Senin, 11 Maret 2013

HUKUM KEWARISAN ADAT BANJAR



Oleh :
Fitrian Noor Hata
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kajian-kajian para ahli hukum semenjak masa penjajahan Belanda sampai masa kemerdekaan juga menunjukkan adanya keberadaan Hukum Adat, di mana dalam perkembangannya terhadap studi hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia telah melahirkan teori yang saling tarik menarik dalam melihat keutamaannya. Teori-teori tersebut adalah receptio in complexu, receptie theorie, dan receptio a contrario.1
Hukum Adat Banjar adalah Hukum Adat lokal yang ada di Kalimantan Selatan, karenanya ia adalah salah satu bagian dari Hukum Adat Indonesia. Hukum Adat Banjar merupakan hukum asli yang berlaku pada masyarakat Banjar, yang sifatnya tidak tertulis, sekalipun demikian Hukum Adat itu telah terakomodir dalam beberapa tulisan dan dokumen-dokumen, seperti yang tertuang dalam Undang-undang Sultan Adam Tahun 1835 dan dalam Kitab Sabilal Muhtadin karangan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary.
Adapun suku bangsa Banjar ialah penduduk asli sebagian wilayah Propinsi Kalimantan Selantan. Mereka diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya, yang berimigrasi ke kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama dan setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli (biasanya disebut suku Dayak), serta bercampur dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan, maka terbentuklah setidak-tidaknya tiga sub suku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu dan Banjar (Kuala). Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang asalnya ialah bahasa Melayu. Sedangkan nama Banjar diperoleh

1 Neng Djubaedah, “Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Masyarakat Muslim di Indonesia Suatu Harapan”, Artikel dalam Mimbar Hukum, No. 40, Tahun IX, 1998, hlm. 5. 2


karena mereka dahulu, sebelum dihapuskan pada tahun 1960, adalah warga kerajaan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibu kotanya.2
Dahulu pada Kerajaan Banjar, pengaruh agama Hindu adalah sangat besar, terutama setelah adanya hubungan perdagangan dengan Kerajaan Majapahit yang Raja dan rakyatnya menganut agama Hindu. Sehingga dalam Kerajaan Banjar itu sendiri banyak ditemui kebudayaan keraton Majapahit.3
Sedangkan bentuk-bentuk kepercayaan dan praktek-praktek kehidupan masyarakat Dayak yang mendiami pegunungan Meratus adalah berdasarkan pemujaan nenek moyang dan percaya akan adanya makhluk-makhluk halus di sekitar manusia (animisme). Orang-orang Dayak yang hidup dalam batas-batas wilayah Tanah Banjar, percaya pada seorang dewa tertinggi, dan juga memberi persembahan kepada makhluk-makhluk halus lainnya, termasuk ruh orang yang dianggap sebagai nenek moyang mereka.4

Adapun Islam menjadi agama resmi kerajaan Banjar menggantikan agama Hindu adalah sejak Pangeran Samudera dinobatkan sebagai Sultan Suriansyah di Banjarmasin, yaitu kira-kira 400 tahun yang lalu. Namun sebenarnya jauh sebelum itu, pemeluk Islam sudah ada di kota-kota pelabuhan atau di pemukiman-pemukiman yang lebih dekat ke pantai. Karena daerah pemukiman dekat pantai tersebut adalah daerah yang sering didatangi pedagang-pedagang dari Tuban dan Gresik yang sudah memeluk Islam, dan mereka menyebarkan Islam pada masyarakat Banjar. Sejak masa Sultan Suriansyah inilah proses islamisasi berjalan cepat, sehingga dalam

2 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 25.
3 Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sejarah Kalimantan, (Banjarmasin: Fajar, 1953), hlm. 18.
4 Alfani Daud, Op.Cit., hlm. 50. 3


waktu yang relatif tidak terlalu lama, yaitu sekitar pertengahan abad ke-18, Islam sudah menjadi identitas orang Banjar.5
Ciri khas keislaman masyarakat Banjar telah ada, sejak melekatnya ciri keislaman dalam struktur kenegaraan Kerajaan Banjar. Sultan dalam konteks masyarakat Banjar adalah kepala seluruh pejabat agama (Islam). Di bawah Sultan adalah Mufti, yang kewibawaannya meliputi seluruh pejabat agama dalam wilayah kesultanan, dan dianggap sebagai hakim tertinggi, Mufti melakukan pengawasan atas seluruh pengadilan di dalam wilayah kesultanan, sebagai hakim sehari-hari di ibu kota bertindak seorang Qadhi, sementara pejabat agama untuk tingkat lalawangan di namakan Panghulu. Dalam hal ini, Mufti dan instansi bawahannya berwenang untuk mengadili perkara-perkara perdata maupun pidana, dengan menerapkan Hukum Adat Banjar yang telah diintegrasikan dengan ketentuan-ketentuan fikih (Hukum Islam).6 Di sini tampak Kerajaan Banjar didasarkan pada Hukum Islam, atau setidaknya sangat dipengaruhi oleh Hukum Islam dalam menyelesaikan segala permasalahannya.
Implementasi dari ajaran Islam pada kehidupan masyarakat Banjar juga sangat dipengaruhi dan didominasi oleh para alim ulama, apa-apa yang mereka fatwakan akan dituruti oleh masyarakat sebagai suatu acuan dalam menyelesaikan masalah kehidupannya.7 Dari ini jelas bahwa dalam masyarakat Banjar sejak dulu telah mempunyai semacam hasil ijtihad ulama dalam masalah-masalah hukum sesuai dengan kondisi dan situasi daerah serta diperpegangi oleh masyarakat.
Hukum kewarisan masyarakat Banjar banyak dipengaruhi oleh Hukum Islam, baik dalam menetapkan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris maupun dalam menetapkan pembagian harta warisan bagi masing-masing ahli waris. Namun ada dua hal yang berbeda dalam

5 Hamka dan Gusti Abdul Mu’is, Meninjau Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Muhammadiyah, 1982), hlm. 29.
6 Diskusi Ahli, “Asal-usul Masyarakat Banjar”, Artikel dalam Jurnal Kebudayaan Kandil Melintas Tradisi, Edisi 6, Tahun II, 2004, hlm. 76.
7 Abdurrahman. “Undang-undang Sultan Adam dan Kedudukannya dalam Hukum Adat Banjar”, Artikel dalam Majalah Orientasi, No. 2, Tahun II, 1977, hlm. 11. 4


ketentuan hukum kewarisan masyarakat Banjar dari ketentuan yang berlaku dalam fikih konvensional, yaitu tentang harta perpantangan dan ishlah. Perbedaan tersebut lahir sebagai buah pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam melihat perbedaan kehidupan keluarga di kalangan masyarakat Arab dengan masyarakat Banjar.
Di kalangan masyarakat Arab, memang perempuan sama sekali tidak bekerja untuk memperoleh harta. Karena itu, kalau suaminya meninggal dan suami mempunyai anak, si isteri hanya mendapat seperdelapan dari harta warisan. Sementara kalau suaminya tidak meninggalkan anak, maka bagian isteri menjadi seperempat. Pembagian yang seperti ini sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an.8 Namun dalam masyarakat Banjar, umumnya isteri bekerja bersama-sama dengan suami. Oleh karenanya, harta yang didapat selama masih sebagai suami isteri dinamakan harta perpantangan atau harta bersama. Kalau salah satu pihak meninggal, maka yang masih hidup lebih dahulu mengambil 50% dari harta perpantangan, dan sisanya baru dibagi sesuai dengan ketentuan di atas.9 Adapun ishlah pada dasarnya adalah pembagian warisan dengan cara permufakatan antara ahli-ahli waris untuk menentukan besarnya bagian yang diterima.10
Dalam perkembangannya, dua buah pemikiran tersebut telah menjadi bagian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Ketentuan tentang harta perpantangan (harta bersama) tercantum dalam Pasal 96 ayat (1) yang berbunyi ”Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup dari pasangan yang mati mendahuluinya”. Adapun ketentuan tentang ishlah dimuat dalam Pasal 183 yang berbunyi “Para ahli waris dapat bersepakat

8 “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.” (Q.S. An-Nisa: 12). Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1999) hlm. 117.
9 Diskusi Ahli, “Harta Perpantangan: Sebuah Akomodasi Hukum Waris Islam atas Budaya Relasi Gender dalam Masyarakat Banjar”, Artikel dalam Jurnal Kebudayaan Kandil Melintas Tradisi, Edisi 7, Tahun II, 2004, hlm. 68.
10 Ibid., hlm. 69. 5


melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.”
Mengingat hukum adat Banjar banyak dipengaruhi oleh Hukum Islam, termasuk dalam lapangan hukum kewarisan, maka perlu dikaji lebih dalam apa saja persamaan dan perbedaan sistem kewarisan yang dianut dalam hukum kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Adat Banjar.
Selain itu munculnya fenomena harta perpantangan dan ishlah dalam masyarakat hukum adat Banjar, perlu pula dikaji lebih dalam apakah merupakan perbedaan yang prinsip dengan hukum kewarisan Islam, ataukah hanya perbedaan yang bersifat nuansa semata. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian yang menggambarkan persamaan dan perbedaan antara hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat Banjar dalam hal pembagian harta warisan melalui studi komparatif.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sistem kewarisan menurut hukum adat Banjar ?
2. Bagaimanakah pembagian warisan adat Banjar ?

II. PEMBAHASAN
A. Sistem Kewarisan Dalam Adat Banjar
Dalam menentukan sistem pewarisan dalam masayarakat Banjar harus terlebih dahulu dilihat bagaimana sistem keturunan atau sistem kekerabatan yang ada dalam masyarakat Banjar tersebut.
Dalam masyarakat Banjar sistem kekerabatannya mengenal berbagai istilah dalam melihat hubungan kekerabatan tersebut, yaitu :
1. Untuk hubungan garis ke atas dikenal istilah “ Kuwitan”, yaitu sebutan untuk orang tua, baik itu ayah maupun ibu. Dalam hal-hal tersebut ada yang disebut “Kuwitan di-ujud” yang digunakan untuk menyebut orang tua yang sebenar-benarnya, penyebutan ini terjadi 6
karena dalam masyarakat Banjar mengenal pula orang tua angkat yang disebut “Kuwitan angkat”. Oleh karena itu penyebutan “Kuwitan di-ujud” adalah untuk membedakan dengan “Kuwitan angkat”. Dalam bahasa sehari-hari untuk memanggil orang tua laki-laki (kuwitan laki) dipakai istilah “ abah”, sedangkan untuk orang tua perempuan (Kuwitan bini) dipakai istilah “ uma” atau “ mama”. Garis ke-atas kuwitan ini adalah disebut dengan istilah “ pakai’an” atau “ Paninian”. Istilah Pakai’an ini digunakan untuk menyebut orang tua laki-laki dari ayah atau ibu (kakek), sedangkan istilah paninian dipakai untuk bahasa sehari-hari penyebutan untuk kakek dipakai istilah “kai”, sedangkan untuk nenek dipakai istilah “ nini”. Garis ke-atas setelah kakek atau nenek ini dikenal istilah “ padatuan” atau “ datu” atau” datuk”, sebutan ini dipergunakan tanpa membedakan lagi antara yang laki-laki dengan yang perempuan. Garis ke-atas setelah “padatuan” dikenal berbagai istilah seperti ”anggah”, “ waring”, dan “ moyang”. Garis ini tidak hanya ada dalam penyebutan, dimana orangnya sudah lama meninggal dunia.
2. Untuk hubungan garis ke-bawah dikenal istilah “anak” untuk menyebutkan keturunan yang pertama, setelah itu generasi berikunya dikenal dengan istilah “cucu”, sedangkan untuk generasi ketiga dibawah cucu tersebut dikenal istilah “buyut”. Garis keturunan setelah “buyut” tersebut ditemukan istilah “cicit” dan “piut”, yang istilah ini juga dalam kenyataannya sekarang hanya ada dalam penyebutan.
3. Untuk hubungan garis kesamping dikenal istilah “ dangsanak” untuk menyebutkan istilah saudara. Istilah “dangsanak” ini dapat terbagi dalam beberapa katagori, yaitu:
a. “Dangsanak sauma-sabapa” untuk menyebutkan istilah saudara kandung;
b. “Dangsanak sauma” untuk menyebutkan istilah saudara ibu;
c. “Dangsanak sabapa” untuk menyebutkan istilah saudara seayah;
7

d. “Dangsanak tiri” untuk menyebutkan istilah sehari-hari hubungan antara saudara seayah atau se-ibu saja.
Dalam pergaulan sehari-hari antara saudara ini dikenal sebutan panggilan, yaitu ”ading” untuk menyebut saudara yang lebih muda dan ”kaka” untuk menyebutkan yang lebih tua. Disamping itu juga sering disebutkan istilah “dangsanak anum” untuk saudara yang muda, dan “dangsanak tuha” untuk saudara yang tua. Istilah “ading” dan “kaka” ini juga sering dipergunakan dalam panggilan antara suami isteri, dimana “ading” adalah isteri, sedangkan “kaka” adalah suami.

4. Untuk garis hubungan kesamping sesudah saudara, adalah anak dari saudara bapak, cucu saudara kakek. Untuk ini dikenal beberapa istilah, yaitu:
a. “ sapupu sekali” untuk penyebutan anak dari saudara ayah/ ibu;
b. “ sapupu dua kali” untuk penyebutan cucu dari saudara kakek atau nenek;
c. “ sapupu tiga kali” untuk penyebutan buyut dari saudara datuk;

5. Untuk garis keturunan kesamping ke atas yang meliputi saudara-saudara dari ayah atau ibu yang dalam istilah sehari-hari dikenal dengan sebutan “mamarina”. “Mamarina” ini terdiri dalam beberapa katagori istilah, yaitu:
a. “Julak” untuk menyebutkan saudara ayah/ ibu yang tertua;
b. “Gulu” untuk menyebutkan adik dari “Julak”’;
c. “ Tangah” untuk menyebutkan adik dari “Gulu’’;

Disamping itu untuk katagori mamarina ini dikenal pula istilah “ makacil” untuk sebutan saudara ayah/ ibu yang perempuan, dan “pacilan” untuk sebutan saudara ayah/ibu yang laki-laki.
Dalam katagori keseluruhan sistem keluarga yang ada dalam masyarakat Banjar penyebutannya dikenal istilah “bubuhan”. Bubuhan ini menggambarkan keterikatan dari suatu keluarga besar masyarakat Banjar. 8
Dari hubungan kekerabatan tersebut di atas menunjukan bahwa dalam masyarakat Banjar menarik garis keturunan dari dua sisi, yaitu sisi ayah dan sisi ibu. Hal ini berarti sistem kekerabatan yang ada dalam masyarakat Banjar adalah menganut sistem Parental atau Bilateral.
Sebagaimana diketahui secara teoritas dikenal ada tiga sistem kekerabatan, yaitu sistem Partrilinial, sistem Materilinial dan sistem Parental/ Bilateral. Beberapa dengan sistem Parental, maka sistem Patrilinial menarik garis keturunan menurut garis Bapak, sedangkan dalam sistem Matrilinal menarik garis keturunan dari garis Ibu.
Akan tetapi perlu juga dicatat bahwa dalam hal-hal tertentu masyarakat Banjar terkesan menarik sistem kekeluargaannya berdasarkan sistem Patrilinial, seperti dalam menentukan gelar dalam garis keturunan. Seperti gelar “Gusti” ditarik berdasarkan garis keturunan ayah.
Dilihat dari sistem pewarisan individual, maka masyarakat Banjar dapat dikatagorikan menggunakan sistem pewarisan individual. Sebagaimana diketahui dalam sistem pewarisan individual setiap ahli waris mendapatkan pembagian, dimana ia dapat menguasai atau memiliki harta warisa menurut bagiannya masing-masing. Praktek yang terjadi dalam. Pembagian warisan menunjukan setiap waris dapat menguasai harta warisan yang merupakan bagiannya.
Namun demikian dalam prakteknya disamping sistem pewarisan individual ini juga ditemukan sistem pewarisan mayorat, dimana dalam sistem pewarisan mayorat harta tidak dibagi melainkan dikuasai oleh salah seorang ahli waris. Penguasaan harta warisan oleh salah seorang ahli waris ini biasanya dilakukan oleh orang tua laki-laki atau orang tua perempuan kalau salah satunya meninggal dunia, atau dikuasai oleh saudara tertua kalau kedua orang tuanya meninggal dunia.
Ada beberapa alasan terjadinya sistem pewarisan mayorat ini, seperti:
1. Pewaris berwasiat (berpesan) sebelum meninggal agar jangan sampai terjadi pertengkaran mengenai harta warisan, dimana harta warisan
9

dinikmati secara bersama-sama saja. Dalam hal ini biasanya harta warisan berupa rumah dan perahu, sehingga dengan demikian setiap ahli waris dapat menikmati hasilnya atau menggunakannya;
2. Ahli waris mempunyai kesepakatan untuk tidak membagi sebagian atau seluruh harta warisan, dengan tujuan agar harta tersebut dapat digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan yang terjadi sehubungan dengan meninggalnya pewaris, seperti upacara haulan setiap tahun;
3. Ahli waris bersepakat harta warisan tidak dibagi dalam rangka membiayai ahli waris yang belum mandiri atau ahli waris lain dianggap belum dewasa atau cakap mengurus sendiri bagian harta warisan yang merupakan haknya;
4. Ahli waris sepakat untuk tidak membagi harta warisan karena menghormati salah satu ahli waris lain yaitu ibunya atau baoaknya, sehingga jarang sekali adanya tuntutan membagi harta warisan dari anak-anaknya walaupun anak-anak tersebut sudah dewasa.
Dari hasil apa yang dikemukakan tersebut di atas tergambar sistem pewarisan dalam masyarakat Banjar dapat dikatakan suatu sistem yang bersifat campuran atau gabungan (mixed), yaitu antara sistem pewarisan individual dengan sistem pewarisan mayorat. Dalam hal sistem pewarisan kolektif secara tegas kolektif dan serta mereta tidak dilakukan pembagian waris, melainkan harta dikuasai secara bersama-sama. Walaupun demikian sistem mayorat sebenarnya adalah kelanjutan dari sistem kolektif ini, akan tetapi dalam sistem mayorat ditemukan adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk tidak membagi warisan yang didasarkan kepada wasiat atau kesepakatan ahli waris dalam rangka menjaga kemaslahatan bersama. Oleh karena itu model sistem pewarisan mayorat yang dijumpai dalam masyarakat Banjar dapat dikatakan sebagai suatu pengecualian atau penyimpanagn khusus dari sistem warisan yang individual.
Sistem pewarisan dalam masyarakat Banjar dapat pula dilihat dari aspek sistem pewarisan Islam, dimana sistem pewarisan Islam ini
10
11 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993) hlm. 31.
12 Ibid., hlm. 33.

sebenarnya menurut Hazairin adalah sistem ”individual bilateral”.11 Perbedaan sistem ini dengan sistem individual dalam hukum adat hanya terletak pada yang diterima oleh masing-masing ahli waris. Dalam sistem individual hukum adat tidak ditegaskan secara tegas bagian masing-masing bagian ahli waris, sedangkan dalam sistem hukum waris Islam bagian masing-masing ahli waris sudah ditegaskan besarnya, dasar dari sistem ini adalah termuat dalam Al-qu’an surat An-Nisa.
Adanya sistem pewarisan Islam ini terlihat pada peranan tokoh agama (“tuan guru”) yang selalu diminati pendapat untuk membagi harta warisan, dimana tokoh agama ini dalam memberikan petuahnya selalu berpegang kepada sistem pembagian yang dianut oleh hukum Islam. Dalam hal ini biasanya para ahli waris menuruti cara pembagian yang dipetuahkan oleh tokoh agama tersebut, walaupun nantinya ditemukan pula dalam pelaksanaannya para ahli waris tidak menuruti pembagian yang sudah dipetuahkan tersebut. Namun demikian yang pasti penggunaan sistem hukum waris Islam ini ada kalau terjadi persengketaa terhadap besarnya pembagian harta warisan tersebut. Dengan adanya pesengketaan waris, maka mereka sepenuhnya tunduk kepada apa yang dipetuahkan oleh tokoh agama.
Dilihat dari sisi sistem pewarisan Barat yang menegaskan harus ada pembagian waris pada saat pewaris meninggal dunia, dan setiap ahli waris dapat menuntut agar segera warisan dibagikan,12 maka dalam masyarakat Banjar tidak ditemukan pola yang demikian itu, walaupun sebenarnya sistem hukum waris Barat ini juga menganut sistem waris individual. Dalam hal ini tidak ditemukan adanya suatu keharusan yang menetapkan harus segera di adakan pembagian waris akan tetapi pembagian waris dilakukan dilihat dari situasi atau keadaan tertentu yang menhendaki segera atau tidaknya harta warisan itu dibagi. Suatu hal yang sangat kontras berbeda sari sistem pewarisan Barat ini terletak pada ketentuan yang ahli waris untuk menolak warisan, sedangkan
11
13 Gusti Muzainah, Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum waris Adat Masyarakat Banjar, (Tesis. Surabaya : UNAIR, 1999), hlm. 59-68.

pandangan. Masyarakat Banjar dalam hal ini tidak boleh menolak warisan, karena menerima hukumnya wajib.Kewajiban ini tidak hanya terbatas kepada mewaris harta Pewaris saja,akan tetapi juga mencakup kewajiban menbayar utang-utang atau ‘’urusan’’pewaris dengan pihak lain.
Kemudian kaitan yang erat dengan sistem pewarisan yaitu penentuan ahli waris. Dalam hal ini ahli waris dibedakan dengan para waris atau Pewaria lainnya.Para waris yang di maksud di sini adalah mereka yang mendapat warisan, baik itu sebagai ahli waris ataupun bukan sebagai ahli waris. Ahli waris itu sendiri adalah orang yang berhak mewarisi harta warisan yang didasarkan pada ikatan darah (turunan).
Dari penelitian yang pernah dilakukan Gusti Muzainah tahun 199913, menunjukan pihak yang menjadi ahli waris dalam masyarakat Banjar, adalah :
1. Anak Kandung
Anak kandung adalah anak yang lahir dari kedua orang tua yang sebenarnya atau orang yang telah mengandung dn membuahinya. Dalam bahasa sehari-hari anak kandung ini disebut pula dengan istilah ‘’anak bujur’’, yang mana dalam hal ini terkait dengan perkawinan yang dilakukan oleh orangtuanya. Perkawinan disini adalah perkawinan yang mendahului sebelum terjadi kelahiran anak, dimana dalam masyarakat Banjar kurang memperhatiakan masalah suatu anak yang lahir sebagai anak kandung tersebut diikat oleh suatu perkawinan di ‘’bawah tangan’’ atau perkawinan yang resmi yang dicatat menurut undang-undang perkawinan. Bagi mereka yang terpenting adalah anak tersebut lahir dari oarng tua yang benar-benar mengadung dan membuahi.
Beranjak dari istilah anak kandung ini, maka muncul pula istilah anak sah. Masyarakat Banjar menganggap anak andung adalah sah asalnya ia lahir dari kedua orang tua yang mengandung dan membuahi. Diluar itu biasanya disebut ‘’anak pintaan’’ yaitu anak yang diasuh yang tidak lahir dan dibuahi, yang dalam hal ini pembagian warisan anak yang seperti ini dapat disebut ‘’anak tidak sah’’, tetapi tidak sah disini dalam artian kesahannya menerima warisan secara tertentu.
Dalam kaitan dengan penentuan anak ini sah, jarang sekali dikaitkan dengan pembuahan dan perkawinan yang dilakukan oleh orang
12


tuanya. Sebagaimana diketahui dalam hukum adat dijumpai anak tidak sah, walaupun ia lahir dari kandungan ibu dan pembuahan ayahnya, akan tetapi saat pembuahan itu mereka belum terikat dalam ikatan perkawinan.Olek karena itu ia tetap disebut anak kandung.
Berkenaan dengan anak sah dan anak tidak sah ini pula dikenal dengan istilah ‘’anak kampang’’, yaitu anak yang lahir dari perbuatan zina yang dilakukan oleh ibunya, yang suaminya tidak diketahui (biasanya ditinggalkan pergi). Walaupun nantinya ibunya kawin dengan laki-laki lain, anak ini sering disebut ‘’anak kampang’’. Anak kampang ini dianggap hanya sebagai ahli waris dari ibunya, tetapi dalam praktek tetap dapat sebagai para waris.
Dengan sistem waris bilateral, masyarakat Banjar dalam praktek pembagian waris tidak mempermasalakan pembedaan (gender) antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan sama-sama sebagai ahli waris yang sejajar. Oleh kerana itu adalah tahap awal pembagian ahli waris yang dilakukan oleh mereka kedudukan waris antara anak laki-laki dengan anak perempuan ini sederajat. Hal ini berarti asas hukum waris ‘’kesamaan derajat’’ berlaku pula dalam hukum waris adat Banjar.
Dilihat dari jumlah anak dalam keluarga,terlihat ada peran yang dominan dari anak tertua (anak sulung), yaitu yang disebut ‘’anak paling ganal/tuha’’. Anak sulung ini dalam pembagian waris bukan berarti mendapatkan lebih besar dari harta warisan, akan tetapi dalam hal kedudukan sebagai yang tertua adalah bertindak sebagai pihak yang mengatur pembagian harta warisa, termasuk mana-mana harta yang belum saatnya dibagi mengingat kondisi-kondisi tertentu. Dalam hal harta warisan yang belum dibagi itulah biasanya harta warisan dikuasai oleh anak sulung ini. Dalam hal anak sulung ini dalah anak perempuan, maka pengurusan harta warisan dibantu oleh adik laki-laki.
Di samping anak sulung juga mengenal anak bungsu, yaitu yang disebut istilah ‘’anak paling uncit/halus’’. Dalam pembagian waris anak bungsu ini dalam kedudukan sebagai ahli waris mendapat pertimbangan khusus dalam mendapatkan bagian dan pembagian warisan,yaitu:
a. apakah ia sudah dewasa;
b. apakah ia sudah bekerja dan mandiri;dan
c. apakah ia sudah berkeluarga.
Pertimbangan - pertimbangan inilah yang akan menentukan pembagian terhadapnya, terkadang dalam kondisi-kondisi itu para saudaranya banyak menyerahkan pembagian warisan kepda anak bungsu ini, yang dalam istilahnya disebut ‘’bakalah’’
2. Anak Tiri dan Anak Angkat
Anak tiri adalah anak yang hanya lahir dari salah satu pihak dalam ikatan perkawinan, dimana anak tiri ini dapat terjadi dalam hal:
a. anak dari perkawinan terdahulu dari isteri,atau
b. anak dari perkawinan terdahulu dari suami.
13

Dalam masyarakat Banjar kedudukan anak tiri ini hanya berkedudukan sebagai ahli wairs dari ayah atau ibunya saja, akan tetapi dalam pembagian waris dari perkawinan yang mereka lakukan oleh orang tuanya tersebut mereka saling berkedudukan sebagai ahli waris.Kondisi seperti ini banyak dipengaruhi oleh hubungan yang tercipta antara oaring tua mereka dan saudara tiri dalam kehidupan sehari-hari.
Suatu keluarga yang terdapat anak tiri berarti menciptakan adanya saudara tiri dan saudara kandung, karenanya akan tercipta suatu keadaan yang sama-sama sebagai pihak mendapatkan waris (para waris) kalau suatu keluarga tersebut adalah keluarga harmonis. Dalam hal ini hubungan mereka sehari-hari tidak membedakan antara saudara tiri atau tidak, semuanya adalah ‘’dangsanak’’(saudara).
Berbeda dengan anak tiri , anak angkat adalah anak benar-benar tidak lahir dari kedua orang tua yang mengasuhnya tersebut,akan tetapi anak ini dipelihara dan dibesarkan dari kecil, sehingga anak tersebut sudayh menyebut dan menjadikan pihak yang mengasuh sebagai orang tua sendiri (‘’kuitan’’). Anak angkat ini disebut dengan istilah ‘’anak pintaan’’.
Anak pintaan ini dalam masyarakat Banjar tidak berkedudukan sebagai ahli waris, akan tetapi ia dalam pembagian warisan adalaha pihak yang dipertimbangkan untuk menjadi para waris. Munculnya anak angkat sebagai para waris ini dilandasi oleh pertimbangan adanya anak angkat itu sendiri dalam lingkungan keluarga tersebut. Pengangkatan anak didasari oleh beberapa hal, yaitu :
a. keluarga tersebut tidak mempunyai keturunan;
b. keluarga tersebut merasa iba terhadap suatu keluarga (biasanya dari keluarga sendiri yang tidak mampu dari aspek ekonomi); dan
c. keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki atau perempuan.
Dasar - dasar pengangkatan anak ini biasanya kombinasi, sehingga anak yang diambil sebagai anak angkat tersebut sebenarnya harus jelas asal-usulnya.
Anak angkat ini tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, akan tetapi tetap berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya sendiri. Dalam hal ini pengangkatan anak tidak bersifat memutuskan hubungan antara anak angkat tersebut dengan orang tuanya. Sehingga dengan demikian tidak dikenal konsep “ adopsi “ seperti dalam hukum Barat.
3. Saudara
Dalam masyarakat Banjar, saudara yang dapat diistilahkan dengan “Dangsanak”. Saudara juga berkedudukan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan kalau tidak ada halangan (hijab). Untuk “dangsanak” ini tidak dibedakan kedudukan antara dangsanak laki-laki (saudara laki-laki), dengan dangsanak perempuan (saudara perempuan), kecuali kalau terjadi perselisihan, maka kedudukan
14


masing-masing pihak akan mengacu kepada petuah yang diberikan oleh “tuan guru” (tokoh agama/masyarakat).
Begitu pula terhadap anak-anak dari dangsanak ini, yaitu yang disebut dengan “kemanakan” (keponakan) juga dapat berkedudukan sebagai ahli waris kalau kedudukan mereka tidak terhijab. Dalam hal ini tidak dibedakan antara kemanakan dari saudara laki-laki dan kemanakan dari saudara perempuan, kecuali ada hal terjadi perselisihan, maka kedudukannya sebagai ahli waris akan didasarkan kepada petuah yang diberikan oleh “tuan guru
4. Orang Tua
Dalam masyarakat Banjar orang tua atau yang sering disebut “abah” dan “mama” juga berkedudukan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan yang ditentukan oleh tuan guru . Orang tua disini terdiri dari :
a. orang tua dari isteri (mertua) yang di sebut dengan istilah “mimtuha “, baik itu laki-laki atau juga yang perempuan
b. Orang tua dari suami, baik itu ayah ataupun ibu.
Kedudukan mertua dan orang tua dalam pembagian warisan tidak begitu dibedakan, kecuali juga dalam hal terjadi perselisihan waris, maka kedudukan mereka akan ditentukan oleh petuah yang diberikan oleh tuan guru.
5. Janda dan Duda
Janda atau duda dalam hal warisan lebih ditekankan kepada konotasi ketiadaan pasangan hidup (suami/isteri) yang diakibatkan oleh kematian atau yang sering disebut cerai mati. Istilah yang digunakan untuk menyebut mereka yang ditinggal mati pasangannya ini adalah “balu” untuk wanita, dan “duda” untuk pria.
Janda atau duda dalam masyarakat Banjar mempunyai kedudukan tersendiri dalam hal warisan, khususnya dalam hal harta bersama yang diperolehnya selama perkawinan. Kedudukan itu adalah :
a. Janda/duda memperoleh harta dalam kedudukannya sebagai isteri atau suami dari yang meninggal dunia yang mempunyai hak langsung terhadap harta yang ditinggalkan.
b. Janda/duda berkedudukan pula sebagai ahli waris terhadap warisan yang merupakan bagian dari suaminya/isterinya yang meninggal dunia.
Dalam kedudukannnya yang demikain itu, maka janda/duda sangat menentukan saat pembagian dan besarnya bagian yang diperoleh ahli waris lainnya (anak-anaknya), sebab dalam kenyataannya kalau masih ada Janda/duda seluruh harta menjadi dalam kekuasaannya, dan anak-anaknya umumnya menganggap tidak layak membagi warisan kalau masih ada salah satu dari orang tuanya tersebut.
Dalam kaitan inilah kedudukan Janda atau duda sangatlah penting, hal ini dapat terjadi sebagai suatu manifestasi dari “adat istiadat” orang Banjar terhadap orang tua (bakti terhadap orang tua). Semua ahli waris menunjukkan suatu sikap harta yang ditinggalkan oleh salah satu orang tua mereka haruslah dinikmati oleh Janda atau duda tersebut. Pengecualian terhadap hal ini dapat saja terjadi jikalau
15


diantara ahli waris ada yang menuntut haknya, dimana orang ini sering disebut sebagai “kada beadat” (berani terhadap orang tua), dalam hal inilah dimintakan petuah kepada “tuan guru”.
6. Penerima Waris Lainnya
Sebenarnya dalam masyarakat Banjar dalam hal menentukan siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris ataupun penerima waris lainnya berpegang pada garis keturunan dan wasiat yang disampaikan oleh pewaris. Dalam hal berdasarkan keturunan ini ahli warisnya ditentukan oleh “tuan guru”, sehingga berpegang pada hukum waris Islam (fara’id). Oleh karena itu faktor-faktor yang merupakan faktor “hijab” atau terhalang dalam menerima warisan akan menentukan sampai sejauhmana garis keturunan itu ditarik, baik yang lurus ataupun yang menyamping.
Berdasarkan hal tersebut dalam keadaan tertentu seperti pihak saudara ayah-ibu beserta anaknya seperti “mamarina” dan “sepupu”. Juga dapat sebagai ahli waris. Bahkan dalam keadaan tertentu pula “memarina” atau “julak” (julak laki atau julak bini) itu dapat menguasai harta warisan ahli waris.

B. Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat Banjar
Sebelum memaparkan proses pembagian harta warisan menurut hukum adat Banjar, maka terlebih dulu dikemukakan karakteristik Harta Warisan dalam hukum adat Banjar. Harta warisan yang menjadi objek warisan dalam masyarakat Banjar adalah barang-barang yang menjadi satu kesatuan dalam aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari. Barang-baranga ini secara umum tidak berbeda dengan barang-barang umumnya yang dimiliki oleh masyarakat, karena yang diteliti adalah masyarakat Banjar yang tinggal di perkotaan.
Barang-barang di maksud dalam katagori tertentu seperti yang kita kenal dapat berupa barang-barang bergerak seperti peralatan - peralatan rumah tangga dan dapat pula barang- barang tidak bergerak seperti rumah dan tanah.
Adapun yang mungkin dapat dikatakan sebagai harta warisan yang khas dalam masyarakat Banjar adalah berupa :
1. Perahu
Perahu ini adalah alat transportasi bagi masyarakat dalam setiap aktivitasnya, bahkan perahu ini menjadi tempat dalam kegiatan ekonomi. Perahu ini dikenal beberapa macam, yaitu :
16

a. Jukung, yaitu perahu kecil tanpa mesin yang menjalankannya secara dokayuh.
b. Jukung tiung, yaitu perahu besar tanpa mesin yang menjalankannya digandengkan dengan perahu motor. Jukung tiung ini digunakan untuk memuat barang dalam jumlah besar;
c. Kelotok, yaitu perahu kecil yang operasionalnya menggunakan mesin;
d. Kelotok ganal, yaitu perahu yang ukurannya cukup besar yang didalamnya bisa untuk bermain, operasionalnya dengan menggunakan mesin.
2. Lanting
Lanting adalah rakit dari kayu yang menjadi tempat untuk mandi, cuci dan kakus. Lanting ini biasanya dibuat oleh orang berada (kaya) di kampung tersebut, akan tetapi penggunaannya digunakan secara umum. Namun ada pula lanting yang memang menjadi milik bersama dari masyarakat tersebut, karena dibuat secara gotong royong. Lanting ini termasuk harta peninggalan yang tidak dibagi dan tidak dikuasai secara bersama.
3. Hak atas Sanda
Hak atas sanda ini sebagaimana disebutkan terdahulu merupakan hak kebendaan yang sifatnya khas ada dalam masyarakat Banjar, hak atas sanda ini pada dasarnya suatu lembaga jaminan terhadap seseorang yang memerlukan uang, yang kemudian ia menyerahkan barang yang ia punyai sebagai jaminan. Barang yang dijaminkan disini tidak dibedakan apakah itu barang bergerak atau tidak. Umumnya yang disandakan adalah harta berupa rumah, tanah dan perahu. Lamanya hak atas sanda ini biasanya diperjanjikan atas kesepakatan bersama dan dapat terus diperpanjang, seperti 6 bulan, 1 tahun atau lebih dari itu.
Disamping harta-harta tersebut diatas, sesuatu yang khas adalah berkaitan dengan harta-harta yang berhubungan dengan sungai. Harta di maksud di samping harta berupa perahu juga ada ditemukan harta
17


berupa rumah, akan tetapi rumah ini tidak terletak di deretan melainkan terletak di sungai Rumah yang terletak disungai ini terbagi dalam dua golongan, yaitu :
1. Rumah yang didirikan di atas sungai yang menggunakan tongkat kayu sebagai tiang penyangga dan
2. Rumah yang didirikan di atas sungai yang menggunakan kayu sebagai penyangga yang tidak bertancap ke tanah, rumah ini dikenal dengan istoilah “rumah lanting”. Karakteristik dari rumah di atas air ini secara khusus ada, pada “rumah lanting”, yaitu sifatnya dapat dipindahkan kemana saja sepanjang sungai (Sungai Kuin, Martapura dan barito) sesuai dengan keinginan pemiliknya. Daya tarik mendirikan rumuah lanting tersebut terletak pada aktivitas penghuninya yang menggunakan air sebagai sumber kehidupan, seperti membuka “toko” (warung) untuk melayani pembeli yang menggunakan air sebagai sumber aktivitas. Rumah lanting ini disamping digunakan untuk tempat tinggal, juga ditemukan rumah lanting sebagai tempat berjualan (toko/kedai), yang menjual segala macam kebutuhan sehari-hari. Mereka-mereka yang menggunakan rumah lanting sebagai temapat berjualan, biasanya juga mempunyai perahu untuk berjualan, perahu-perahu tempat berjualn ini pada pagi hari berpusat pada” pasar, terapung” yang terletak di Sungai Barito.
Selanjutnya akan dikemukan pula perihal harta warisan dan harta peninggalan dalam hukum adat Banjar. Harta warisan dalam masyarakat Banjar membedakan antara harta warisan dengan harta peninggalan. Harta warisan adalah harta peninggalan yang sudah dikurangi dari kewajiban-kewajiban tertentu sehubungan dengan meninggalnya pewaris. Dengan demikian yang di maksud harta peninggalan adalah seluruh harta yang ditinggalkan pewaris pada saat ia meninggal dunia.
Harta peninggalan oleh ahli waris yang pertama-tama akan dipenuhi kewajiban-kewajiban yang berkenaan dengan kewajiban yang harus diselesaikan oleh pewaris selama ia hidup, dan kewajiban-
18


kewajiban penyelenggaraan upacara-upacara setelah meninggalnya pewaris tersebut.
Kewajiban-kewajiban itu adalah, sebagai berikut :
1. Kewajiban pelunasan hutang-hutang pewaris.
Tentang kewajiban ini biasanya diumumkan kepada masyarakat pada saat penyelenggaraan pemakaman atau pada saat mensholatkan Jenazah, yang mana dalam pengumuman tersebut diminta kepada siapa saja yang ada hubungan utang piutang dengan yang meninggal dunia harap menghubungi ahli waris dan diminta pula untuk merelakannya kalau yang bersangkutan merelakannya. Dalam hal yang merelakan ini biasanya adalah dalam kondisi baik pewaris maupun ahli waris tergolong orang yang tidak mampu (miskin).
2. Kewajiban Penyelenggaraan Upacara Kematian
Dalam penyelenggaraan kematian pewaris ini dilakukan sejumlah kegiatan yang memerlukan biaya, yaitu :
a. Penyelenggaraan Jenazah, seperti memandikan, mengafani, mensholatkan.
b. Upacara “helah”, yaitu suatu upacara untuk menebus dosa-dosa yang meninggal karena melalaikan sholat dan puasa, upacara ini dipimpin oleh Tuan guru. Adapun sumber dari upacara ini adalah dari ajaran Imam Hanafi.
c. Upacara “Baaruhan”. Yaitu upacara selamatan atau kenduri, yang meliputi saat menurun tanah, “maniaga hari” (selama tiga hari berturut-turut sejak pewaris meninggal dunia), “mamitung hari” (kenduri pada hari ke-tujuh), “menyelawi” (kenduri pada hari ke-dua puluh lima), “mematang puluh” (kenduri pada hari ke-empat puluh) dan terakhir “menyaratus” (kenduri pada hari ke-seratus).
d. Upacara haul, yaitu upacara rutin pada setiap tahun sekali yang dilaksanakan tepat pada hari meninggalnya pewaris. Untuk keperluan haul ini biasanya ada harta peninggalan yang dipersiapkan untuk menutupi biayanya.
19

3. Kewajiban Memenuhi Wasiat atau Amanat Pewaris
Dalam hal-hal tertentu pewaris sebelum meninggal dunia ada berpesan untuk memberikan hartanya kepada pihak-pihak tertentu, baik itu kepada individu di lingkungan keluarga dan masyarakat, maupun untuk kepentingan sosial seperti untuk Mesjid dan Pesantren. Amanat pewaris ini sangat dihormati oleh ahli waris, sehingga ia termasuk hal yang diutamakan dalam penylesaian atau pemenuhannya.
Dengan adanya kewajiban-kewajiban yang harus dikeluarkan atau dipatuhi terhadap harta peninggalan pewaris tersbeut itulah, ditemukan sejumlah harta peninggalan pewaris tersebut itulah. Ditemukan sejumlah harta peninggalan yang tidak dibagi waris, seperti harta peninggalan untuk keperluan “bahaul” atau “haulan” setiap tahun, yang biasanya berupa tanah, sehingga tanah tersebut disebut “tanah tunggu haul”. Di samping tanah juga terdapat barang lain seperti perahu, dimana hasil dari perahu ini sebagian disisihkan untuk keperluan haulan dan juga memenuhi wasiat lain seperti untuk pembangunan mesjid atau membantu anak yatim.
Di samping harta peninggalan tidak dibagi, juga ditemukan harta peninggalan yang belum dibagi. Harta peninggalan yang belum dibagi ini berkaitan dengan suatu sebab, yaitu masih adanya salah satu dari orang tua mereka (ayah atau ibu). Dalam hal ini para waris dalam rangka menghormati orang tuanya merasa tidak tega membagi harta yang ditinggalkan, mereka yang menggugat untuk membagi harta peninggalan tersebut, oleh masyarakat digolongkan sebagai anak yang tak tahu diri (durhaka). Oleh karena itu merupakan pantangan membagi harta peninggalan sementara salah seorang dari orang tua mereka masih ada. Pengecualian dari hal ini dapat saja terjadi kalau memang salah satu dari orang tua yang bersangkutan menghendaki sendiri adanya pembagian harta peninggalan tersebut.
Dalam hal tertentu ada pula harta peninggalan yang dibagi, tapi tidak diserahkan kepada yang bersangkutan seperti dalam hal salah
20


seorang dari ahli waris masih belum dewasa atau dianggap masih belum dapat mengurus harta sendir. Terhadap masalah ini harta peninggalan yang dibagi, tetapi tidak diserahkan tersebut akan dikuasai oleh saudara tertua atau paman dari ahli waris tersebut.
Sebagaimana dikemukakan di atas harta warisan adalah harta yang menjadi hak para waris dan berupa harta peninggalan setelah dikurangi dengan berbagai kewajiban yang ditinggalkan pewaris. Dengan demikian dalam masyarakat Banjar suatu bundle harta warisan adalah harta yang sudah siap di bagi warisan, tanpa ada lagi kewajiban-kewajiban yang akan dikeluarkan yang terkait dengan urusan pewaris.
Harta warisan adalah harta yang dimiliki atau dikuasai oleh orang tua mereka, tanpa begitu memperhatikan dari bawaan siapa dahulku harta tersebut. Dalam hal ini berarti tidak dipermasalahkan apakah ia bawaan suami atau bawaan isteri sebelum perkawinan dilakukan. Disini yang penting bagi ahli waris adalah harta tersebut dimiliki dan dikuasai atas nama orang tua mereka. Kondisi seperti ini ditunjang oleh nilai-nilai yang hidup yang tidak mengenal perjanjian mengenai harta pada saat melangsungkan perkawinan. Persoalan harta bawaan ini dapat saja menjadi permasalahan kalau seorang pewaris tidak mempunyai anak, sehingga pembagian warisan melibatkan keluarga ke samping.
Begitu pula mengenai harta warisan yang berasal dari harta pemberian, baik itu pemberian orang tua masing-masing ataupun pemberian kerabat masing-masing ataupun juga hadiah, asalkan pemberian itu dilaksanakan dalam masa perkawinan, maka hal itu tidak dipermasalahkan harta siapa itu. Dengan kata lain, pada masyarakat Banjar sebenarnya tidak mengenal pembagian harta warisan yang ditelusuri asal-usulnya, apakah itu dari harta pemberian orang tua masing-masing atau kerabat masing-masing. Harta yang masuk ke-dalam satu keluarga dianggap sebagai harta mereka bersama, karena harta adalah dianggap rezeki, yaitu rezeki bersama yang datangnya dapat saja lewat salah satu dari anggota keluarga.
21
14 Muhammad Sanusi, Suatu Tinjauan terhadap Harta Bersama dalam Hukum Keluarga dan Hukum Waris Suku Banjar, Prasaran pada Diskusi Hakim/Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Banjarmasin, (tanpa tahun)
15 Soerjono Soekanto, Kamus Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1982) hlm. 204.

Berkaitan dengan harta warisan ini dikenal apa yang disebut harta bersama, yang disebut dengan “harta papantangan”. Perkataan harta perpantangan berasal dari istilah bahasa Banjar yang berarti "semua harta yang diperoleh dari hasil kerja sama suami isteri selama berlangsungnya perkawinan".14 Di dalam Kamus Hukum Adat, pengertian harta perpantangan adalah “harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha suami dan isteri bersama-sama”.15
Pengertian kerja sama di sini tidaklah berarti bagi suami dan isteri harus seimbang dalam hal kerja dan jasa untuk mengumpulkan harta tersebut. Karena sudah merupakan kodratmya bahwa aktivitas seorang isteri dicurahkan untuk mengurus rumah tangga dan anak-anaknya, dan bagi suami tugas pokoknya adalah memberi nafkah untuk kepentingan keluarga dan rumah tangganya. Dalam hal inilah terlihat adanya kerja sama dimaksud, masing-masing bekerja sesuai dengan bidangnya. Oleh karena itu dalam masalah harta perpantangan, suami isteri sama-sama mempunyai peranan dan andil yang besar.
Harta di dalam perkawinan dapat digolongkan dalam beberapa macam. Menurut Hilman Hadikusuma, penggolongan dari harta perkawinan sebagai berikut :
1. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri sebelum perkawinan yaitu "harta bawaan".
2. Harta yang diperoleh / dikuasai suami atau isteri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu "harta penghasilan".
3. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri bersama-sama selama perkawinan yaitu "harta pencaharian".
22
16 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung : Alumni, 1983), hlm. 157.
4. Harta yang diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah, yang kita sebut "hadiah perkawinan"16
Dan penggolongan ini dapat dilihat bahwa tidak semua harta didalam perkawinan itu adalah harta perpantangan, meskipun pada kenyataannnya harta perkawinan ini dapat digunakan untuk mengambil manfaat bagi kepentingan biaya rumah tangga dan juga modal usaha bagi suami atau isteri untuk mendapatkan kekayaan.
Di lingkungan masyarakat Banjar di samping suami, seorang isteri juga ikut berperan aktif dalam mengumpulkan harta kekayaan. Lebih-lebih lagi dikalangan keluarga yang ekonominya lemah. Untuk mencukupi keperluan hidupnya dengan rela seorang isteri ikut membantu suaminya mencari nafkah. Dengan latar belakang kehidupan seperti inilah timbulnya istilah harta perpantangan di kalangan masyarakat Banjar yang berkembang sebagai suatu hukum dalam masyarakat dan keberadaannya juga diakui oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan :
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri hadiah atau warisan, adalah dibawah pengawasan masing-msing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Keberadaan harta bersama (perpantangan) telah menjadi budaya dalam masyarakat Kalimantan Selatan sejak lama. Karena itu apabila dalam keluarga terjadi peristiwa perceraian atau kematian salah seorang dari suami isteri, maka harta mereka dibagi menjadi dua bagian yang sama, kecuali harta bawaan atau warisan, tetap menjadi harta pribadi masing-masing.
23


Meskipun hukum Islam tidak mengenal harta perpantangan karena nafkah isteri dan semua fasilitas hidup dan kehidupannya menjadi tanggung jawab suami secara penuh, namun keberadaan harta perpantangan tidak bertentangan dengan hukum Islam dan telah merupakan kenyataan hukum yang hidup di tengah masyarakat.
Harta perpantangan (harta bersama), istilah ini lahir setelah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari melihat kehidupan keluarga di kalangan masyarakat Arab berbeda dengan masyarakat Banjar. Di Saudi Arabia memang perempuan (isteri) tidak bekerja, karena itu apabila suami meninggal dan mempunyai anak, si isteri hanya mendapat seperdelapan dari harta warisan, kalau tidak ada anak mendapat seperempat dari harta warisan (peninggaian suami), berbeda dengan masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) isteri ikut bekerja bersama suami sekalipun hanya bekerja di rumah saja, selama masih sebagai suami isteri dinamakan harta perpantangan atau harta bersama. Apabila salah satu meninggal maka yang masih hidup lebih dahulu mengambil 50 % (lima puluh persen) dari harta bersama dan sisanya baru dibagi sesuai dengan ketentuan hukum Faraidh. Harta bersama ini diqiaskan dengan Syirkatu al abdan.
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atau gono gini di peninggalan pewaris (suami), sedang keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya. Pembagian warisan diperhitungkan lamanya perkawinan. Isteri pertama lebih banyak dari isteri ke 2, 3 dan 4. Hukum syirkah dikaitkan dengan hukum KHI disesuaikan dengan hukum setempat, . dan penerapannya secara poligami dilihat dari penghasilan / perolehan dari isterinya.
Berdasarkan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, bahwa Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Memang Hukum adat masyarakat Kalimantan Selatan, sebahagian besar bersumber dari Hukum Islam. Ulama yang sangat berpengaruh
24


adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dengan karya beliau yang terkenal kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan rujukan bagi masyarakat/ulama di Kalimantan Selatan. Beliau telah menguraikan tentang adanya harta bersama, mengingat bahwa suami dan isteri sama-sama bekerja mencari nafkah. Karena itu jauh sebelum lahimya Undangundang Nomor 1 Tahun 1974, masyarakat Islam di Kalimantan Selatan sudah mengenal adanya Harta bersama dan diterapkan pembagiannya dalam hal terjadi perceraian maupun dalam pelaksanaan pembagian harta warisan.
Keberadaan harta parpantangan terdapat pula pada susunan masyarakat yang bilateral atau parental, karena dalam susunan masyarakat yang bilateral tidak dibedakan antara kecakapan bertindak suami dan isteri. Keadaan ini mendapat dukungan dari Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan, bahwa :
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Fiqih Islam memang tidak menyinggung secara jelas tentang harta perpantangan. Dalam Al-Qur'an surat An Nisa ayat 32 hanya ada ketentuan bahwa bagi laki-laki sesuai dengan apa yang mereka usahakan, demikian juga bagian dari perempuan sesuai dengan apa yang mereka usahakan pula.
Yang menjadi ukuran dalam pembagian ini adalah usaha yang dilaksanakan oleh masing-masing. Apabila besar usahanya maka besar pula bagian yang diterimanya sebaliknya apabila sedikit usahanya maka akan sedikit pula bagian yang diterimanya.
Mengingat harta papantangan merupakan harta yang diperoleh dalam perkawinan atau harta pencaharian bersama, dan dianggap sebagai harta bersama suami isteri, maka apabila ada perceraian
25


ataupun kematian, harta tersebut harus dibagi sama antara suami dan isteri tersebut.
Dengan konsep harta bersama yang demikian itu, maka dalam hal terjadi salah satu meninggal dunia, akan dipisahkan antara harta parpantangan dengan harta warisan. Dalam hal ini berarti harta parpantangan semacam “harta kongsi” yang harus dipisahkan lebih dahulu sebelum diadakan pembagian harta menurut hukum waris.
Keberadaan harta bersama (perpantangan) telah menjadi budaya dalam masyarakat Kalimantan Selatan sejak lama. Karena itu apabila dalam keluarga terjadi peristiwa perceraian atau kematian salah seorang dari suami isteri, maka harta mereka dibagi menjadi dua bagian yang sama, kecuali harta bawaan atau warisan, tetap menjadi harta pribadi masing-masing.
Masalah harta parpantangan ini berkaitan erat dengan kedudukan isteri dalam rumah tangga serta haknya atas harta yang diperoleh selama berumah tangga tersebut. Suatu harta dianggap harta parapantangan, kalau dalam rumah tangga tersebut si isteri turut bekerja (kantor, dagang atau tani), sehingga nantinya mereka ini (si-isteri) berhak separo atas harta bersama tersebut. Dalam hal pembagian waris nantinya sisanya yang separo setelah diambil oleh isteri itulah yang akan dijadikan harta warisan.
Masalah isteri yang bekerja sebagai dasar untuk menentukan harta parpantangan tersebut terjadi perbedaan pedapat, khususnya mengenai kriteria bekerja dalam hal “ibu rumah tangga”. Perbedaan itu yaitu :
1. Bahwa isteri tidak mendapat harta parpantangan, atau harta itu bukan harta parapantangan, karena isteri dianggap tidak bekerja. Dalam hal ini isteri hanya mendapat bagian waris seuai dengan kedudukannya sebagai ahli waris.
2. Bahwa isteri mendapatkan harta parpantangan, akan tetapi isteri tidak mendpaatkan separo, besarnya ditentukan dalam permusyawaratan pembagian harta peninggalan.
26

3. Bahwa sekalipun isteri tidak bekerja secara nyata, karena hanya sebagai ibu rumah tangga, akan tetapi hakikatnya ia bekerja. Hakikat bekerja ini dikarenakan si isteri melakukan pekerjaan di rumah diluar pekerjaan yang seharusnya ia tidak lakukan (ada kewajiban suami menyediakan pembantu dalam rumah tangga), oleh karena itu tidak akan mungkin seorang suami dapat bekerja dengan baik tanpa dibantu oleh si-isteri di rumah. Dengan demikian si-isteri yang hanya sebagai ibu rumah tangga pun berhak atau harta parapantangan.
Harta warisan dan atau harta peninggalan tidak selalu hanya berupa barang-barang berwujud, akan tetapi juga ditemui barang-barang tidak berwjud, yaitu berupa hak-hak. Hak-hak ini biasanya adalah hak atas “sanda” terhadap barang-barang seperti tanah, rumah, dan perahu. Lembaga “sanda” ini dapat dikatakan sebagai hak kebendaan baik terhadap barang bergerak maupun barang tidak bergerak, dalam hal ini berbeda konsepnya dengan lembaga “gadai” atau “hipotek” sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata.
Terhadap harta peninggalan berupa hak-hak atas “sanda” ini dalam permusyawaratan pembagian harta peninggalan / warisan sedapat mungkin di “cairkan” atau dijadikan uang. Akan tetapi manakala tidak dapat dicairkan, maka biasanya akan menjadi harta peninggalan / warisan yang tidak terbagi. Penguasaan harta peninggalan / warisan yang tidak terbagi berupa hak-hak atas sanda ini biasanya dikuasai oleh salah seorang orang tua yang masih ada tau saudara yang tertua, kalau ia berupa rumah akan dikuasai oleh ahli waris yang tidak mampu atau belum memiliki rumah.
Kemudian dalam hal proses pembagian harta warisan menurut hukum adat masyarakat Banjar, dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu pembagian harta sebelum pewaris meninggal dunia, pembagian sesudah pewaris meninggal dunia, dan pelaksanaan pembagian waris itu sendiri.
27

1. Sebelum Pewaris Meninggal Dunia
Proses pembagian harta sebelum pewrisan meninggal dunia ini adalah suatu proses yang mana pewaris belum meninggal dunia, akan tetapi ia sudah memikirkan bagaiamana pembagian harta yang akan ditinggalkannya kelak akan dibagi-bagi. Adanya proses pembagian harta sebelum pewaris meninggal dunia ini dahulu atau didasari oleh suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu ini adalah sebagai prakondisi yang mendorong diadakannya proses pembagian harta tersebut. Pra kondisi ini diantaranya adalah:
a. Pewaris sudah tua, yang dalam istilah masyarakat Banjar “ sudah ba’umur”;
b. Pewaris sakit-sakitan yang merasa hidupnya tidak akan lama lagi;
c. Pewaris tidak mempunyai anak;
d. Pewaris mempunyai “anak pintaan”(semacam anak angkat),”dangsanak angkat”(saudara angkat), dan” Kuwitan angkat” (orang tua angkat);
e. Pewaris dalam keadaan sakinya diharagu”(dipelihara) oleh oarng yang tidak berkedudukan sebagai ahli waris.
f. Pewaris mempunyai anak, akan tetapi ia menyadari ada diantara anak-anaknya tersebut yang “ penguluh”(serakah) terhadap harta, sehingga pewaris khawatir kelak akan terjadi perselisihan diantara anak-anaknya tersebut.Prakondisi ini tidaklah masing-masing berdiri sendiri,melainkan dapat saja bersifat gabungan(mixed) antara yang satu dengan lainnya, yang jalan prakondisi tersebut benar-benar melatarbelakangi terjadi pembagian harta(warisan) sebelum pewaris meninggal dunia.
Adapun bentuk-bentuk dari pembagian harta (warisan) sebelum pewaris meninggal dunia, ditemukan bentuk-bentuk sebagai berikut: ”Dibari’i” (hibah/ pemberian), ”Bapesan” atau “amanat” (wasiat); dan ”Wasiat hibah”.
a. Dibari’i (Hibah/ Pemberian)
28


“Dibari’i” atau hibah adalah suatu cara di mana harta dibagi-bagi oleh pewaris( yang akan mewariskan) kepada anak-anaknya (ahli waris) dan kepada pihak-pihak lain (penerima warisan) sesuai dengan apa yang diingikan pewaris. Proses pemberiannya dilakukan dengan cara pewaris mengumpulkan semua ahli waris dengan atau tanpa penerima warisan lainnya, setelah semuanya berkumpul pewaris mengemukakan keinginannya membagi-bagi harta kepada ahli waris dan penerima warisan lainnya.Dalam kondisi seperti ini ahli waris umumnya menyetujui pembagian yang dilakukan oleh orang tuanya sebagai wujud dari penghormatan dan baktinya tehadap orang tua tersebut.
Dalam proses pengibahan itu biasanya diundang seseorang yang menjadi tokoh dalam masyarakat seperti “ tuan guru” atau tokoh formal seperti Ketua Rukun Tetangga atau Lurah dimana mereka diminta untuk menyaksikan apa-apa yang telah dihibahkan tersebut.
Dalam proses penghibahan ini pula manakala ahli waris ada yang tidak hadir, maka pewaris berpesan kepada yang hadir untuk menyampaikan apa-apa yang sudah menjadi kehendaknya dalam pembagian harta tersebut.
Adapun besarnya bagian masing-masing dalam pengibahan ini tidak ditemukan norma yang pasti, yang menjadi tolak ukur hanyalah asas “kepatutan” atau asas “keadilan” yang ada dalam benak pewaris. Dalam hal ini pra kondisi tersebut di atas sangat mempengaruhi besarnya penerimaan harta yang diterima oleh para ahli waris dan pewaris lainnya. Harta yang dihibahkan tersebut akan dibagi-bagi sesuai dengan kondisi hartanya, seperti X menerima rumah, Y. Menerima perahu, N menerima perhiasaan dan seterusnya.
Kehadiran tokoh masyarakat (“tuan guru”) tersebut sangat berperan dalam mengimplementasikan asas kepatutan dalam
29


pembagian tersebut. Maksudnya prinsip-prinsip pembagian yang menyangkut hak-hak waris menurut hukum Islam menjadi pertimbangan utama dari pewaris dalam menetapkan bagian dari masing-masing ahli waris dan penerima warisan lainnya. Di samping prinsip-prinsip hukum Islam yang terjadi patokan dasar oleh pewaris dalam menentukan bagian, juga hal yang sangat penting adalah penerimaan dari ahali waris terhadap apa-apa yang diputuskan oleh pewaris tersebut. Oleh karena itu dalam pemberian harta ini (hibah) biasanya juga disertai dengan musyawarah, sehingga apa-apa yang sudah diputuskan pewaris dapat diterima oleh ahli waris.
Manakala harta yang sudah dihibahkan tersebut masih berada dalam penguasaan pewaris, maka ahli waris merelakannya, (membiarkannya) karena mereka masih beranggapan bahwa pewaris berhak mmenikmati harta tersebut, terlebih pula hal ini dikaitkan dengan penghargaan atau wujud kebaktian mereka terhadap orang tua.
b. Wasiat
Wasiat atau dalam istilah masyarakat Banjar disebut dengan “amanat” atau “ba’amanah” atau “ba’amanat” adalah pesan (amanat) dari pewaris (almarhum), yang isinya barupa penunjukkan benarnya bagian pada ahli waris tertentu, orang tertentu (penerima warisan) lainnya, ataupun juga berisi larangan untuk membagi harta peninggalan tertentu.
Wasiat umumnya dilakukan secara lisan kepada ahli waris dan penerima warisan lainnya yang disaksikan oleh orang-orang tertentu, seperti kerabat dekat dan “tuan guru”. Namun demikian wasiat ini terkadang hanya disampaikan kepada “tuan guru” atau kerabat dekat, tanpa diketahui oleh ahli waris atau sebagian dari ahli waris.
Penentuan ada tidaknya suatu wasiat ditentukan dalam musyawarah pembagian harta warisan, dimana masing-masing
30


akan mengemukakan ada tidaknya wasiat (pesan/amanah) yang diminta oleh pewaris (almarhum) terhadap pembagian harta warisan tersebut. Suatu wasiat (pesan) dianggap sah kalau wasiat itu minimal diketahui oleh seorang saksi, oleh karena itu wasiat akan dianggap tidak sah atau tidak ada kalau hanya dikemukakan oleh satu orang, baik ia langsung sebagai yang ditunjuk dalam wasiat ataupun orang lain.
Substansi dari wasiat berupa penunjukkan bagian-bagian dari ahli waris dan penerima warisan lainnya mengacu kepada prakondisi yang melatarbelakangi adanya wasiat tersebut, sehingga besarnya bagian atau jenis-jenis harta yang didapatkan tidak terlepas dari penilaian-penilaian pewaris (almarhum) terhadap kondisi keluarganya. Oleh karena itu bagian ahli waris dan pewaris lainnya mengacu kepada kndisi keluarga pewaris tersebut, yang dalam hal ini harta yang didapatkan sesuai dengan kebutuhan ahli waris dan penerima waris lain tersebut sebagaimana juga dalam hibah, seperti harta berupa perhiasan untuk Si X dan harta berupa rumah untuk Si Y dan seterusnya.
Adapun juga yang perlu dicatat adalah gagasan untuk membuat wasiat melibatkan “tuan guru”, dimana biasanya saran dapat datang dari “tuan guru” itu sendiri ataupun juga pewaris (almarhum) yang meminta pertimbangan kepada “tuan guru” terhadap kebaikan-kebaikan yang akan ia tinggalkan untuk keluarganya dengan prakondisi yang ada pada keluarganya tersebut. Dengan keterlibatan “tuan guru” tersebut, maka substansi wasiat akan berpedoman kepada syari’at Islam, termasuk nanti dalam pelaksanaannya yang juga akan melibatkan “tuan guru” tersebut.
Adapun yang menjadi tujuan utama dalam masyarakat Banjar dari adanya wasiat ini adalah agar para ahli waris dan penerima warisan lainnya tidak terjadi perselisihan berupa “barabut” (memperebutkan) harta warisan, yang menurut
31


keyakinan bahwa adanya perselisihan tersebut akan mengakibatkan tidak tentramnya pewaris (almarhum) di alam kubur. Oleh karena itu ketaatan para ahli waris dan penerima warisan lainnya didasarkan kepada rasa taat dan hormat terhadap orang tua (asas kebersamaan) dalam rangka keselamatannya menjalani tahap kehidupan di alam kubur. Dengan demikian perbuatan para ahli waris dan penerima warisan lainnya yang tidak berpijak kepada apa-apa yang diwasiatkan pewaris diyakini membawa dampak ganda, yaitu :
1).Pewaris (almarhum) menjadi terhalang atau terganggu atau tidak tentram menjalani kehidupan di alam kuburnya ; dan
2).Ahli waris dan pewaris lainnya menjadi tidak tenang atau tentram hidupnya, yang biasanya akan selalu merasa didatangi oleh orang tuanya (almarhum) dalam mimpi.
c. Wasiat hibah
Sebagaimana halnya hibah dan wasiat dalam masyarkat Banjar juga ditemukan proses pembagian waris berupa wasiat hibah. Wasiat hibah ini pada dasarnya adalah gabungan antara wasiat dengan hibah, yaitu pemberian harta (warisan) yang pelaksanaannya akan dilakukan setelah pewaris meninggal dunia.
Dibandingkan dengan hibah, maka wasiat hibah harta (warisan) masih berada dalam kepemilikan dan kekuasaan pewaris sampai ia meninggal dunia. Sedangkan dalam hibah secara formal kepemilikan harta tersebut sudah beralih kepada ahli waris atau penerima waris lainnya, walaupun terkadang harta masih berada dalam kekuasaan pewaris. Begitu pula kalau dibandingkan dengan wasiat, maka wasiat hibah ini pelaksanaannya sudah ada semenjak pewaris masih hidup.
Substansi dari wasiat hibah ini juga tidak jauh berbeda dengan hibah dan wasiat, karena hanya caranya yang berbeda. Cara yang digunakan dalam wasiat hibah ini biasanya dilafalkan
32


atau diucapkan sebagai berikut : “kalau aku habis umur, si A akan kubari’i harta N, si B harta P dan seterusnya.
Substansi dan latarbelakang wasiat hibah juga sama dengan hibah dan wasiat, hanya wasiat hibah ini juga ditambah dengan pertimbangan bahwa pewaris akan tetap dapat dimiliki dan menguasai (menikmati) hartanya selama ia masih hidup, tanpa merasa menggunakan fasilitas yang ada pada anaknya.
Begitu pula dalam proses pernyataan dan pelaksanaan wasiat hibah juga melibatkan kerabat dekat yang dianggap tua (sepuh) atau dituakan dan “tuan guru”, sehingga substansinya juga mempergunakan pertimbangan-pertimbangan syari’at Islam. Paling tidak bagi mereka dengan dilibatkannya. “tuan guru” tersebut, terdapat perasaan aman dan tenang karena dipandang sesuai dengan ajaran agama. Disamping itu kelak dalam pelaksanannya dapat diwujudkan dengan baik, mengingat tuan guru tersebut adalah orang yang terpandang dan berpengaruh dalam masyarakat.
Kecenderungan digunakannya lembaga wasiat hibah ini dalam masyarakat Banjar sekarang semakin banyak dibandingkan dengan lembaga hibah dan wasiat, karena lembaga wasiat hibah dapat menajdi landasan bagi pewaris untuk tetap mempertahankan hartanya selama ia masih hidup. Kemudian ia juga dapat merencanakan pembagian harta itu secara “adil” (asas keadilan) menurut prakondisi yang ada pada keluarganya kalau suatu saat ia meninggal dunia.
2. Sesudah Pewaris Meninggal Dunia
Proses pembagian warisan sesudah pewaris meninggal dunia adalah suatu proses yang berjalan secara normal dalam bidang hukum waris. Untuk ini dalam masyarakat Banjar pelaksanaannya diadakan sesudah selesai pengurusan segala hal yang menyangkut kepentingan pewaris (almarhum) yang biasanya setelah upacara
33


ma’ampat puluh hari” (empat puluh hari setelah pewaris meninggal dunia).
Adapun yang dianggap penyelenggaraan kepentingan pewaris yang harus didahulukan sebelum pembagian warisan dilakukan adalah :
a. Penyelesaian seluruh kewajiban utang pewaris;
b. Penyelesaian upacara penyelenggaraan jenazah pewaris; dan
c. Penyelesaian wasiat / amanah pewaris.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gusti Muzainah, apakah harta warisan itu di bagi atau tidak dibagi setelah pewaris meninggal dunia, ternyata ditemukan hasil yang bervariasi. Variasi-variasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Ada sebagian yang melakukan pembagian harta setelah empat puluh hari meninggalnya pewaris terhadap seluruih harta warisan;
b. Ada sebagian yang melakukan pembagian waris setelah empat puluh hari meninggalnya pewaris terhadap sebagian harta warisan; dan
c. Ada pula sebagian masyarakat tidak melakukan pembagian waris.
Adanya variasi dalam pelaksanaan pembagian waris tersebut tidak terpola dengan pasti, artinya masyarakat menganggap ketiga pola tersebut sebagai pola pelaksanaan pembagian waris yang sah-sah saja. Namun demikian pelaksanaan pola-pola tersebut selalu didahului oleh adanya kesepakatan atau bermusyawarah yang dikenal dengan istilah “islah”. Dalam hal ini berarti kalau para ahli waris menghendaki pembagian waris, maka mereka sepakat untuk membaginya, kalau mereka menghendaki hanya sebagian yang dibagi, maka hanya sebagian itulah yang dibagi, begitu pula kalau mereka tidak menghendaki untuk dibagi, maka harta warisan itupun tidak dibagi.
Terhadap harta warisan yang tidak dibagi, biasanya harta warisan diserahkan penguasaannya kepada salah satu orang tua (janda/duda) atau kepada anak yang tertua. Kalau dalam keluarga
34


tersebut kedua orang tuanya sudah tidak ada lagi, sedangkan ahli waris masih belum dewasa, maka biasanya penguasaan harta warisan diserahkan kepada salah satu dari Saudara lelaki dari orang tua (“mamarina”) (“julak/pakacil”).
Adanya harta warisan yang tidak dibagi adalah harta-harta yang dipersiapkan untuk membiayai penyelenggaraan upacara-upacara rutin untuk memperingati wafatnya pewaris, yaitu apa yang disebut “bahaul” yang diselenggarakan setiap tahun. Di samping itu keengganan membagi harta warisan dapat terjadi salah satu dari orang tua masih ada (hidup).
3. Pembagian Harta Warisan
Pembagian harta warisan dalam masyarakat Banjar dilakukan dengan menggunakan suatu lembaga, yang disebut “Islah”, artinya permufakatan / perdamaian antara ahli-ahli waris untuk menyerahkan sebagian warisan dari jumlah yang seharusnya dia terima kepada ahli waris yang menerima lebih kecil berdasarkan hukum faraidh.
Syekh Muhammad Arsyad al Banjari memperbolehkan pembagian harta warisan secara islah. Istilah islah dan harta perpantangan yang berkembang dalam pembagian harta warisan di kalangan masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) kabarnya dari ketentuan hukum Islam yang ditulis Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dalam Kitab al Faraid namun sampai sekarang naskah aslinya maupun salinan atau yang dicetak belum diketemukan. Ada yang mengatakan naskah aslinya ada di tangan salah seorang keturunannya yang bemama H. Abdurrahman Siddik yang pernah menjabat sebagai Mufti Kesultanan Siak Indragiri (Sapat) di Sumatera, tapi hingga sekarang naskah tersebut belum ditemukan. Namun ketentuan yang sudah menjadi realitas di kalangan masyarakat Banjar dalam pembagian harta pusaka yang berlaku sekian lama, bahkan harta perpantangan ini dilindungi oleh hukum
35
17 Musthafa Diibul Bigha, Ihtisar Hukum Islam Praktis, (Semarang : As-Syifa, 1994), hlm. 544-556.

adat, namun realitasnya sekarang menjadi hukum positif yang modern dan Islami.
Dalam lembaga “Islah” tersebut peranan tuan guru dan kerabat dekat yang tua sangat menentukan. Oleh karena ada peranan dari tuan guru, maka ketentuan-ketentuan dalam syari’at Islam menjadi tolak ukur mereka.
Namun demikian dalam keadaan normal (tidak adanya sengketa waris) pembagian harta warisan dilakukan secara bervariasi, dengan dua cara yaitu : “Fara’id –Islah” dan “Islah”.
a. Fara’id – Islah
Dilakukan pembagian menurut fara’id atau hukum waris Islam, setelah itu dilakukan pembagian dengan cara musyawarah mufakat atau “islah”. Prosesnya dalam hal ini tuan guru menghitungkan siapa-siapa saja yang mendapat warisan, dan berapa besar bagian masing-masing ahli waris tersebut. Seperti dalam masalah siapa-siapa ahli warisnya ditetapkan ahli waris dari golongan laki-laki (anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki ke bawah, ayah (abah), kakek (ka’i) laki-laki terus ke-atas, saudara laki-laki (dangsanak), anak saudara laki-laki (kemanakan) terus ke-bawah, saudara ayah (paman/julak), anak paman (sepupu) dan suami). Ahli waris dari golongan perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, nenek perempuan dari ayah, nenek perempuan dari ibu, dan isteri). Begitu pula dalam hal besarnya bagian-bagian ahli waris seperti seperdua (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6).17
Setelah tuan guru menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris ataupun penerima lainnya berdasarkan wasiat atau hibah wasiat, kemudian mengetahui besarnya bagian warisan yang mereka terima, maka kemudian mereka menyatakan
36


menerimanya. Akan tetapi dalam “islah” tersebut tidak berhenti hanya sampai di situ melainkan diteruskan dengan kesepakatan memberikan harta warisan yang merupakan bagiannya kepada ahli waris lain atau penerima waris lainnya.
Dalam kerangka “islah” inilah seseorang ahli waris yang mendapat bagian warisan seperti yang ditentukan dalam syariat Islam, pada akhirnya tidak mendapatkan seperti yang ditentukan oleh syariat Islam tersebut.
Dengan cara “Islah” tersebut dirasakan mudah dalam melaksanakan ketentuan yang ditetapkan agama, karena pembagian menurut faraid (hukum waris Islam) telah mereka lakukan, walaupun kemudian berdasarkan kerelaan masing-masing menyerahkan atau membagi laginya.
Berdasarkan pada “islah” ini aspek kepentingan keluarga dan kondisi ahli waris dan penerima warisan lainnya menjadi pertimbangan utama. Maksudnya, seseorang ahli waris yang menurut faraid mendapatkan bagian lebih besar, dan yang bersangkutan termasuk orang yang mapan (sukses kehidupan ekonominya), maka akan mendapatkan bagian harta warisan yang sedikit, atau bahkan tidak sama sekali. Begitulah seterusnya akibatnya prosentasi pembagian menurut faraid pada akhirnya tidak dipakai lagi, sehingga bagian warisan yang diterima oleh ahli waris dan pewaris lainnya dapat sama rata, atau ada yang tidak mendapatkan, atau ada yang mendapatkan sedikit, atau ada yang mendapatkan banyak.
b. Islah
Pembagian dengan cara islah atau dengan cara musyawarah mufakat ini, berarti prosesnya hanya menempuh satu cara, yaitu musyawarah mufakat. Dalam hal ini, ahli waris bermusyawarah menentukan besarnya bagian masing-masing ahli waris dan penerima warisan lainnya.
37
18 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Isalm di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992), hlm. 158.

Sebagaimana yang pernah disinggung, bahwa dalam islah ini pertimbangan-pertimbangan yang menentukan besarnya bagian masing-masing ditentukan oleh kondisi objektif keadaan ahli waris dan penerima warisan lainnya. Oleh karena itu bagian yang di terima oleh masing-masing ahli waris dan penerima warisan lainnya sangat variatif, karena tidak memakai prosentasi tertentu.
Kalau dalam pembagian waris dengan pola “faraid-Islah” terdapat kekhawatiran ahli waris tidak melaksanakan syari’at agama Islam, sebab dalam hal ini rasa keberagamaan mereka menjadi taruhan utama dalam kehidupan. Cara yang dipakai melalui “fara’id –Islah”, mereka anggap sudah melaksanakan syari’at agama atau sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agama, walaupun kemudian mereka memilih untuk melakukan islah agar pembagian tersebut dapat menyentuh aspek kemaslahatan keluarga.
Demikian pula halnya bagi mereka yang hanya menggunakan cara islah, mereka mengaggap lembaga “islah” juga dibenarkan oleh syari’at Islam, karena warisan termasuk bidang muamalah yang pelaksanaannya diserahkan kepada umat, asalkan dalam hal tersebut tidak ada perselisihan.
Dalam Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga ditegaskan bahwa “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”.18
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam, bahwa pola “fara’id-islah” yang selama ini diterapkan oleh masyarakat Banjar dalam pembagian warisan sudah sejalan, karena masing-masing pihak sudah menyadari besarnya bagian masing-masing pihak sudah menyadari besarnya bagian masing-masing sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh “tuan guru”.
38


Namun bagi mereka yang membagi harta warisan dengan hanya cara “islah” patut dipermasalahkan, karena tanpa didahului oleh proses pembagian menurut fara’id, sehingga ketentuan Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam itu tidak terpenuhi. Dalam hal ini masyarakat Banjar tidak melihat permasalahan tersebut dari aspek Kompilasi Hukum Islam, melainkan melakukan pembagian warisan berdasarkan apa yang mereka sepakati secara damai dan didasarkan pada kemaslahatan mereka. . Bagi mereka yang terpenting adalah “kesepakatan” dalam membagi warisan dan tidak terjadi sengketa atau perselisihan, namun apabila terjadi perselisihan di antara mereka maka islah tidak dilaksanakan, tetapi merujuk kepada pembagian warisan menurut fara’id.
Di samping itu pihak yang terlibat dalam proses pembagian warisan yaitu “tuan guru” yang tahu masalah agama tidak menghalangi cara “islah” ini, dengan dasar bahwa masalah pembagian warisan “muamalah” yang tidak mutlak harus mengikuti fara’id. Dengan kata lain pelaksanaan pembagian warisan berdasarkan islah ini juga dibenarkan oleh syariat Islam.
Dari gambar pembagian waris tersebut, terlihat kuatnya hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam masyarakat Banjar dalam hal pembagian warisan.
Sehubungan adanya interaksi antara hukum Islam dengan Hukum Adat, maka terdapat teori ada tiga teori yang saling bertentangan, yaitu teori receptio in complexu dan receptio hteorie, serta receptio a contrario.
Teori “receptio in complex” menyatakan : “bagi orang Islam telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhan sebagai satu kesatuan”, dan “ receptio theorie” menyatakan : “bagi orang Islam yang berlaku bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat, walaupun ada pengaruh hukum Islam tetapi ia baru dianggap sebagai hukum kalau diterima oleh hukum Adat”, serta teori “receptio a contrario” menyatakan : “bagi orang Islam berlaku
39
19 Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, (Bandung : Alumni, 1993), hlm. 25-28

hukum Islam, hukum adat baru berlaku kalau diterima oleh hukum Islam (tidak bertentangan dengan hukum Islam)”.
Dengan melihat ketiga teori tersebut, bilamana dikaitkan dengan pembagian waris dalam masyarakat Banjar dapat dilihat hal-hal sebagai berikut:
a. Masyarakat Banjar melakukan pembagian waris dengan menggunakan syari’at Islam (fara’id)
b. Disamping menggunakan faraid, masyarakat Banjar juga menggunakan lembaga “islah”;
c. Lembaga “islah” itu sendiri merupakan lembaga hukum yang hidup dalam masyarakat Banjar dan
d. Lembaga “islah” ini ternyata diakui keberadaannya oleh “tuan guru” atau tokoh agama Islam, sehingga dapat ditafsirkan bahwa lembaga islah tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Kalau dihubungan dengan ketiga teori di atas, maka pelaksanaan pembagian harta warisan yang di lakukan hukum adat masyarakat Banjar, lebih mengarah kepada penerapan teori “receptio a contrario”.
Terlepas dari ketiga teori di atas, Otje Salman mengemukan suatu teori “kesadaran hukum masyarakat” yang pada pokoknya bahwa hukum adat dengan hukum Islam memiliki taraf yang sejajar dalam daya berlakunya di Indonesia, dimana daya berlaku suatu sistem hukum tidak disebabkan oleh meresepsikanya sistem hukum yang satu dengan hukum Islam yang lain, tetapi hendaknya disebabkan oleh adanya kesadaran hukum masyarakat yang nyata menghendaki bahwa bahwa suatu hukum itulah yang berlaku”.19
Berdasarkan teori “kesadaran hukum masyarakat” di atas, pembagian warisan menurut hukum waris adat masyarakat Banjar dengan menggunakan “fara’id” dan “islah” merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat dan bersumber dari kesadaran hukum masyarakat itu sendiri.
40
III. P E N U T U P
Sistem pewarisan dalam masyarakat Banjar dapat dikatakan bersifat campuran atau gabungan (mixed), yaitu antara sistem pewarisan individual dengan sistem pewarisan mayorat. Selain dianut sistem kekerabatan Parental atau Bilateral, dan sistem kewarisan individual, dalam prakteknya terdapat pula sistem pewarisan mayorat, dimana harta warisan tidak dibagi melainkan dikuasai oleh salah seorang ahli waris.
Kemudian dalam hal proses pembagian harta warisan menurut hukum adat masyarakat Banjar, dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu pembagian harta sebelum pewaris meninggal dunia, pembagian sesudah pewaris meninggal dunia, dan pelaksanaan pembagian waris itu sendiri. Dalam sistem pembagian warisan dalam adat Banjar terbagi dalam dua pola yaitu sistem Faraidh dan sistem Islah. Ishlah artinya pemufakatan antara ahli Waris untuk memberikan sebagian dari harta yang semestinya diterima kepada ahli waris yang menerima lebih kecil berdasarkan fĂ raidh.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Abdurrahman, “Undang-undang Sultan Adam dan Kedudukannya dalam Hukum Adat Banjar”, 1977, Artikel dalam Majalah Orientasi, No. 2, Tahun II.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1977, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Binacipta.
Bondan, Amir Hasan Kiai, 1953, Suluh Sejarah Kalimantan. Banjarmasin: Fajar. 41
Daud, Alfani, 1997, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Djahri, Mastur, 1972, Hukum Pembagian Harta Pusaka Dalam Islam, Banjarmasin: Fak. Syari’ah IAIN Antasari.
Djubaedah, Neng, 1998, “Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Masyarakat Muslim di Indonesia Suatu Harapan”, Artikel dalam Mimbar Hukum, No. 40, Tahun IX.
Hadikusumah, Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju.
__________________. 1993. Hukum Waris Adat. Bandung: Citra Aditya Press.
Halim, A. Ridwan, 1987, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hamka dan Gusti Abdul Mu’is, 1982, Meninjau Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan, Banjarmasin: Muhammadiyah.
Harjono, Anwar, 1981, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur’an Komentar atas Hazairin dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : UI Press.
Hazairin, 1968, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas. Hilman, Hadikusuma, 1983, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : Alumni.
_______, tth, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur’an, Jakarta : Tintamas.
Ismuha, 2004, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Adat, dan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Ka’bah, Rifyal, 1999, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yarsi.
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak, 2004, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad, Bushar, 1994, Asas - asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta: Pradnya Paramita. 42
Mundy, Martha, 1988, The Family Inheritance and Islam : A Reexamination of the Sociology of Fara’id Law, London : Routledge.
Musa, Yusuf, 1960, Al Tikatu wan al mirats fi al Islam, Cairo : Dar al Ma’rifah.
Muzainah, Gusti, 1999, Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum waris Adat Masyarakat Banjar, Tesis, Surabaya : UNAIR.
Prodjodikoro, Wirjono, 1961, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung.
Ramulyo, M. Idris, 1995, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
_______________. 1992. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama dan Kewarisan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri (Suatu Studi Kasus). Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. Soepomo, 2003, Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Salman, Otje, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Bandung : Alumni.
Sanusi, Muhammad. (tanpa tahun) Suatu Tinjauan terhadap Harta Bersama dalam Hukum Keluarga dan Hukum Waris Suku Banjar, Prasaran pada Diskusi Hakim/Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Banjarmasin
Sarmadi, A. Sukris, 1997, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Normatif, Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soerjono, 1982, Kamus Hukum Adat, Bandung : Alumni.
Thalib, Sajuti, 1982, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara.
Tim Peneliti Puslit Unlam, 1990, Hukum Adat Kalimantan, Banjarmasin: BAPEDA Tingkat I Kal-Sel.
Umam, Dian Khairul, 1999, Fiqh Mawaris, Bandung: Pustaka Setia.
Wignjodipoero, Soerojo, 1982, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar