oleh Seorang Sejarawan
1. memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip
politik, watak segala yang ada, perbedaan bangsa-bangsa, tempat-tempat dan
priode-priode dalam hubungannya dengan sistem kehidupan, nilai-nilai akhlak, kebiasaan,
sekte-sekte, mazhab-mazhab, dan segala ihwal lainnya. Selanjutnya iapun perlu
memiliki pengetahuan tentang situasi-situasi dan kondisi mendatang dalam semua
aspeknya.
2. harus mampu mmbandingkan kesamaan dan
perbedaan kini dengan masa lalu.
3. harus mampu mengetahui keadaan dan sejarah
orangorang yang mendukung suatu peristiwa.
B. Sebab-Sebab
Kesalahan Dalam Penulisan Sejarah
1. keberpihakan terhadap suatu pihak atau
kepercayaan
2. terlalu percaya kepada penutur tanpa
dilakukan ta’dil dan tarjih
3. tidak sanggup memahami hakikat dari sebuah
peristiwa (maksud sebenarnya dari sebuah informasi)
4. memutlakkan sebuah kebenaran
5. tidak mampu menempatkan sebuah peristiwa
dalam hubungannya dengan peristiwa-perostiwa yang sebenarnya
6. adanya latar belakang kepentingan
7. tidak memahami hukum-hukum, watak dan
perubahan masyarakat
8. kesalahan dalam memahami sebuah
berita/informasi
9. Menganalogikan secara mutlak masa lalu dengan
masa kini.[40]
Penutup
Buku
Muqoddimah merupakan sebuah buku yang membicarakan sejarah dan interaksi
sosial baik secara individu maupun dalam ruang lingkup yang lebih besar yang
berbentuk negara. Kandungan buku ini sangat perlu untuk ditelaah dan dikaji
lanjut sehingga bisa memberikan inspirasi dan mampu ditarik sebuah manfaat
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi manusia era globalisasi saat
ini.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik dan Abdurrachman Surjomiharjo, Ilmu
Sejarah dan Historiografi: Arab dan Perspektif, Jakarta : PT Gramedia, 1985
Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad, al-Isroiliyat
wa al-Maudhuat fi Kutubi at-Tafsir 1408, kairo, Maktabah as Sunnah
Ibnu Khaldun, Discours sur I’historie
Universelle (al-Muqoddimah) Tradction novella, preface et notes par Vincent
monteil; Beirut : Bommisiopn internationale pour la traduction des chefs
d’oevres, 1967
Ibn Kholdun, Abdurrahman, Tarikh Ibnu
Khaldun (Diwan al-Mubtada’I wa al-Khobar fi Tarikh al-Arab wa al-Barbar wa Man
A’shorohum min Zawi as-Syakni al-Akbar), Libanon : Dar al-Fikr, 1996
Ibnu Kholdun, Muqoddimat Ibni Kholdun,
ed. Abdul Wahid Wafi,
Kairo : Lajnah al-Bayan al-Araby, 1958
Copleston, Frederik, A History Of Fhilosophy, Volume III: Ockham
To Suarez The Bellarmine Series XIV, London
: Search Press Limited, 1953.
Enan, Muhammad, Abdullah, Ibnu Khaldun : His Life and Work, Lahore : M. Asraf, 1973
Al Mas’udi, Muruzu az Zahab, Beirut
: darl Fikr, 1973.
Nashshar, Husein , Nas’ah at tadwin at tarikh inda al Arab, Kairo
: Maktabah an Nahdoh al Misriyah, tt.
Talbi,
M, Encyclopedia Of Islam, dalam
bab Ibnu Khaldun
Tarhini,
Muhammad Ahmad , al Muarrikhun wa at tarikh inda al Arab, Beirut : Dar al Kutb al
Ilmiyah, 1991, Muhammad Husain az Zahabi, at tafsir wa al muFassirun, Kairo
: Maktabah Wahbah, 1992.
Zainuddin, A. Rahman, Kekuasaan dan
Negara, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1992. Mengutip dari Yves Lacoste,
“la Grande Oeuvre d’Ibn Khaldoun,” La Pensee (Paris) LXIX (1956),
Yatim, Badri,Historiografi Islam, Jakarta : Logos.
1997
http://www.scribd.com/doc/45969310/Historiografi-Islam-Muqaddimah-Ibn-Khaldun
[1] Paling tidak penting baginya, walau
bagis sejarawan lain dianggap tidak penting.
[2] Ibnu Khaldun hidup dari 733-808 H
/1332-1406 M.
[3] Badri Yatim, Historiografi
Islam, Jakarta : Logos. 1997. hal. 1
[4] Louis Gottshalk, Mengerti
Sejarah, Jakarta : UI Press, 1986. hal. 27
[5] Taufik Abdullah dan Abdurrachman
Surjomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arab dan Perspektif,
Jakarta : PT Gramedia, 1985, hal. x-xii
[6] Badri Yatim, Op.cit, hal. 30
[8] Husein Nashshar, Nas’ah at
tadwin at tarikh inda al Arab, Kairo : Maktabah an Nahdoh al Misriyah, tt.
Hal.73
[9] Muhammad Ahmad Tarhini, al
Muarrikhun wa at tarikh inda al Arab, Beirut : Dar al Kutb al Ilmiyah,
1991, hal. 14
[10] Isroiliyat adalah kata jama’ yang berarti penisbatan kepada Bani Isroil,
Isroil itu sendiri adalah nabi Ya’kub as, dan Bani Isroil adalah keturunan
beliau. Keturunan beliau ini selanjutnya ada yang beriman kepada nabi Musa as,
disebut Yahudi, dan ada yang beriman kepada nabi Isa as, disebut Nasrani dan
ada yang beriman kepada nabi Muhammad saw, yang selanjutnya dikenal dengan
Muslim Ahlul Kitab sumber-sumber utama Isroiliyat itu sendiri adalah
kitab-kitab orang Yahudi kitab seperti Taurat, Asfar, Tilmuz dan
dongeng-dongeng serta hayalan yang mereka karang. Kita tidak menafikan ada
unsur kebenaran pada sebagian sumber mereka, namun pada kenyataannya kebatilan
lebih menguasai sumber-sumber tersebut. Pada perkembangan selanjutnya Isroiliyat
tidak hanya pada sumber-sumber Yahudi, tapi meluas pada budaya-budaya dan
pengetahuan Nasrani yang bersumber dari Injil, lihat Muhammad bin Muhammad Abu
Syuhbah, al-Isroiliyat wa al-Maudhuat fi Kutubi at-Tafsir 1408,
(kairo, Maktabah as Sunnah) cet. 4, hal 12.
[11] Op.cit. Badri Yatim. Hal. 68
[12] Al Mas’udi, Muruzu az Zahab,
Beirut : darl Fikr, 1973. hal. 15.
[13] Muhammad Husain az Zahabi, at tafsir
wa al muFassirun, Kairo : Maktabah Wahbah, 1992. jil. 1. hal 202
[14] Diantara karya-karyanya adalah :
(1) Dzakhair Al Ulum Wa Ma Kana Fi Sair Ad Duhur, (2) Al Istidzkar Lima Marra
Fi Salaf Al Amar, (3) Tarikh Fi Akhbar Al Umam Min Al Arab Wa Al Ajam, (4)
Akhbar Al Zaman Wa Man Abadahu Al Hadsan Min Al Mam Al Madhiyah Wa Ajyal Al
Haliyah Wa Al Mamalik Al Dairah. (5) Al Wasith (6) Muruj Az Zahab Wa Al Maadin
(7) At Tanbih Wa Al Isyraf (8) Al Shofwah Fi Al Imamah (9) Al Istinshar, Dll
[15] Diantara karya-karyanya yang bisa
dikategorikan sebagai buku sejarah adalah : (1) Al Atsar Al Baqiyah An Al
Qurun Al Kholiyah (2) Tahqiq
Maali Al Hind Min Maqulah Maqbulah Fi Al Aqli Al Ma’zulah.
[16] A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan
Negara, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1992 . hal. 24, Mengutip dari Yves
Lacoste, “la Grande Oeuvre d’Ibn Khaldoun,” La Pensee (Paris) LXIX
(1956), 11
[17]
M. Talbi, Encyclopedia Of Islam, dalam bab Ibnu Khaldun
* Maroko
[18]
Muhammad Abdullah Enan, Ibnu Khaldun : His Life and Work, Lahore : M. Asraf, 1973
hal. 1941
[19]
Frederik Copleston, A History Of Fhilosophy, Volume III: Ockham To
Suarez The Bellarmine Series XIV, London
: Search Press Limited, 1953. Hal. 1
[20]
Copleston, 10.
[21]
Copleston, 15
[22]
Abdurrahman Ibn Kholdun, Tarikh Ibnu Khaldun (Diwan al-Mubtada’I wa
al-Khobar fi Tarikh al-Arab wa al-Barbar wa Man A’shorohum min Zawi as-Syakni
al-Akbar), Libanon : Dar al-Fikr, 1996, hal. 117-118
* Al-Jazair Sekarang
[23]
Ibnu Khaldun, Discours sur I’historie Universelle (al-Muqoddimah) Tradction
novella, preface et notes par Vincent monteil; Beirut : Bommisiopn internationale pour la
traduction des chefs d’oevres, 1967, Jil. I, Hal. Vii.
[24]
Monteil, Jil. I, Hal. vii
[25]
Monteil, Jil I hal. viii
[26]
Ibnu Kholdun, Muqoddimat Ibni Kholdun, ed. Abdul Wahid Wafi, Kairo :
Lajnah al-Bayan al-Araby, 1958. hal. 28
[27]
wafi, 28-29
[28]
wafi, 31-32
[29]
Menurut Badri Yatim, merujuk kepada al Muqoddimah, bahwa kehidupan Ibnu Khaldun
dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu fase kelahiran (1332-1350 M), fase
bertugas dipemerintahan dan terjun kednia politik (1350-1374 M), fase
kepengarangan ketika ia berada di Benteng Ibn Salamah milik Banu Arif
(1374-1382 M), fase mengajar dan bertugas sebagai hakim negeri di Mesir hingga
wafat (1382-1406 M)
[30]
wafi, 37
[31]
wafi, 40
[32]
Buku “Ibar memiliki nama lengkap : Kitab al-’Ibar wa-Diwan al-Mubtada’wa
al-Khobar fi Ayyam al- a’rab wa al-ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asharahummin Dzawi
as-Sulthan al-Akbar.
[33]
Mengenai sosoknya yang menjadi perintis bahasa, Franz Rosenthal menulis :
Another factor to make for prolicity was Ibn Khaldun’s use of a terminology
that was largely his own.” Ibn Khaldun I, Ixix
[34]
Ibn Khaldun, 1.15
[35] Ungkapan Ibnu Khaldun ini sangatlah
bijak, karena empat unsur tersebut adalah unsur-unsur yang sangat penting dalam
mengisi alam semesta. Manusia sendiri diciptakan dari saripati tanah, lihat, QS
: al An’am : 2, QS : al Mukminun : 12, QS : as Sajadah : 7, QS : as Shofat :
11, QS : Shod : 71,76. demikian juga dengan air yang menjadi sumber kehidupan
segala sesuatu, lihat, QS : al Anbiya’ : 30. demikian juga udara memiliki peran
yang sangat besar dalam kehidupan semakain terbuka udara maka semakin membuka
peluang ntuk bernafas dengan baik, semakin sedikit udara maka semakin
penyesakkan pernafasan. Lihat : QS : al An’am 125. demikian juga dengan api
yang menjadi hal yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
manusia, bahkan Iblis memandang api sebagai satu hal yang sangat mulia sehingga
menjadi argumennya ketika membantah perintah Tuhan-nya. QS : al A’raf : 12, QS
: Shod : 76.
[36] Perbedaan kafilah dan negara/daerah telah
dijelaskan dalam al Qur’an. Lihat al
Hujarat : 13, demikian juga perbedaan warna kulit dan bahasa. QS : ar Rum : 22
[37] Dalam hal hbungan manusia dan lingkungan
ini, para pakar berpendapat bahwa asal usul pemikiran Montesquie ”pengarh iklim
terhadap kelompok manusia” berasal dari Ibnu Khaldun. Lihat : Warren E.
Gates, ” the Spread of Ibn Khaldun’s Ideas on Climate and Culture,” Journal Of
History of Ideas, 28 (1967), hal. 415-422.
[38] QS; Ar Rahman : 27, dan QS : al Ahzab : 62
[39] Op.cit,
Badri Yatim, hal. 154
[40] Op.cit,
Badri Yatim, hal. 144-151
Tidak ada komentar:
Posting Komentar