Oleh :
Fitrian Noor Hata
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kajian-kajian
para ahli hukum semenjak masa penjajahan Belanda sampai masa kemerdekaan juga
menunjukkan adanya keberadaan Hukum Adat, di mana dalam perkembangannya
terhadap studi hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia telah melahirkan
teori yang saling tarik menarik dalam melihat keutamaannya. Teori-teori
tersebut adalah receptio in complexu, receptie theorie, dan receptio
a contrario.1
Hukum Adat Banjar adalah Hukum Adat lokal yang ada di
Kalimantan Selatan, karenanya ia adalah salah satu bagian dari Hukum Adat
Indonesia. Hukum Adat Banjar merupakan hukum asli yang berlaku pada masyarakat
Banjar, yang sifatnya tidak tertulis, sekalipun demikian Hukum Adat itu telah
terakomodir dalam beberapa tulisan dan dokumen-dokumen, seperti yang tertuang
dalam Undang-undang Sultan Adam Tahun 1835 dan dalam Kitab Sabilal Muhtadin karangan
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary.
Adapun suku bangsa Banjar ialah penduduk asli sebagian
wilayah Propinsi Kalimantan Selantan. Mereka diduga berintikan penduduk asal
Sumatera atau daerah sekitarnya, yang berimigrasi ke kawasan ini sekitar lebih
dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama dan setelah
bercampur dengan penduduk yang lebih asli (biasanya disebut suku Dayak), serta
bercampur dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan, maka terbentuklah
setidak-tidaknya tiga sub suku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu
dan Banjar (Kuala). Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang
asalnya ialah bahasa Melayu. Sedangkan nama Banjar diperoleh
1 Neng
Djubaedah, “Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Masyarakat Muslim di
Indonesia Suatu Harapan”, Artikel dalam Mimbar Hukum, No. 40,
Tahun IX, 1998, hlm. 5. 2
karena mereka dahulu, sebelum dihapuskan pada tahun
1960, adalah warga kerajaan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan
nama ibu kotanya.2
Dahulu pada Kerajaan Banjar, pengaruh agama Hindu
adalah sangat besar, terutama setelah adanya hubungan perdagangan dengan
Kerajaan Majapahit yang Raja dan rakyatnya menganut agama Hindu. Sehingga dalam
Kerajaan Banjar itu sendiri banyak ditemui kebudayaan keraton Majapahit.3
Sedangkan bentuk-bentuk kepercayaan dan
praktek-praktek kehidupan masyarakat Dayak yang mendiami pegunungan Meratus
adalah berdasarkan pemujaan nenek moyang dan percaya akan adanya
makhluk-makhluk halus di sekitar manusia (animisme). Orang-orang Dayak yang
hidup dalam batas-batas wilayah Tanah Banjar, percaya pada seorang dewa
tertinggi, dan juga memberi persembahan kepada makhluk-makhluk halus lainnya,
termasuk ruh orang yang dianggap sebagai nenek moyang mereka.4
Adapun Islam menjadi agama resmi kerajaan Banjar
menggantikan agama Hindu adalah sejak Pangeran Samudera dinobatkan sebagai
Sultan Suriansyah di Banjarmasin, yaitu kira-kira 400 tahun yang lalu. Namun
sebenarnya jauh sebelum itu, pemeluk Islam sudah ada di kota-kota pelabuhan
atau di pemukiman-pemukiman yang lebih dekat ke pantai. Karena daerah pemukiman
dekat pantai tersebut adalah daerah yang sering didatangi pedagang-pedagang
dari Tuban dan Gresik yang sudah memeluk Islam, dan mereka menyebarkan Islam
pada masyarakat Banjar. Sejak masa Sultan Suriansyah inilah proses islamisasi
berjalan cepat, sehingga dalam
2 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi
dan Analisa Kebudayaan Banjar. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm.
25.
3 Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sejarah Kalimantan, (Banjarmasin:
Fajar, 1953), hlm. 18.
4 Alfani
Daud, Op.Cit., hlm. 50. 3
waktu yang relatif tidak terlalu lama, yaitu sekitar
pertengahan abad ke-18, Islam sudah menjadi identitas orang Banjar.5
Ciri khas keislaman masyarakat Banjar telah ada, sejak
melekatnya ciri keislaman dalam struktur kenegaraan Kerajaan Banjar. Sultan
dalam konteks masyarakat Banjar adalah kepala seluruh pejabat agama (Islam). Di
bawah Sultan adalah Mufti, yang kewibawaannya meliputi seluruh pejabat
agama dalam wilayah kesultanan, dan dianggap sebagai hakim tertinggi, Mufti
melakukan pengawasan atas seluruh pengadilan di dalam wilayah kesultanan,
sebagai hakim sehari-hari di ibu kota bertindak seorang Qadhi, sementara
pejabat agama untuk tingkat lalawangan di namakan Panghulu. Dalam
hal ini, Mufti dan instansi bawahannya berwenang untuk mengadili
perkara-perkara perdata maupun pidana, dengan menerapkan Hukum Adat Banjar yang
telah diintegrasikan dengan ketentuan-ketentuan fikih (Hukum Islam).6 Di sini tampak
Kerajaan Banjar didasarkan pada Hukum Islam, atau setidaknya sangat dipengaruhi
oleh Hukum Islam dalam menyelesaikan segala permasalahannya.
Implementasi dari ajaran Islam pada kehidupan
masyarakat Banjar juga sangat dipengaruhi dan didominasi oleh para alim ulama,
apa-apa yang mereka fatwakan akan dituruti oleh masyarakat sebagai suatu acuan
dalam menyelesaikan masalah kehidupannya.7
Dari ini jelas bahwa dalam masyarakat
Banjar sejak dulu telah mempunyai semacam hasil ijtihad ulama dalam
masalah-masalah hukum sesuai dengan kondisi dan situasi daerah serta
diperpegangi oleh masyarakat.
Hukum kewarisan masyarakat Banjar banyak dipengaruhi
oleh Hukum Islam, baik dalam menetapkan siapa saja yang berhak menjadi ahli
waris maupun dalam menetapkan pembagian harta warisan bagi masing-masing ahli
waris. Namun ada dua hal yang berbeda dalam
5 Hamka dan Gusti Abdul Mu’is, Meninjau Sejarah Masuk
dan Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Muhammadiyah,
1982), hlm. 29.
6 Diskusi Ahli, “Asal-usul Masyarakat Banjar”, Artikel
dalam Jurnal Kebudayaan Kandil Melintas Tradisi, Edisi 6, Tahun II,
2004, hlm. 76.
7 Abdurrahman.
“Undang-undang Sultan Adam dan Kedudukannya dalam Hukum Adat Banjar”, Artikel
dalam Majalah Orientasi, No. 2, Tahun II, 1977, hlm. 11. 4
ketentuan hukum kewarisan masyarakat Banjar dari
ketentuan yang berlaku dalam fikih konvensional, yaitu tentang harta
perpantangan dan ishlah. Perbedaan tersebut lahir sebagai buah
pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam melihat perbedaan kehidupan
keluarga di kalangan masyarakat Arab dengan masyarakat Banjar.
Di kalangan masyarakat Arab, memang perempuan sama
sekali tidak bekerja untuk memperoleh harta. Karena itu, kalau suaminya
meninggal dan suami mempunyai anak, si isteri hanya mendapat seperdelapan dari
harta warisan. Sementara kalau suaminya tidak meninggalkan anak, maka bagian
isteri menjadi seperempat. Pembagian yang seperti ini sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an.8 Namun dalam
masyarakat Banjar, umumnya isteri bekerja bersama-sama dengan suami. Oleh
karenanya, harta yang didapat selama masih sebagai suami isteri dinamakan harta
perpantangan atau harta bersama. Kalau salah satu pihak meninggal, maka
yang masih hidup lebih dahulu mengambil 50% dari harta perpantangan, dan
sisanya baru dibagi sesuai dengan ketentuan di atas.9 Adapun ishlah
pada dasarnya adalah pembagian warisan dengan cara permufakatan antara
ahli-ahli waris untuk menentukan besarnya bagian yang diterima.10
Dalam perkembangannya, dua buah pemikiran tersebut
telah menjadi bagian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Ketentuan
tentang harta perpantangan (harta bersama) tercantum dalam Pasal 96 ayat
(1) yang berbunyi ”Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup dari pasangan yang mati mendahuluinya”.
Adapun ketentuan tentang ishlah dimuat dalam Pasal 183 yang berbunyi “Para
ahli waris dapat bersepakat
8 “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.” (Q.S.
An-Nisa: 12). Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:
CV. Asy-Syifa, 1999) hlm. 117.
9 Diskusi Ahli, “Harta Perpantangan: Sebuah Akomodasi
Hukum Waris Islam atas Budaya Relasi Gender dalam Masyarakat Banjar”, Artikel
dalam Jurnal Kebudayaan Kandil Melintas Tradisi, Edisi 7, Tahun II,
2004, hlm. 68.
10 Ibid., hlm. 69. 5
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan,
setelah masing-masing menyadari bagiannya.”
Mengingat hukum adat Banjar banyak dipengaruhi oleh
Hukum Islam, termasuk dalam lapangan hukum kewarisan, maka perlu dikaji lebih
dalam apa saja persamaan dan perbedaan sistem kewarisan yang dianut dalam hukum
kewarisan Islam dan Hukum Kewarisan Adat Banjar.
Selain itu munculnya fenomena harta perpantangan dan
ishlah dalam masyarakat hukum adat Banjar, perlu pula dikaji lebih dalam apakah
merupakan perbedaan yang prinsip dengan hukum kewarisan Islam, ataukah hanya
perbedaan yang bersifat nuansa semata. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian
yang menggambarkan persamaan dan perbedaan antara hukum kewarisan Islam dengan
hukum kewarisan adat Banjar dalam hal pembagian harta warisan melalui studi
komparatif.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan
tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah sistem kewarisan menurut hukum adat
Banjar ?
2. Bagaimanakah pembagian warisan adat Banjar ?
II. PEMBAHASAN
A. Sistem Kewarisan Dalam
Adat Banjar
Dalam menentukan sistem pewarisan dalam masayarakat
Banjar harus terlebih dahulu dilihat bagaimana sistem keturunan atau sistem
kekerabatan yang ada dalam masyarakat Banjar tersebut.
Dalam masyarakat Banjar sistem kekerabatannya mengenal
berbagai istilah dalam melihat hubungan kekerabatan tersebut, yaitu :
1. Untuk hubungan garis ke atas dikenal istilah “ Kuwitan”,
yaitu sebutan untuk orang tua, baik itu ayah maupun ibu. Dalam hal-hal tersebut
ada yang disebut “Kuwitan di-ujud” yang digunakan untuk menyebut orang
tua yang sebenar-benarnya, penyebutan ini terjadi 6
karena dalam
masyarakat Banjar mengenal pula orang tua angkat yang disebut “Kuwitan
angkat”. Oleh karena itu penyebutan “Kuwitan di-ujud” adalah untuk membedakan
dengan “Kuwitan angkat”. Dalam bahasa sehari-hari untuk memanggil orang tua
laki-laki (kuwitan laki) dipakai istilah “ abah”, sedangkan untuk orang
tua perempuan (Kuwitan bini) dipakai istilah “ uma” atau “ mama”.
Garis ke-atas kuwitan ini adalah disebut dengan istilah “ pakai’an”
atau “ Paninian”. Istilah Pakai’an ini digunakan untuk menyebut
orang tua laki-laki dari ayah atau ibu (kakek), sedangkan istilah paninian dipakai
untuk bahasa sehari-hari penyebutan untuk kakek dipakai istilah “kai”,
sedangkan untuk nenek dipakai istilah “ nini”. Garis ke-atas setelah kakek atau
nenek ini dikenal istilah “ padatuan” atau “ datu” atau” datuk”,
sebutan ini dipergunakan tanpa membedakan lagi antara yang laki-laki dengan
yang perempuan. Garis ke-atas setelah “padatuan” dikenal berbagai
istilah seperti ”anggah”, “ waring”, dan “ moyang”. Garis
ini tidak hanya ada dalam penyebutan, dimana orangnya sudah lama meninggal
dunia.
2. Untuk hubungan garis ke-bawah dikenal istilah
“anak” untuk menyebutkan keturunan yang pertama, setelah itu generasi berikunya
dikenal dengan istilah “cucu”, sedangkan untuk generasi ketiga dibawah cucu
tersebut dikenal istilah “buyut”. Garis keturunan setelah “buyut”
tersebut ditemukan istilah “cicit” dan “piut”, yang istilah ini
juga dalam kenyataannya sekarang hanya ada dalam penyebutan.
3. Untuk hubungan garis kesamping dikenal istilah “ dangsanak”
untuk menyebutkan istilah saudara. Istilah “dangsanak” ini dapat terbagi dalam
beberapa katagori, yaitu:
a. “Dangsanak sauma-sabapa” untuk menyebutkan
istilah saudara kandung;
b. “Dangsanak sauma” untuk menyebutkan istilah
saudara ibu;
c. “Dangsanak sabapa” untuk menyebutkan istilah
saudara seayah;
7
d. “Dangsanak tiri” untuk menyebutkan istilah
sehari-hari hubungan antara saudara seayah atau se-ibu saja.
Dalam pergaulan sehari-hari antara saudara ini dikenal
sebutan panggilan, yaitu ”ading” untuk menyebut saudara yang lebih muda
dan ”kaka” untuk menyebutkan yang lebih tua. Disamping itu juga sering
disebutkan istilah “dangsanak anum” untuk saudara yang muda, dan “dangsanak
tuha” untuk saudara yang tua. Istilah “ading” dan “kaka” ini
juga sering dipergunakan dalam panggilan antara suami isteri, dimana “ading”
adalah isteri, sedangkan “kaka” adalah suami.
4. Untuk garis hubungan kesamping sesudah saudara,
adalah anak dari saudara bapak, cucu saudara kakek. Untuk ini dikenal beberapa
istilah, yaitu:
a. “ sapupu sekali” untuk penyebutan anak dari
saudara ayah/ ibu;
b. “ sapupu dua kali” untuk penyebutan cucu
dari saudara kakek atau nenek;
c. “ sapupu tiga kali” untuk penyebutan buyut
dari saudara datuk;
5. Untuk garis keturunan kesamping ke atas yang
meliputi saudara-saudara dari ayah atau ibu yang dalam istilah sehari-hari
dikenal dengan sebutan “mamarina”. “Mamarina” ini terdiri dalam
beberapa katagori istilah, yaitu:
a. “Julak” untuk menyebutkan saudara ayah/ ibu
yang tertua;
b. “Gulu” untuk menyebutkan adik dari “Julak”’;
c. “ Tangah” untuk menyebutkan adik dari
“Gulu’’;
Disamping itu untuk katagori mamarina ini dikenal pula
istilah “ makacil” untuk sebutan saudara ayah/ ibu yang perempuan, dan “pacilan”
untuk sebutan saudara ayah/ibu yang laki-laki.
Dalam katagori keseluruhan sistem keluarga yang ada
dalam masyarakat Banjar penyebutannya dikenal istilah “bubuhan”. Bubuhan
ini menggambarkan keterikatan dari suatu keluarga besar masyarakat Banjar. 8
Dari hubungan kekerabatan tersebut di
atas menunjukan bahwa dalam masyarakat Banjar menarik garis keturunan dari dua
sisi, yaitu sisi ayah dan sisi ibu. Hal ini berarti sistem kekerabatan yang ada
dalam masyarakat Banjar adalah menganut sistem Parental atau Bilateral.
Sebagaimana diketahui secara teoritas dikenal ada tiga
sistem kekerabatan, yaitu sistem Partrilinial, sistem Materilinial dan sistem
Parental/ Bilateral. Beberapa dengan sistem Parental, maka sistem Patrilinial
menarik garis keturunan menurut garis Bapak, sedangkan dalam sistem Matrilinal
menarik garis keturunan dari garis Ibu.
Akan tetapi perlu juga dicatat bahwa dalam hal-hal
tertentu masyarakat Banjar terkesan menarik sistem kekeluargaannya berdasarkan
sistem Patrilinial, seperti dalam menentukan gelar dalam garis keturunan.
Seperti gelar “Gusti” ditarik berdasarkan garis keturunan ayah.
Dilihat dari sistem pewarisan individual, maka
masyarakat Banjar dapat dikatagorikan menggunakan sistem pewarisan individual.
Sebagaimana diketahui dalam sistem pewarisan individual setiap ahli waris
mendapatkan pembagian, dimana ia dapat menguasai atau memiliki harta warisa
menurut bagiannya masing-masing. Praktek yang terjadi dalam. Pembagian warisan
menunjukan setiap waris dapat menguasai harta warisan yang merupakan bagiannya.
Namun demikian dalam prakteknya disamping sistem
pewarisan individual ini juga ditemukan sistem pewarisan mayorat, dimana dalam
sistem pewarisan mayorat harta tidak dibagi melainkan dikuasai oleh salah
seorang ahli waris. Penguasaan harta warisan oleh salah seorang ahli waris ini
biasanya dilakukan oleh orang tua laki-laki atau orang tua perempuan kalau
salah satunya meninggal dunia, atau dikuasai oleh saudara tertua kalau kedua
orang tuanya meninggal dunia.
Ada beberapa alasan terjadinya sistem pewarisan
mayorat ini, seperti:
1. Pewaris berwasiat (berpesan) sebelum meninggal agar
jangan sampai terjadi pertengkaran mengenai harta warisan, dimana harta warisan
9
dinikmati secara bersama-sama saja. Dalam hal ini
biasanya harta warisan berupa rumah dan perahu, sehingga dengan demikian setiap
ahli waris dapat menikmati hasilnya atau menggunakannya;
2. Ahli waris mempunyai kesepakatan untuk tidak
membagi sebagian atau seluruh harta warisan, dengan tujuan agar harta tersebut
dapat digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan yang terjadi sehubungan
dengan meninggalnya pewaris, seperti upacara haulan setiap tahun;
3. Ahli waris bersepakat harta warisan tidak dibagi
dalam rangka membiayai ahli waris yang belum mandiri atau ahli waris lain
dianggap belum dewasa atau cakap mengurus sendiri bagian harta warisan yang
merupakan haknya;
4. Ahli waris sepakat untuk tidak membagi harta
warisan karena menghormati salah satu ahli waris lain yaitu ibunya atau
baoaknya, sehingga jarang sekali adanya tuntutan membagi harta warisan dari
anak-anaknya walaupun anak-anak tersebut sudah dewasa.
Dari hasil apa yang dikemukakan tersebut di atas
tergambar sistem pewarisan dalam masyarakat Banjar dapat dikatakan suatu sistem
yang bersifat campuran atau gabungan (mixed), yaitu antara sistem
pewarisan individual dengan sistem pewarisan mayorat. Dalam hal sistem
pewarisan kolektif secara tegas kolektif dan serta mereta tidak dilakukan
pembagian waris, melainkan harta dikuasai secara bersama-sama. Walaupun
demikian sistem mayorat sebenarnya adalah kelanjutan dari sistem kolektif ini,
akan tetapi dalam sistem mayorat ditemukan adanya pertimbangan-pertimbangan
tertentu untuk tidak membagi warisan yang didasarkan kepada wasiat atau
kesepakatan ahli waris dalam rangka menjaga kemaslahatan bersama. Oleh karena itu
model sistem pewarisan mayorat yang dijumpai dalam masyarakat Banjar dapat
dikatakan sebagai suatu pengecualian atau penyimpanagn khusus dari sistem
warisan yang individual.
Sistem pewarisan dalam masyarakat Banjar dapat pula
dilihat dari aspek sistem pewarisan Islam, dimana sistem pewarisan Islam ini
10
11 Hilman
Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993) hlm.
31.
12 Ibid., hlm. 33.
sebenarnya
menurut Hazairin adalah sistem ”individual
bilateral”.11 Perbedaan
sistem ini dengan sistem individual dalam hukum adat hanya terletak pada yang
diterima oleh masing-masing ahli waris. Dalam sistem individual hukum adat
tidak ditegaskan secara tegas bagian masing-masing bagian ahli waris, sedangkan
dalam sistem hukum waris Islam bagian masing-masing ahli waris sudah ditegaskan
besarnya, dasar dari sistem ini adalah termuat dalam Al-qu’an surat An-Nisa.
Adanya sistem pewarisan Islam ini terlihat pada
peranan tokoh agama (“tuan guru”) yang selalu diminati pendapat untuk
membagi harta warisan, dimana tokoh agama ini dalam memberikan petuahnya selalu
berpegang kepada sistem pembagian yang dianut oleh hukum Islam. Dalam hal ini
biasanya para ahli waris menuruti cara pembagian yang dipetuahkan oleh tokoh
agama tersebut, walaupun nantinya ditemukan pula dalam pelaksanaannya para ahli
waris tidak menuruti pembagian yang sudah dipetuahkan tersebut. Namun demikian
yang pasti penggunaan sistem hukum waris Islam ini ada kalau terjadi
persengketaa terhadap besarnya pembagian harta warisan tersebut. Dengan adanya
pesengketaan waris, maka mereka sepenuhnya tunduk kepada apa yang dipetuahkan
oleh tokoh agama.
Dilihat dari sisi sistem pewarisan Barat yang
menegaskan harus ada pembagian waris pada saat pewaris meninggal dunia, dan setiap
ahli waris dapat menuntut agar segera warisan dibagikan,12 maka dalam
masyarakat Banjar tidak ditemukan pola yang demikian itu, walaupun sebenarnya
sistem hukum waris Barat ini juga menganut sistem waris individual. Dalam hal
ini tidak ditemukan adanya suatu keharusan yang menetapkan harus segera di
adakan pembagian waris akan tetapi pembagian waris dilakukan dilihat dari
situasi atau keadaan tertentu yang menhendaki segera atau tidaknya harta
warisan itu dibagi. Suatu hal yang sangat kontras berbeda sari sistem pewarisan
Barat ini terletak pada ketentuan yang ahli waris untuk menolak warisan,
sedangkan
11
13 Gusti
Muzainah, Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum waris Adat Masyarakat Banjar,
(Tesis. Surabaya : UNAIR, 1999), hlm. 59-68.
pandangan. Masyarakat
Banjar dalam hal ini tidak boleh menolak warisan, karena menerima hukumnya
wajib.Kewajiban ini tidak hanya terbatas kepada mewaris harta Pewaris saja,akan
tetapi juga mencakup kewajiban menbayar utang-utang atau ‘’urusan’’pewaris
dengan pihak lain.
Kemudian kaitan
yang erat dengan sistem pewarisan yaitu penentuan ahli waris. Dalam hal ini
ahli waris dibedakan dengan para waris atau Pewaria lainnya.Para waris yang di
maksud di sini adalah mereka yang mendapat warisan, baik itu sebagai ahli waris
ataupun bukan sebagai ahli waris. Ahli waris itu sendiri adalah orang yang
berhak mewarisi harta warisan yang didasarkan pada ikatan darah (turunan).
Dari penelitian
yang pernah dilakukan Gusti Muzainah tahun 199913, menunjukan pihak yang menjadi
ahli waris dalam masyarakat Banjar, adalah :
1. Anak Kandung
Anak kandung adalah anak yang lahir dari kedua orang
tua yang sebenarnya atau orang yang telah mengandung dn membuahinya. Dalam
bahasa sehari-hari anak kandung ini disebut pula dengan istilah ‘’anak bujur’’,
yang mana dalam hal ini terkait dengan perkawinan yang dilakukan oleh
orangtuanya. Perkawinan disini adalah perkawinan yang mendahului sebelum
terjadi kelahiran anak, dimana dalam masyarakat Banjar kurang memperhatiakan
masalah suatu anak yang lahir sebagai anak kandung tersebut diikat oleh suatu
perkawinan di ‘’bawah tangan’’ atau perkawinan yang resmi yang dicatat
menurut undang-undang perkawinan. Bagi mereka yang terpenting adalah anak
tersebut lahir dari oarng tua yang benar-benar mengadung dan membuahi.
Beranjak dari istilah anak kandung ini, maka muncul
pula istilah anak sah. Masyarakat Banjar menganggap anak andung adalah sah
asalnya ia lahir dari kedua orang tua yang mengandung dan membuahi. Diluar itu
biasanya disebut ‘’anak pintaan’’ yaitu anak yang diasuh yang tidak
lahir dan dibuahi, yang dalam hal ini pembagian warisan anak yang seperti ini
dapat disebut ‘’anak tidak sah’’, tetapi tidak sah disini dalam artian
kesahannya menerima warisan secara tertentu.
Dalam kaitan dengan penentuan anak ini sah, jarang
sekali dikaitkan dengan pembuahan dan perkawinan yang dilakukan oleh orang
12
tuanya. Sebagaimana diketahui dalam hukum adat
dijumpai anak tidak sah, walaupun ia lahir dari kandungan ibu dan pembuahan
ayahnya, akan tetapi saat pembuahan itu mereka belum terikat dalam ikatan
perkawinan.Olek karena itu ia tetap disebut anak kandung.
Berkenaan dengan anak sah dan anak tidak sah ini pula
dikenal dengan istilah ‘’anak kampang’’, yaitu anak yang lahir dari
perbuatan zina yang dilakukan oleh ibunya, yang suaminya tidak diketahui
(biasanya ditinggalkan pergi). Walaupun nantinya ibunya kawin dengan laki-laki
lain, anak ini sering disebut ‘’anak kampang’’. Anak kampang ini
dianggap hanya sebagai ahli waris dari ibunya, tetapi dalam praktek tetap dapat
sebagai para waris.
Dengan sistem waris bilateral, masyarakat Banjar dalam
praktek pembagian waris tidak mempermasalakan pembedaan (gender) antara anak
laki-laki dengan anak perempuan. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan
sama-sama sebagai ahli waris yang sejajar. Oleh kerana itu adalah tahap awal
pembagian ahli waris yang dilakukan oleh mereka kedudukan waris antara anak
laki-laki dengan anak perempuan ini sederajat. Hal ini berarti asas hukum waris
‘’kesamaan derajat’’ berlaku pula dalam hukum waris adat Banjar.
Dilihat dari jumlah anak dalam keluarga,terlihat ada
peran yang dominan dari anak tertua (anak sulung), yaitu yang disebut ‘’anak
paling ganal/tuha’’. Anak sulung ini dalam pembagian waris bukan berarti
mendapatkan lebih besar dari harta warisan, akan tetapi dalam hal kedudukan
sebagai yang tertua adalah bertindak sebagai pihak yang mengatur pembagian
harta warisa, termasuk mana-mana harta yang belum saatnya dibagi mengingat
kondisi-kondisi tertentu. Dalam hal harta warisan yang belum dibagi itulah
biasanya harta warisan dikuasai oleh anak sulung ini. Dalam hal anak sulung ini
dalah anak perempuan, maka pengurusan harta warisan dibantu oleh adik
laki-laki.
Di samping anak sulung juga mengenal anak bungsu,
yaitu yang disebut istilah ‘’anak paling uncit/halus’’. Dalam pembagian
waris anak bungsu ini dalam kedudukan sebagai ahli waris mendapat pertimbangan
khusus dalam mendapatkan bagian dan pembagian warisan,yaitu:
a. apakah ia sudah dewasa;
b. apakah ia sudah bekerja dan mandiri;dan
c. apakah ia sudah berkeluarga.
Pertimbangan - pertimbangan inilah yang akan
menentukan pembagian terhadapnya, terkadang dalam kondisi-kondisi itu para
saudaranya banyak menyerahkan pembagian warisan kepda anak bungsu ini, yang
dalam istilahnya disebut ‘’bakalah’’
2. Anak Tiri dan Anak Angkat
Anak tiri adalah anak yang hanya lahir dari salah satu
pihak dalam ikatan perkawinan, dimana anak tiri ini dapat terjadi dalam hal:
a. anak dari perkawinan terdahulu dari isteri,atau
b. anak dari perkawinan terdahulu dari suami.
13
Dalam masyarakat Banjar kedudukan anak tiri ini hanya
berkedudukan sebagai ahli wairs dari ayah atau ibunya saja, akan tetapi dalam
pembagian waris dari perkawinan yang mereka lakukan oleh orang tuanya tersebut
mereka saling berkedudukan sebagai ahli waris.Kondisi seperti ini banyak
dipengaruhi oleh hubungan yang tercipta antara oaring tua mereka dan saudara
tiri dalam kehidupan sehari-hari.
Suatu keluarga yang terdapat anak tiri berarti
menciptakan adanya saudara tiri dan saudara kandung, karenanya akan tercipta
suatu keadaan yang sama-sama sebagai pihak mendapatkan waris (para waris) kalau
suatu keluarga tersebut adalah keluarga harmonis. Dalam hal ini hubungan mereka
sehari-hari tidak membedakan antara saudara tiri atau tidak, semuanya adalah ‘’dangsanak’’(saudara).
Berbeda dengan anak tiri , anak angkat adalah anak
benar-benar tidak lahir dari kedua orang tua yang mengasuhnya tersebut,akan
tetapi anak ini dipelihara dan dibesarkan dari kecil, sehingga anak tersebut
sudayh menyebut dan menjadikan pihak yang mengasuh sebagai orang tua sendiri
(‘’kuitan’’). Anak angkat ini disebut dengan istilah ‘’anak pintaan’’.
Anak pintaan ini dalam masyarakat Banjar tidak
berkedudukan sebagai ahli waris, akan tetapi ia dalam pembagian warisan adalaha
pihak yang dipertimbangkan untuk menjadi para waris. Munculnya anak angkat
sebagai para waris ini dilandasi oleh pertimbangan adanya anak angkat itu
sendiri dalam lingkungan keluarga tersebut. Pengangkatan anak didasari oleh
beberapa hal, yaitu :
a. keluarga tersebut tidak mempunyai keturunan;
b. keluarga tersebut merasa iba terhadap suatu
keluarga (biasanya dari keluarga sendiri yang tidak mampu dari aspek ekonomi);
dan
c. keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki
atau perempuan.
Dasar - dasar pengangkatan anak ini biasanya
kombinasi, sehingga anak yang diambil sebagai anak angkat tersebut sebenarnya
harus jelas asal-usulnya.
Anak angkat ini tidak berkedudukan sebagai ahli waris
dari orang tua angkatnya, akan tetapi tetap berkedudukan sebagai ahli waris
dari orang tua kandungnya sendiri. Dalam hal ini pengangkatan anak tidak
bersifat memutuskan hubungan antara anak angkat tersebut dengan orang tuanya.
Sehingga dengan demikian tidak dikenal konsep “ adopsi “ seperti dalam hukum
Barat.
3. Saudara
Dalam masyarakat Banjar, saudara yang dapat
diistilahkan dengan “Dangsanak”. Saudara juga berkedudukan sebagai ahli
waris sesuai dengan ketentuan kalau tidak ada halangan (hijab). Untuk “dangsanak”
ini tidak dibedakan kedudukan antara dangsanak laki-laki (saudara
laki-laki), dengan dangsanak perempuan (saudara perempuan), kecuali
kalau terjadi perselisihan, maka kedudukan
14
masing-masing pihak akan mengacu kepada petuah yang
diberikan oleh “tuan guru” (tokoh agama/masyarakat).
Begitu pula terhadap anak-anak dari dangsanak ini,
yaitu yang disebut dengan “kemanakan” (keponakan) juga dapat
berkedudukan sebagai ahli waris kalau kedudukan mereka tidak terhijab. Dalam
hal ini tidak dibedakan antara kemanakan dari saudara laki-laki dan kemanakan
dari saudara perempuan, kecuali ada hal terjadi perselisihan, maka kedudukannya
sebagai ahli waris akan didasarkan kepada petuah yang diberikan oleh “tuan
guru”
4. Orang Tua
Dalam masyarakat Banjar orang tua atau yang sering
disebut “abah” dan “mama” juga berkedudukan sebagai ahli waris
sesuai dengan ketentuan yang ditentukan oleh tuan guru . Orang tua disini
terdiri dari :
a. orang tua dari isteri (mertua) yang di sebut
dengan istilah “mimtuha “, baik itu laki-laki atau juga yang perempuan
b. Orang tua dari suami, baik itu ayah ataupun ibu.
Kedudukan mertua dan orang tua dalam pembagian warisan
tidak begitu dibedakan, kecuali juga dalam hal terjadi perselisihan waris, maka
kedudukan mereka akan ditentukan oleh petuah yang diberikan oleh tuan guru.
5. Janda dan Duda
Janda atau duda dalam hal warisan lebih ditekankan
kepada konotasi ketiadaan pasangan hidup (suami/isteri) yang diakibatkan oleh
kematian atau yang sering disebut cerai mati. Istilah yang digunakan untuk
menyebut mereka yang ditinggal mati pasangannya ini adalah “balu” untuk
wanita, dan “duda” untuk pria.
Janda atau duda dalam masyarakat Banjar mempunyai
kedudukan tersendiri dalam hal warisan, khususnya dalam hal harta bersama yang
diperolehnya selama perkawinan. Kedudukan itu adalah :
a. Janda/duda memperoleh harta dalam kedudukannya
sebagai isteri atau suami dari yang meninggal dunia yang mempunyai hak langsung
terhadap harta yang ditinggalkan.
b. Janda/duda berkedudukan pula sebagai ahli waris
terhadap warisan yang merupakan bagian dari suaminya/isterinya yang meninggal
dunia.
Dalam kedudukannnya yang demikain itu, maka janda/duda
sangat menentukan saat pembagian dan besarnya bagian yang diperoleh ahli waris
lainnya (anak-anaknya), sebab dalam kenyataannya kalau masih ada Janda/duda
seluruh harta menjadi dalam kekuasaannya, dan anak-anaknya umumnya menganggap
tidak layak membagi warisan kalau masih ada salah satu dari orang tuanya
tersebut.
Dalam kaitan inilah kedudukan Janda atau duda
sangatlah penting, hal ini dapat terjadi sebagai suatu manifestasi dari “adat
istiadat” orang Banjar terhadap orang tua (bakti terhadap orang tua). Semua
ahli waris menunjukkan suatu sikap harta yang ditinggalkan oleh salah satu
orang tua mereka haruslah dinikmati oleh Janda atau duda tersebut. Pengecualian
terhadap hal ini dapat saja terjadi jikalau
15
diantara ahli waris ada yang menuntut haknya, dimana
orang ini sering disebut sebagai “kada beadat” (berani terhadap orang
tua), dalam hal inilah dimintakan petuah kepada “tuan guru”.
6. Penerima Waris Lainnya
Sebenarnya dalam masyarakat Banjar dalam hal
menentukan siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris ataupun penerima waris
lainnya berpegang pada garis keturunan dan wasiat yang disampaikan oleh
pewaris. Dalam hal berdasarkan keturunan ini ahli warisnya ditentukan oleh “tuan
guru”, sehingga berpegang pada hukum waris Islam (fara’id). Oleh
karena itu faktor-faktor yang merupakan faktor “hijab” atau terhalang dalam
menerima warisan akan menentukan sampai sejauhmana garis keturunan itu ditarik,
baik yang lurus ataupun yang menyamping.
Berdasarkan hal tersebut dalam keadaan tertentu
seperti pihak saudara ayah-ibu beserta anaknya seperti “mamarina” dan “sepupu”.
Juga dapat sebagai ahli waris. Bahkan dalam keadaan tertentu pula “memarina”
atau “julak” (julak laki atau julak bini) itu dapat menguasai harta
warisan ahli waris.
B.
Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat Banjar
Sebelum memaparkan proses pembagian harta warisan
menurut hukum adat Banjar, maka terlebih dulu dikemukakan karakteristik Harta
Warisan dalam hukum adat Banjar. Harta warisan yang menjadi objek warisan dalam
masyarakat Banjar adalah barang-barang yang menjadi satu kesatuan dalam
aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari. Barang-baranga ini secara umum
tidak berbeda dengan barang-barang umumnya yang dimiliki oleh masyarakat,
karena yang diteliti adalah masyarakat Banjar yang tinggal di perkotaan.
Barang-barang di maksud dalam katagori tertentu
seperti yang kita kenal dapat berupa barang-barang bergerak seperti peralatan -
peralatan rumah tangga dan dapat pula barang- barang tidak bergerak seperti
rumah dan tanah.
Adapun yang mungkin dapat dikatakan sebagai harta
warisan yang khas dalam masyarakat Banjar adalah berupa :
1. Perahu
Perahu ini adalah alat transportasi bagi masyarakat
dalam setiap aktivitasnya, bahkan perahu ini menjadi tempat dalam kegiatan
ekonomi. Perahu ini dikenal beberapa macam, yaitu :
16
a. Jukung, yaitu perahu kecil tanpa mesin yang
menjalankannya secara dokayuh.
b. Jukung tiung, yaitu perahu besar tanpa mesin
yang menjalankannya digandengkan dengan perahu motor. Jukung tiung ini
digunakan untuk memuat barang dalam jumlah besar;
c. Kelotok, yaitu perahu kecil yang
operasionalnya menggunakan mesin;
d. Kelotok ganal, yaitu perahu yang ukurannya
cukup besar yang didalamnya bisa untuk bermain, operasionalnya dengan
menggunakan mesin.
2. Lanting
Lanting adalah rakit dari kayu yang menjadi tempat
untuk mandi, cuci dan kakus. Lanting ini biasanya dibuat oleh orang berada (kaya)
di kampung tersebut, akan tetapi penggunaannya digunakan secara umum. Namun ada
pula lanting yang memang menjadi milik bersama dari masyarakat tersebut, karena
dibuat secara gotong royong. Lanting ini termasuk harta peninggalan yang tidak
dibagi dan tidak dikuasai secara bersama.
3. Hak atas Sanda
Hak atas sanda ini sebagaimana disebutkan terdahulu
merupakan hak kebendaan yang sifatnya khas ada dalam masyarakat Banjar, hak
atas sanda ini pada dasarnya suatu lembaga jaminan terhadap seseorang yang
memerlukan uang, yang kemudian ia menyerahkan barang yang ia punyai sebagai
jaminan. Barang yang dijaminkan disini tidak dibedakan apakah itu barang
bergerak atau tidak. Umumnya yang disandakan adalah harta berupa rumah, tanah
dan perahu. Lamanya hak atas sanda ini biasanya diperjanjikan atas kesepakatan
bersama dan dapat terus diperpanjang, seperti 6 bulan, 1 tahun atau lebih dari
itu.
Disamping harta-harta tersebut diatas, sesuatu yang
khas adalah berkaitan dengan harta-harta yang berhubungan dengan sungai. Harta
di maksud di samping harta berupa perahu juga ada ditemukan harta
17
berupa rumah, akan tetapi rumah ini tidak terletak di
deretan melainkan terletak di sungai Rumah yang terletak disungai ini terbagi
dalam dua golongan, yaitu :
1. Rumah yang didirikan di atas sungai yang
menggunakan tongkat kayu sebagai tiang penyangga dan
2. Rumah yang didirikan di atas sungai yang
menggunakan kayu sebagai penyangga yang tidak bertancap ke tanah, rumah ini
dikenal dengan istoilah “rumah lanting”. Karakteristik dari rumah di
atas air ini secara khusus ada, pada “rumah lanting”, yaitu sifatnya
dapat dipindahkan kemana saja sepanjang sungai (Sungai Kuin, Martapura dan
barito) sesuai dengan keinginan pemiliknya. Daya tarik mendirikan rumuah
lanting tersebut terletak pada aktivitas penghuninya yang menggunakan air
sebagai sumber kehidupan, seperti membuka “toko” (warung) untuk melayani
pembeli yang menggunakan air sebagai sumber aktivitas. Rumah lanting ini
disamping digunakan untuk tempat tinggal, juga ditemukan rumah lanting sebagai
tempat berjualan (toko/kedai), yang menjual segala macam kebutuhan sehari-hari.
Mereka-mereka yang menggunakan rumah lanting sebagai temapat berjualan, biasanya
juga mempunyai perahu untuk berjualan, perahu-perahu tempat berjualn ini pada
pagi hari berpusat pada” pasar, terapung” yang terletak di Sungai Barito.
Selanjutnya akan dikemukan pula perihal harta warisan
dan harta peninggalan dalam hukum adat Banjar. Harta warisan dalam masyarakat
Banjar membedakan antara harta warisan dengan harta peninggalan. Harta warisan
adalah harta peninggalan yang sudah dikurangi dari kewajiban-kewajiban tertentu
sehubungan dengan meninggalnya pewaris. Dengan demikian yang di maksud harta
peninggalan adalah seluruh harta yang ditinggalkan pewaris pada saat ia
meninggal dunia.
Harta peninggalan oleh ahli waris yang pertama-tama
akan dipenuhi kewajiban-kewajiban yang berkenaan dengan kewajiban yang harus
diselesaikan oleh pewaris selama ia hidup, dan kewajiban-
18
kewajiban penyelenggaraan upacara-upacara setelah
meninggalnya pewaris tersebut.
Kewajiban-kewajiban itu adalah, sebagai berikut :
1. Kewajiban pelunasan hutang-hutang pewaris.
Tentang kewajiban ini biasanya diumumkan kepada
masyarakat pada saat penyelenggaraan pemakaman atau pada saat mensholatkan
Jenazah, yang mana dalam pengumuman tersebut diminta kepada siapa saja yang ada
hubungan utang piutang dengan yang meninggal dunia harap menghubungi ahli waris
dan diminta pula untuk merelakannya kalau yang bersangkutan merelakannya. Dalam
hal yang merelakan ini biasanya adalah dalam kondisi baik pewaris maupun ahli
waris tergolong orang yang tidak mampu (miskin).
2. Kewajiban Penyelenggaraan Upacara Kematian
Dalam penyelenggaraan kematian pewaris ini dilakukan
sejumlah kegiatan yang memerlukan biaya, yaitu :
a. Penyelenggaraan Jenazah, seperti memandikan,
mengafani, mensholatkan.
b. Upacara “helah”, yaitu suatu upacara untuk
menebus dosa-dosa yang meninggal karena melalaikan sholat dan puasa, upacara
ini dipimpin oleh Tuan guru. Adapun sumber dari upacara ini adalah dari ajaran
Imam Hanafi.
c. Upacara “Baaruhan”. Yaitu upacara selamatan
atau kenduri, yang meliputi saat menurun tanah, “maniaga hari” (selama
tiga hari berturut-turut sejak pewaris meninggal dunia), “mamitung hari”
(kenduri pada hari ke-tujuh), “menyelawi” (kenduri pada hari ke-dua
puluh lima), “mematang puluh” (kenduri pada hari ke-empat puluh) dan
terakhir “menyaratus” (kenduri pada hari ke-seratus).
d. Upacara haul, yaitu upacara rutin pada
setiap tahun sekali yang dilaksanakan tepat pada hari meninggalnya pewaris.
Untuk keperluan haul ini biasanya ada harta peninggalan yang dipersiapkan untuk
menutupi biayanya.
19
3. Kewajiban Memenuhi Wasiat atau Amanat Pewaris
Dalam hal-hal tertentu pewaris sebelum meninggal dunia
ada berpesan untuk memberikan hartanya kepada pihak-pihak tertentu, baik itu
kepada individu di lingkungan keluarga dan masyarakat, maupun untuk kepentingan
sosial seperti untuk Mesjid dan Pesantren. Amanat pewaris ini sangat dihormati
oleh ahli waris, sehingga ia termasuk hal yang diutamakan dalam penylesaian
atau pemenuhannya.
Dengan adanya kewajiban-kewajiban yang harus
dikeluarkan atau dipatuhi terhadap harta peninggalan pewaris tersbeut itulah,
ditemukan sejumlah harta peninggalan pewaris tersebut itulah. Ditemukan
sejumlah harta peninggalan yang tidak dibagi waris, seperti harta peninggalan
untuk keperluan “bahaul” atau “haulan” setiap tahun, yang
biasanya berupa tanah, sehingga tanah tersebut disebut “tanah tunggu haul”.
Di samping tanah juga terdapat barang lain seperti perahu, dimana hasil dari
perahu ini sebagian disisihkan untuk keperluan haulan dan juga memenuhi wasiat
lain seperti untuk pembangunan mesjid atau membantu anak yatim.
Di samping harta peninggalan tidak dibagi, juga
ditemukan harta peninggalan yang belum dibagi. Harta peninggalan yang belum
dibagi ini berkaitan dengan suatu sebab, yaitu masih adanya salah satu dari
orang tua mereka (ayah atau ibu). Dalam hal ini para waris dalam rangka
menghormati orang tuanya merasa tidak tega membagi harta yang ditinggalkan,
mereka yang menggugat untuk membagi harta peninggalan tersebut, oleh masyarakat
digolongkan sebagai anak yang tak tahu diri (durhaka). Oleh karena itu
merupakan pantangan membagi harta peninggalan sementara salah seorang dari
orang tua mereka masih ada. Pengecualian dari hal ini dapat saja terjadi kalau
memang salah satu dari orang tua yang bersangkutan menghendaki sendiri adanya
pembagian harta peninggalan tersebut.
Dalam hal tertentu ada pula harta peninggalan yang
dibagi, tapi tidak diserahkan kepada yang bersangkutan seperti dalam hal salah
20
seorang dari ahli waris masih belum dewasa atau
dianggap masih belum dapat mengurus harta sendir. Terhadap masalah ini harta
peninggalan yang dibagi, tetapi tidak diserahkan tersebut akan dikuasai oleh
saudara tertua atau paman dari ahli waris tersebut.
Sebagaimana dikemukakan di atas harta warisan adalah
harta yang menjadi hak para waris dan berupa harta peninggalan setelah
dikurangi dengan berbagai kewajiban yang ditinggalkan pewaris. Dengan demikian
dalam masyarakat Banjar suatu bundle harta warisan adalah harta yang sudah siap
di bagi warisan, tanpa ada lagi kewajiban-kewajiban yang akan dikeluarkan yang
terkait dengan urusan pewaris.
Harta warisan adalah harta yang dimiliki atau dikuasai
oleh orang tua mereka, tanpa begitu memperhatikan dari bawaan siapa dahulku
harta tersebut. Dalam hal ini berarti tidak dipermasalahkan apakah ia bawaan
suami atau bawaan isteri sebelum perkawinan dilakukan. Disini yang penting bagi
ahli waris adalah harta tersebut dimiliki dan dikuasai atas nama orang tua
mereka. Kondisi seperti ini ditunjang oleh nilai-nilai yang hidup yang tidak
mengenal perjanjian mengenai harta pada saat melangsungkan perkawinan.
Persoalan harta bawaan ini dapat saja menjadi permasalahan kalau seorang
pewaris tidak mempunyai anak, sehingga pembagian warisan melibatkan keluarga ke
samping.
Begitu pula mengenai harta warisan yang berasal dari
harta pemberian, baik itu pemberian orang tua masing-masing ataupun pemberian
kerabat masing-masing ataupun juga hadiah, asalkan pemberian itu dilaksanakan
dalam masa perkawinan, maka hal itu tidak dipermasalahkan harta siapa itu.
Dengan kata lain, pada masyarakat Banjar sebenarnya tidak mengenal pembagian
harta warisan yang ditelusuri asal-usulnya, apakah itu dari harta pemberian
orang tua masing-masing atau kerabat masing-masing. Harta yang masuk ke-dalam
satu keluarga dianggap sebagai harta mereka bersama, karena harta adalah
dianggap rezeki, yaitu rezeki bersama yang datangnya dapat saja lewat salah
satu dari anggota keluarga.
21
14 Muhammad
Sanusi, Suatu Tinjauan terhadap Harta Bersama dalam Hukum Keluarga dan Hukum
Waris Suku Banjar, Prasaran pada Diskusi Hakim/Calon Hakim pada Pengadilan
Negeri Banjarmasin, (tanpa tahun)
15 Soerjono
Soekanto, Kamus Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1982) hlm. 204.
Berkaitan dengan harta warisan ini
dikenal apa yang disebut harta bersama, yang disebut dengan “harta papantangan”. Perkataan harta perpantangan berasal dari istilah bahasa Banjar yang
berarti "semua harta yang diperoleh dari hasil kerja sama suami isteri
selama berlangsungnya perkawinan".14 Di dalam Kamus Hukum Adat, pengertian harta
perpantangan adalah “harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha suami
dan isteri bersama-sama”.15
Pengertian kerja sama di sini tidaklah berarti bagi
suami dan isteri harus seimbang dalam hal kerja dan jasa untuk mengumpulkan
harta tersebut. Karena sudah merupakan kodratmya bahwa aktivitas seorang isteri
dicurahkan untuk mengurus rumah tangga dan anak-anaknya, dan bagi suami tugas
pokoknya adalah memberi nafkah untuk kepentingan keluarga dan rumah tangganya.
Dalam hal inilah terlihat adanya kerja sama dimaksud, masing-masing bekerja
sesuai dengan bidangnya. Oleh karena itu dalam masalah harta perpantangan,
suami isteri sama-sama mempunyai peranan dan andil yang besar.
Harta di dalam perkawinan dapat digolongkan dalam beberapa
macam. Menurut Hilman Hadikusuma, penggolongan dari harta perkawinan sebagai
berikut :
1. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri
sebelum perkawinan yaitu "harta bawaan".
2. Harta yang diperoleh / dikuasai suami atau isteri
secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu "harta
penghasilan".
3. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau isteri
bersama-sama selama perkawinan yaitu "harta pencaharian".
22
16 Hilman
Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung : Alumni, 1983), hlm. 157.
4. Harta yang
diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah, yang
kita sebut "hadiah perkawinan"16
Dan penggolongan ini dapat dilihat bahwa tidak semua
harta didalam perkawinan itu adalah harta perpantangan, meskipun pada kenyataannnya
harta perkawinan ini dapat digunakan untuk mengambil manfaat bagi kepentingan
biaya rumah tangga dan juga modal usaha bagi suami atau isteri untuk
mendapatkan kekayaan.
Di lingkungan masyarakat Banjar di samping suami,
seorang isteri juga ikut berperan aktif dalam mengumpulkan harta kekayaan.
Lebih-lebih lagi dikalangan keluarga yang ekonominya lemah. Untuk mencukupi
keperluan hidupnya dengan rela seorang isteri ikut membantu suaminya mencari
nafkah. Dengan latar belakang kehidupan seperti inilah timbulnya istilah harta
perpantangan di kalangan masyarakat Banjar yang berkembang sebagai suatu hukum
dalam masyarakat dan keberadaannya juga diakui oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan.
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, menentukan :
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri
hadiah atau warisan, adalah dibawah pengawasan masing-msing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.
Keberadaan harta bersama (perpantangan) telah menjadi
budaya dalam masyarakat Kalimantan Selatan sejak lama. Karena itu apabila dalam
keluarga terjadi peristiwa perceraian atau kematian salah seorang dari suami
isteri, maka harta mereka dibagi menjadi dua bagian yang sama, kecuali harta
bawaan atau warisan, tetap menjadi harta pribadi masing-masing.
23
Meskipun hukum Islam tidak mengenal harta perpantangan
karena nafkah isteri dan semua fasilitas hidup dan kehidupannya menjadi
tanggung jawab suami secara penuh, namun keberadaan harta perpantangan tidak
bertentangan dengan hukum Islam dan telah merupakan kenyataan hukum yang hidup
di tengah masyarakat.
Harta perpantangan (harta bersama), istilah ini lahir
setelah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari melihat kehidupan keluarga di kalangan
masyarakat Arab berbeda dengan masyarakat Banjar. Di Saudi Arabia memang
perempuan (isteri) tidak bekerja, karena itu apabila suami meninggal dan
mempunyai anak, si isteri hanya mendapat seperdelapan dari harta warisan, kalau
tidak ada anak mendapat seperempat dari harta warisan (peninggaian suami),
berbeda dengan masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) isteri ikut bekerja
bersama suami sekalipun hanya bekerja di rumah saja, selama masih sebagai suami
isteri dinamakan harta perpantangan atau harta bersama. Apabila salah satu
meninggal maka yang masih hidup lebih dahulu mengambil 50 % (lima puluh persen)
dari harta bersama dan sisanya baru dibagi sesuai dengan ketentuan hukum
Faraidh. Harta bersama ini diqiaskan dengan Syirkatu al abdan.
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka
masing-masing isteri berhak mendapat bagian atau gono gini di peninggalan
pewaris (suami), sedang keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli
warisnya. Pembagian warisan diperhitungkan lamanya perkawinan. Isteri pertama
lebih banyak dari isteri ke 2, 3 dan 4. Hukum syirkah dikaitkan dengan hukum
KHI disesuaikan dengan hukum setempat, . dan penerapannya secara poligami
dilihat dari penghasilan / perolehan dari isterinya.
Berdasarkan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, bahwa
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Memang Hukum adat masyarakat Kalimantan Selatan,
sebahagian besar bersumber dari Hukum Islam. Ulama yang sangat berpengaruh
24
adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dengan karya
beliau yang terkenal kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan rujukan bagi
masyarakat/ulama di Kalimantan Selatan. Beliau telah menguraikan tentang adanya
harta bersama, mengingat bahwa suami dan isteri sama-sama bekerja mencari
nafkah. Karena itu jauh sebelum lahimya Undangundang Nomor 1 Tahun 1974, masyarakat
Islam di Kalimantan Selatan sudah mengenal adanya Harta bersama dan diterapkan
pembagiannya dalam hal terjadi perceraian maupun dalam pelaksanaan pembagian
harta warisan.
Keberadaan harta parpantangan terdapat pula pada
susunan masyarakat yang bilateral atau parental, karena dalam susunan
masyarakat yang bilateral tidak dibedakan antara kecakapan bertindak suami dan
isteri. Keadaan ini mendapat dukungan dari Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 yang menyatakan, bahwa :
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
2. Masing masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah
tangga.
Fiqih Islam memang tidak menyinggung secara jelas
tentang harta perpantangan. Dalam Al-Qur'an surat An Nisa ayat 32 hanya ada
ketentuan bahwa bagi laki-laki sesuai dengan apa yang mereka usahakan, demikian
juga bagian dari perempuan sesuai dengan apa yang mereka usahakan pula.
Yang menjadi ukuran dalam pembagian ini adalah usaha
yang dilaksanakan oleh masing-masing. Apabila besar usahanya maka besar pula
bagian yang diterimanya sebaliknya apabila sedikit usahanya maka akan sedikit
pula bagian yang diterimanya.
Mengingat harta papantangan merupakan harta yang
diperoleh dalam perkawinan atau harta pencaharian bersama, dan dianggap sebagai
harta bersama suami isteri, maka apabila ada perceraian
25
ataupun kematian, harta tersebut harus dibagi sama
antara suami dan isteri tersebut.
Dengan konsep harta bersama yang demikian itu, maka
dalam hal terjadi salah satu meninggal dunia, akan dipisahkan antara harta
parpantangan dengan harta warisan. Dalam hal ini berarti harta parpantangan
semacam “harta kongsi” yang harus dipisahkan lebih dahulu sebelum diadakan
pembagian harta menurut hukum waris.
Keberadaan harta bersama (perpantangan) telah menjadi
budaya dalam masyarakat Kalimantan Selatan sejak lama. Karena itu apabila dalam
keluarga terjadi peristiwa perceraian atau kematian salah seorang dari suami
isteri, maka harta mereka dibagi menjadi dua bagian yang sama, kecuali harta
bawaan atau warisan, tetap menjadi harta pribadi masing-masing.
Masalah harta parpantangan ini berkaitan erat dengan
kedudukan isteri dalam rumah tangga serta haknya atas harta yang diperoleh
selama berumah tangga tersebut. Suatu harta dianggap harta parapantangan, kalau
dalam rumah tangga tersebut si isteri turut bekerja (kantor, dagang atau tani),
sehingga nantinya mereka ini (si-isteri) berhak separo atas harta bersama
tersebut. Dalam hal pembagian waris nantinya sisanya yang separo setelah
diambil oleh isteri itulah yang akan dijadikan harta warisan.
Masalah isteri yang bekerja sebagai dasar untuk
menentukan harta parpantangan tersebut terjadi perbedaan pedapat, khususnya
mengenai kriteria bekerja dalam hal “ibu rumah tangga”. Perbedaan itu yaitu :
1. Bahwa isteri tidak mendapat harta parpantangan, atau
harta itu bukan harta parapantangan, karena isteri dianggap tidak bekerja.
Dalam hal ini isteri hanya mendapat bagian waris seuai dengan kedudukannya
sebagai ahli waris.
2. Bahwa isteri mendapatkan harta parpantangan, akan
tetapi isteri tidak mendpaatkan separo, besarnya ditentukan dalam
permusyawaratan pembagian harta peninggalan.
26
3. Bahwa sekalipun isteri tidak bekerja secara nyata,
karena hanya sebagai ibu rumah tangga, akan tetapi hakikatnya ia bekerja.
Hakikat bekerja ini dikarenakan si isteri melakukan pekerjaan di rumah diluar
pekerjaan yang seharusnya ia tidak lakukan (ada kewajiban suami menyediakan
pembantu dalam rumah tangga), oleh karena itu tidak akan mungkin seorang suami
dapat bekerja dengan baik tanpa dibantu oleh si-isteri di rumah. Dengan
demikian si-isteri yang hanya sebagai ibu rumah tangga pun berhak atau harta
parapantangan.
Harta warisan dan atau harta peninggalan tidak selalu
hanya berupa barang-barang berwujud, akan tetapi juga ditemui barang-barang
tidak berwjud, yaitu berupa hak-hak. Hak-hak ini biasanya adalah hak atas “sanda”
terhadap barang-barang seperti tanah, rumah, dan perahu. Lembaga “sanda” ini
dapat dikatakan sebagai hak kebendaan baik terhadap barang bergerak maupun
barang tidak bergerak, dalam hal ini berbeda konsepnya dengan lembaga “gadai”
atau “hipotek” sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata.
Terhadap harta peninggalan berupa hak-hak atas “sanda”
ini dalam permusyawaratan pembagian harta peninggalan / warisan sedapat mungkin
di “cairkan” atau dijadikan uang. Akan tetapi manakala tidak dapat
dicairkan, maka biasanya akan menjadi harta peninggalan / warisan yang tidak
terbagi. Penguasaan harta peninggalan / warisan yang tidak terbagi berupa
hak-hak atas sanda ini biasanya dikuasai oleh salah seorang orang tua yang
masih ada tau saudara yang tertua, kalau ia berupa rumah akan dikuasai oleh
ahli waris yang tidak mampu atau belum memiliki rumah.
Kemudian dalam hal proses pembagian harta warisan
menurut hukum adat masyarakat Banjar, dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu
pembagian harta sebelum pewaris meninggal dunia, pembagian sesudah pewaris
meninggal dunia, dan pelaksanaan pembagian waris itu sendiri.
27
1. Sebelum Pewaris Meninggal Dunia
Proses pembagian harta sebelum pewrisan meninggal
dunia ini adalah suatu proses yang mana pewaris belum meninggal dunia, akan
tetapi ia sudah memikirkan bagaiamana pembagian harta yang akan ditinggalkannya
kelak akan dibagi-bagi. Adanya proses pembagian harta sebelum pewaris meninggal
dunia ini dahulu atau didasari oleh suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu
ini adalah sebagai prakondisi yang mendorong diadakannya proses pembagian harta
tersebut. Pra kondisi ini diantaranya adalah:
a. Pewaris sudah tua, yang dalam istilah masyarakat
Banjar “ sudah ba’umur”;
b. Pewaris sakit-sakitan yang merasa hidupnya tidak
akan lama lagi;
c. Pewaris tidak mempunyai anak;
d. Pewaris mempunyai “anak pintaan”(semacam anak
angkat),”dangsanak angkat”(saudara angkat), dan” Kuwitan angkat” (orang tua
angkat);
e. Pewaris dalam keadaan sakinya diharagu”(dipelihara)
oleh oarng yang tidak berkedudukan sebagai ahli waris.
f. Pewaris mempunyai anak, akan tetapi ia menyadari
ada diantara anak-anaknya tersebut yang “ penguluh”(serakah) terhadap harta,
sehingga pewaris khawatir kelak akan terjadi perselisihan diantara anak-anaknya
tersebut.Prakondisi ini tidaklah masing-masing berdiri sendiri,melainkan dapat
saja bersifat gabungan(mixed) antara yang satu dengan lainnya, yang jalan
prakondisi tersebut benar-benar melatarbelakangi terjadi pembagian
harta(warisan) sebelum pewaris meninggal dunia.
Adapun bentuk-bentuk dari pembagian harta (warisan)
sebelum pewaris meninggal dunia, ditemukan bentuk-bentuk sebagai berikut: ”Dibari’i”
(hibah/ pemberian), ”Bapesan” atau “amanat” (wasiat); dan ”Wasiat
hibah”.
a. Dibari’i (Hibah/ Pemberian)
28
“Dibari’i” atau hibah adalah suatu cara di mana harta
dibagi-bagi oleh pewaris( yang akan mewariskan) kepada anak-anaknya (ahli
waris) dan kepada pihak-pihak lain (penerima warisan) sesuai dengan apa yang
diingikan pewaris. Proses pemberiannya dilakukan dengan cara pewaris
mengumpulkan semua ahli waris dengan atau tanpa penerima warisan lainnya,
setelah semuanya berkumpul pewaris mengemukakan keinginannya membagi-bagi harta
kepada ahli waris dan penerima warisan lainnya.Dalam kondisi seperti ini ahli
waris umumnya menyetujui pembagian yang dilakukan oleh orang tuanya sebagai
wujud dari penghormatan dan baktinya tehadap orang tua tersebut.
Dalam proses pengibahan itu biasanya diundang
seseorang yang menjadi tokoh dalam masyarakat seperti “ tuan guru” atau
tokoh formal seperti Ketua Rukun Tetangga atau Lurah dimana mereka diminta
untuk menyaksikan apa-apa yang telah dihibahkan tersebut.
Dalam proses penghibahan ini pula manakala ahli waris
ada yang tidak hadir, maka pewaris berpesan kepada yang hadir untuk
menyampaikan apa-apa yang sudah menjadi kehendaknya dalam pembagian harta
tersebut.
Adapun besarnya bagian masing-masing dalam pengibahan
ini tidak ditemukan norma yang pasti, yang menjadi tolak ukur hanyalah asas “kepatutan”
atau asas “keadilan” yang ada dalam benak pewaris. Dalam hal ini pra kondisi
tersebut di atas sangat mempengaruhi besarnya penerimaan harta yang diterima
oleh para ahli waris dan pewaris lainnya. Harta yang dihibahkan tersebut akan
dibagi-bagi sesuai dengan kondisi hartanya, seperti X menerima rumah, Y.
Menerima perahu, N menerima perhiasaan dan seterusnya.
Kehadiran tokoh masyarakat (“tuan guru”)
tersebut sangat berperan dalam mengimplementasikan asas kepatutan dalam
29
pembagian tersebut. Maksudnya prinsip-prinsip
pembagian yang menyangkut hak-hak waris menurut hukum Islam menjadi
pertimbangan utama dari pewaris dalam menetapkan bagian dari masing-masing ahli
waris dan penerima warisan lainnya. Di samping prinsip-prinsip hukum Islam yang
terjadi patokan dasar oleh pewaris dalam menentukan bagian, juga hal yang
sangat penting adalah penerimaan dari ahali waris terhadap apa-apa yang
diputuskan oleh pewaris tersebut. Oleh karena itu dalam pemberian harta ini
(hibah) biasanya juga disertai dengan musyawarah, sehingga apa-apa yang sudah
diputuskan pewaris dapat diterima oleh ahli waris.
Manakala harta yang sudah dihibahkan tersebut masih
berada dalam penguasaan pewaris, maka ahli waris merelakannya, (membiarkannya)
karena mereka masih beranggapan bahwa pewaris berhak mmenikmati harta tersebut,
terlebih pula hal ini dikaitkan dengan penghargaan atau wujud kebaktian mereka
terhadap orang tua.
b. Wasiat
Wasiat atau dalam istilah masyarakat Banjar disebut
dengan “amanat” atau “ba’amanah” atau “ba’amanat” adalah
pesan (amanat) dari pewaris (almarhum), yang isinya barupa penunjukkan benarnya
bagian pada ahli waris tertentu, orang tertentu (penerima warisan) lainnya,
ataupun juga berisi larangan untuk membagi harta peninggalan tertentu.
Wasiat umumnya dilakukan secara lisan kepada ahli
waris dan penerima warisan lainnya yang disaksikan oleh orang-orang tertentu,
seperti kerabat dekat dan “tuan guru”. Namun demikian wasiat ini terkadang
hanya disampaikan kepada “tuan guru” atau kerabat dekat, tanpa diketahui oleh
ahli waris atau sebagian dari ahli waris.
Penentuan ada tidaknya suatu wasiat ditentukan dalam
musyawarah pembagian harta warisan, dimana masing-masing
30
akan mengemukakan ada tidaknya wasiat (pesan/amanah)
yang diminta oleh pewaris (almarhum) terhadap pembagian harta warisan tersebut.
Suatu wasiat (pesan) dianggap sah kalau wasiat itu minimal diketahui oleh
seorang saksi, oleh karena itu wasiat akan dianggap tidak sah atau tidak ada
kalau hanya dikemukakan oleh satu orang, baik ia langsung sebagai yang ditunjuk
dalam wasiat ataupun orang lain.
Substansi dari wasiat berupa penunjukkan bagian-bagian
dari ahli waris dan penerima warisan lainnya mengacu kepada prakondisi yang
melatarbelakangi adanya wasiat tersebut, sehingga besarnya bagian atau
jenis-jenis harta yang didapatkan tidak terlepas dari penilaian-penilaian
pewaris (almarhum) terhadap kondisi keluarganya. Oleh karena itu bagian ahli
waris dan pewaris lainnya mengacu kepada kndisi keluarga pewaris tersebut, yang
dalam hal ini harta yang didapatkan sesuai dengan kebutuhan ahli waris dan
penerima waris lain tersebut sebagaimana juga dalam hibah, seperti harta berupa
perhiasan untuk Si X dan harta berupa rumah untuk Si Y dan seterusnya.
Adapun juga yang perlu dicatat adalah gagasan untuk
membuat wasiat melibatkan “tuan guru”, dimana biasanya saran dapat
datang dari “tuan guru” itu sendiri ataupun juga pewaris (almarhum) yang
meminta pertimbangan kepada “tuan guru” terhadap kebaikan-kebaikan yang akan ia
tinggalkan untuk keluarganya dengan prakondisi yang ada pada keluarganya
tersebut. Dengan keterlibatan “tuan guru” tersebut, maka substansi wasiat akan
berpedoman kepada syari’at Islam, termasuk nanti dalam pelaksanaannya yang juga
akan melibatkan “tuan guru” tersebut.
Adapun yang menjadi tujuan utama dalam masyarakat
Banjar dari adanya wasiat ini adalah agar para ahli waris dan penerima warisan
lainnya tidak terjadi perselisihan berupa “barabut” (memperebutkan)
harta warisan, yang menurut
31
keyakinan bahwa adanya perselisihan tersebut akan
mengakibatkan tidak tentramnya pewaris (almarhum) di alam kubur. Oleh karena
itu ketaatan para ahli waris dan penerima warisan lainnya didasarkan kepada
rasa taat dan hormat terhadap orang tua (asas kebersamaan) dalam rangka
keselamatannya menjalani tahap kehidupan di alam kubur. Dengan demikian
perbuatan para ahli waris dan penerima warisan lainnya yang tidak berpijak
kepada apa-apa yang diwasiatkan pewaris diyakini membawa dampak ganda, yaitu :
1).Pewaris (almarhum) menjadi terhalang atau terganggu
atau tidak tentram menjalani kehidupan di alam kuburnya ; dan
2).Ahli waris dan pewaris lainnya menjadi tidak tenang
atau tentram hidupnya, yang biasanya akan selalu merasa didatangi oleh orang
tuanya (almarhum) dalam mimpi.
c. Wasiat hibah
Sebagaimana halnya hibah dan wasiat dalam masyarkat
Banjar juga ditemukan proses pembagian waris berupa wasiat hibah. Wasiat hibah
ini pada dasarnya adalah gabungan antara wasiat dengan hibah, yaitu pemberian
harta (warisan) yang pelaksanaannya akan dilakukan setelah pewaris meninggal
dunia.
Dibandingkan dengan hibah, maka wasiat hibah harta
(warisan) masih berada dalam kepemilikan dan kekuasaan pewaris sampai ia
meninggal dunia. Sedangkan dalam hibah secara formal kepemilikan harta tersebut
sudah beralih kepada ahli waris atau penerima waris lainnya, walaupun terkadang
harta masih berada dalam kekuasaan pewaris. Begitu pula kalau dibandingkan
dengan wasiat, maka wasiat hibah ini pelaksanaannya sudah ada semenjak pewaris
masih hidup.
Substansi dari wasiat hibah ini juga tidak jauh
berbeda dengan hibah dan wasiat, karena hanya caranya yang berbeda. Cara yang
digunakan dalam wasiat hibah ini biasanya dilafalkan
32
atau diucapkan sebagai berikut : “kalau aku habis
umur, si A akan kubari’i harta N, si B harta P dan seterusnya.
Substansi dan latarbelakang wasiat hibah juga sama
dengan hibah dan wasiat, hanya wasiat hibah ini juga ditambah dengan
pertimbangan bahwa pewaris akan tetap dapat dimiliki dan menguasai (menikmati)
hartanya selama ia masih hidup, tanpa merasa menggunakan fasilitas yang ada
pada anaknya.
Begitu pula dalam proses pernyataan dan pelaksanaan
wasiat hibah juga melibatkan kerabat dekat yang dianggap tua (sepuh)
atau dituakan dan “tuan guru”, sehingga substansinya juga mempergunakan
pertimbangan-pertimbangan syari’at Islam. Paling tidak bagi mereka dengan
dilibatkannya. “tuan guru” tersebut, terdapat perasaan aman dan tenang karena
dipandang sesuai dengan ajaran agama. Disamping itu kelak dalam pelaksanannya
dapat diwujudkan dengan baik, mengingat tuan guru tersebut adalah orang yang
terpandang dan berpengaruh dalam masyarakat.
Kecenderungan digunakannya lembaga wasiat hibah ini
dalam masyarakat Banjar sekarang semakin banyak dibandingkan dengan lembaga
hibah dan wasiat, karena lembaga wasiat hibah dapat menajdi landasan bagi
pewaris untuk tetap mempertahankan hartanya selama ia masih hidup. Kemudian ia
juga dapat merencanakan pembagian harta itu secara “adil” (asas keadilan)
menurut prakondisi yang ada pada keluarganya kalau suatu saat ia meninggal
dunia.
2. Sesudah Pewaris Meninggal Dunia
Proses pembagian warisan sesudah pewaris meninggal
dunia adalah suatu proses yang berjalan secara normal dalam bidang hukum waris.
Untuk ini dalam masyarakat Banjar pelaksanaannya diadakan sesudah selesai
pengurusan segala hal yang menyangkut kepentingan pewaris (almarhum) yang
biasanya setelah upacara
33
“ma’ampat puluh hari” (empat puluh hari setelah
pewaris meninggal dunia).
Adapun yang dianggap penyelenggaraan kepentingan
pewaris yang harus didahulukan sebelum pembagian warisan dilakukan adalah :
a. Penyelesaian seluruh kewajiban utang pewaris;
b. Penyelesaian upacara penyelenggaraan jenazah
pewaris; dan
c. Penyelesaian wasiat / amanah pewaris.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gusti Muzainah,
apakah harta warisan itu di bagi atau tidak dibagi setelah pewaris meninggal
dunia, ternyata ditemukan hasil yang bervariasi. Variasi-variasi tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Ada sebagian yang melakukan pembagian harta setelah
empat puluh hari meninggalnya pewaris terhadap seluruih harta warisan;
b. Ada sebagian yang melakukan pembagian waris setelah
empat puluh hari meninggalnya pewaris terhadap sebagian harta warisan; dan
c. Ada pula sebagian masyarakat tidak melakukan
pembagian waris.
Adanya variasi dalam pelaksanaan pembagian waris
tersebut tidak terpola dengan pasti, artinya masyarakat menganggap ketiga pola
tersebut sebagai pola pelaksanaan pembagian waris yang sah-sah saja. Namun
demikian pelaksanaan pola-pola tersebut selalu didahului oleh adanya
kesepakatan atau bermusyawarah yang dikenal dengan istilah “islah”.
Dalam hal ini berarti kalau para ahli waris menghendaki pembagian waris, maka
mereka sepakat untuk membaginya, kalau mereka menghendaki hanya sebagian yang
dibagi, maka hanya sebagian itulah yang dibagi, begitu pula kalau mereka tidak
menghendaki untuk dibagi, maka harta warisan itupun tidak dibagi.
Terhadap harta warisan yang tidak dibagi, biasanya harta
warisan diserahkan penguasaannya kepada salah satu orang tua (janda/duda) atau
kepada anak yang tertua. Kalau dalam keluarga
34
tersebut kedua orang tuanya sudah tidak ada lagi,
sedangkan ahli waris masih belum dewasa, maka biasanya penguasaan harta warisan
diserahkan kepada salah satu dari Saudara lelaki dari orang tua (“mamarina”)
(“julak/pakacil”).
Adanya harta warisan yang tidak dibagi adalah
harta-harta yang dipersiapkan untuk membiayai penyelenggaraan upacara-upacara
rutin untuk memperingati wafatnya pewaris, yaitu apa yang disebut “bahaul”
yang diselenggarakan setiap tahun. Di samping itu keengganan membagi harta
warisan dapat terjadi salah satu dari orang tua masih ada (hidup).
3. Pembagian Harta Warisan
Pembagian harta warisan dalam masyarakat Banjar
dilakukan dengan menggunakan suatu lembaga, yang disebut “Islah”,
artinya permufakatan / perdamaian antara ahli-ahli waris untuk menyerahkan
sebagian warisan dari jumlah yang seharusnya dia terima kepada ahli waris yang
menerima lebih kecil berdasarkan hukum faraidh.
Syekh Muhammad Arsyad al Banjari memperbolehkan
pembagian harta warisan secara islah. Istilah islah dan harta
perpantangan yang berkembang dalam pembagian harta warisan di kalangan
masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) kabarnya dari ketentuan hukum Islam yang
ditulis Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dalam Kitab al Faraid namun
sampai sekarang naskah aslinya maupun salinan atau yang dicetak belum
diketemukan. Ada yang mengatakan naskah aslinya ada di tangan salah seorang
keturunannya yang bemama H. Abdurrahman Siddik yang pernah menjabat sebagai
Mufti Kesultanan Siak Indragiri (Sapat) di Sumatera, tapi hingga sekarang
naskah tersebut belum ditemukan. Namun ketentuan yang sudah menjadi realitas di
kalangan masyarakat Banjar dalam pembagian harta pusaka yang berlaku sekian
lama, bahkan harta perpantangan ini dilindungi oleh hukum
35
17 Musthafa
Diibul Bigha, Ihtisar Hukum Islam Praktis, (Semarang : As-Syifa, 1994),
hlm. 544-556.
adat, namun
realitasnya sekarang menjadi hukum positif yang modern dan Islami.
Dalam lembaga “Islah”
tersebut peranan tuan guru dan kerabat dekat yang tua sangat menentukan. Oleh
karena ada peranan dari tuan guru, maka ketentuan-ketentuan dalam syari’at
Islam menjadi tolak ukur mereka.
Namun demikian dalam keadaan normal (tidak adanya
sengketa waris) pembagian harta warisan dilakukan secara bervariasi, dengan dua
cara yaitu : “Fara’id –Islah” dan “Islah”.
a. Fara’id – Islah
Dilakukan pembagian menurut fara’id atau hukum waris
Islam, setelah itu dilakukan pembagian dengan cara musyawarah mufakat atau
“islah”. Prosesnya dalam hal ini tuan guru menghitungkan siapa-siapa saja yang
mendapat warisan, dan berapa besar bagian masing-masing ahli waris tersebut.
Seperti dalam masalah siapa-siapa ahli warisnya ditetapkan ahli waris dari
golongan laki-laki (anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki ke
bawah, ayah (abah), kakek (ka’i) laki-laki terus ke-atas, saudara
laki-laki (dangsanak), anak saudara laki-laki (kemanakan) terus
ke-bawah, saudara ayah (paman/julak), anak paman (sepupu) dan suami).
Ahli waris dari golongan perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki, ibu,
nenek perempuan dari ayah, nenek perempuan dari ibu, dan isteri). Begitu pula
dalam hal besarnya bagian-bagian ahli waris seperti seperdua (1/2), seperempat
(1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3) dan seperenam
(1/6).17
Setelah tuan guru menentukan siapa-siapa yang menjadi
ahli waris ataupun penerima lainnya berdasarkan wasiat atau hibah wasiat,
kemudian mengetahui besarnya bagian warisan yang mereka terima, maka kemudian
mereka menyatakan
36
menerimanya. Akan tetapi dalam “islah” tersebut
tidak berhenti hanya sampai di situ melainkan diteruskan dengan kesepakatan
memberikan harta warisan yang merupakan bagiannya kepada ahli waris lain atau
penerima waris lainnya.
Dalam kerangka “islah” inilah seseorang ahli
waris yang mendapat bagian warisan seperti yang ditentukan dalam syariat Islam,
pada akhirnya tidak mendapatkan seperti yang ditentukan oleh syariat Islam
tersebut.
Dengan cara “Islah” tersebut dirasakan mudah dalam
melaksanakan ketentuan yang ditetapkan agama, karena pembagian menurut faraid
(hukum waris Islam) telah mereka lakukan, walaupun kemudian berdasarkan
kerelaan masing-masing menyerahkan atau membagi laginya.
Berdasarkan pada “islah” ini aspek kepentingan
keluarga dan kondisi ahli waris dan penerima warisan lainnya menjadi
pertimbangan utama. Maksudnya, seseorang ahli waris yang menurut faraid mendapatkan
bagian lebih besar, dan yang bersangkutan termasuk orang yang mapan (sukses
kehidupan ekonominya), maka akan mendapatkan bagian harta warisan yang sedikit,
atau bahkan tidak sama sekali. Begitulah seterusnya akibatnya prosentasi
pembagian menurut faraid pada akhirnya tidak dipakai lagi, sehingga
bagian warisan yang diterima oleh ahli waris dan pewaris lainnya dapat sama
rata, atau ada yang tidak mendapatkan, atau ada yang mendapatkan sedikit, atau
ada yang mendapatkan banyak.
b. Islah
Pembagian dengan cara islah atau dengan cara
musyawarah mufakat ini, berarti prosesnya hanya menempuh satu cara, yaitu
musyawarah mufakat. Dalam hal ini, ahli waris bermusyawarah menentukan besarnya
bagian masing-masing ahli waris dan penerima warisan lainnya.
37
18 Abdurrahman,
Kompilasi Hukum Isalm di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo,
1992), hlm. 158.
Sebagaimana yang
pernah disinggung, bahwa dalam islah ini pertimbangan-pertimbangan yang menentukan besarnya
bagian masing-masing ditentukan oleh kondisi objektif keadaan ahli waris dan
penerima warisan lainnya. Oleh karena itu bagian yang di terima oleh
masing-masing ahli waris dan penerima warisan lainnya sangat variatif, karena
tidak memakai prosentasi tertentu.
Kalau dalam pembagian waris dengan pola “faraid-Islah”
terdapat kekhawatiran ahli waris tidak melaksanakan syari’at agama Islam, sebab
dalam hal ini rasa keberagamaan mereka menjadi taruhan utama dalam kehidupan.
Cara yang dipakai melalui “fara’id –Islah”, mereka anggap sudah
melaksanakan syari’at agama atau sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh
agama, walaupun kemudian mereka memilih untuk melakukan islah agar
pembagian tersebut dapat menyentuh aspek kemaslahatan keluarga.
Demikian pula halnya bagi mereka yang hanya
menggunakan cara islah, mereka mengaggap lembaga “islah” juga
dibenarkan oleh syari’at Islam, karena warisan termasuk bidang muamalah yang
pelaksanaannya diserahkan kepada umat, asalkan dalam hal tersebut tidak ada
perselisihan.
Dalam Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga
ditegaskan bahwa “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian
dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”.18
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam,
bahwa pola “fara’id-islah” yang selama ini diterapkan oleh masyarakat
Banjar dalam pembagian warisan sudah sejalan, karena masing-masing pihak sudah
menyadari besarnya bagian masing-masing pihak sudah menyadari besarnya bagian
masing-masing sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh “tuan guru”.
38
Namun bagi mereka yang membagi harta warisan dengan
hanya cara “islah” patut dipermasalahkan, karena tanpa didahului oleh proses
pembagian menurut fara’id, sehingga ketentuan Pasal 183 Kompilasi Hukum
Islam itu tidak terpenuhi. Dalam hal ini masyarakat Banjar tidak melihat
permasalahan tersebut dari aspek Kompilasi Hukum Islam, melainkan melakukan
pembagian warisan berdasarkan apa yang mereka sepakati secara damai dan
didasarkan pada kemaslahatan mereka. . Bagi mereka yang terpenting adalah
“kesepakatan” dalam membagi warisan dan tidak terjadi sengketa atau
perselisihan, namun apabila terjadi perselisihan di antara mereka maka islah
tidak dilaksanakan, tetapi merujuk kepada pembagian warisan menurut
fara’id.
Di samping itu pihak yang terlibat dalam proses
pembagian warisan yaitu “tuan guru” yang tahu masalah agama tidak
menghalangi cara “islah” ini, dengan dasar bahwa masalah pembagian
warisan “muamalah” yang tidak mutlak harus mengikuti fara’id. Dengan
kata lain pelaksanaan pembagian warisan berdasarkan islah ini juga
dibenarkan oleh syariat Islam.
Dari gambar pembagian waris tersebut, terlihat kuatnya
hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam masyarakat Banjar dalam hal
pembagian warisan.
Sehubungan adanya interaksi antara hukum Islam dengan
Hukum Adat, maka terdapat teori ada tiga teori yang saling bertentangan, yaitu
teori receptio in complexu dan receptio hteorie, serta receptio a
contrario.
Teori “receptio in complex” menyatakan : “bagi
orang Islam telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhan sebagai satu
kesatuan”, dan “ receptio theorie” menyatakan : “bagi orang Islam
yang berlaku bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat, walaupun ada pengaruh
hukum Islam tetapi ia baru dianggap sebagai hukum kalau diterima oleh hukum
Adat”, serta teori “receptio a contrario” menyatakan : “bagi orang
Islam berlaku
39
19 Otje
Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, (Bandung :
Alumni, 1993), hlm. 25-28
hukum Islam, hukum adat baru berlaku kalau diterima
oleh hukum Islam (tidak bertentangan dengan hukum Islam)”.
Dengan melihat ketiga teori tersebut, bilamana
dikaitkan dengan pembagian waris dalam masyarakat Banjar dapat dilihat hal-hal
sebagai berikut:
a. Masyarakat Banjar melakukan pembagian waris dengan
menggunakan syari’at Islam (fara’id)
b. Disamping menggunakan faraid, masyarakat Banjar
juga menggunakan lembaga “islah”;
c. Lembaga “islah” itu sendiri merupakan
lembaga hukum yang hidup dalam masyarakat Banjar dan
d. Lembaga “islah” ini ternyata diakui
keberadaannya oleh “tuan guru” atau tokoh agama Islam, sehingga dapat ditafsirkan
bahwa lembaga islah tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Kalau dihubungan dengan ketiga teori di atas, maka
pelaksanaan pembagian harta warisan yang di lakukan hukum adat masyarakat
Banjar, lebih mengarah kepada penerapan teori “receptio a contrario”.
Terlepas
dari ketiga teori di atas, Otje Salman mengemukan suatu teori “kesadaran
hukum masyarakat” yang pada pokoknya bahwa hukum adat dengan hukum Islam
memiliki taraf yang sejajar dalam daya berlakunya di Indonesia, dimana daya
berlaku suatu sistem hukum tidak disebabkan oleh meresepsikanya sistem hukum
yang satu dengan hukum Islam yang lain, tetapi hendaknya disebabkan oleh adanya
kesadaran hukum masyarakat yang nyata menghendaki bahwa bahwa suatu hukum
itulah yang berlaku”.19
Berdasarkan teori “kesadaran hukum masyarakat” di
atas, pembagian warisan menurut hukum waris adat masyarakat Banjar dengan
menggunakan “fara’id” dan “islah” merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat
dan bersumber dari kesadaran hukum masyarakat itu sendiri.
40
III. P E N U T U P
Sistem pewarisan dalam masyarakat Banjar dapat
dikatakan bersifat campuran atau gabungan (mixed), yaitu antara sistem
pewarisan individual dengan sistem pewarisan mayorat. Selain dianut sistem
kekerabatan Parental atau Bilateral, dan sistem kewarisan individual, dalam
prakteknya terdapat pula sistem pewarisan mayorat, dimana harta warisan tidak
dibagi melainkan dikuasai oleh salah seorang ahli waris.
Kemudian dalam hal proses pembagian harta warisan
menurut hukum adat masyarakat Banjar, dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu
pembagian harta sebelum pewaris meninggal dunia, pembagian sesudah pewaris
meninggal dunia, dan pelaksanaan pembagian waris itu sendiri. Dalam sistem
pembagian warisan dalam adat Banjar terbagi dalam dua pola yaitu sistem
Faraidh dan sistem Islah. Ishlah artinya pemufakatan antara
ahli Waris untuk memberikan sebagian dari harta yang semestinya diterima kepada
ahli waris yang menerima lebih kecil berdasarkan fĂ raidh.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Abdurrahman, “Undang-undang Sultan Adam dan
Kedudukannya dalam Hukum Adat Banjar”, 1977, Artikel dalam Majalah
Orientasi, No. 2, Tahun II.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1977, Seminar Hukum
Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Binacipta.
Bondan, Amir Hasan Kiai, 1953, Suluh Sejarah
Kalimantan. Banjarmasin: Fajar. 41
Daud, Alfani, 1997, Islam
dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Djahri, Mastur, 1972, Hukum Pembagian Harta Pusaka
Dalam Islam, Banjarmasin: Fak. Syari’ah IAIN Antasari.
Djubaedah, Neng, 1998, “Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Islam dalam Masyarakat Muslim di Indonesia Suatu Harapan”, Artikel dalam Mimbar
Hukum, No. 40, Tahun IX.
Hadikusumah, Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum
Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju.
__________________. 1993. Hukum Waris Adat. Bandung:
Citra Aditya Press.
Halim, A. Ridwan, 1987, Hukum Adat dalam Tanya
Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hamka dan Gusti Abdul Mu’is, 1982, Meninjau Sejarah
Masuk dan Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan, Banjarmasin:
Muhammadiyah.
Harjono, Anwar, 1981, Hukum Kewarisan Bilateral
Menurut Al Qur’an Komentar atas Hazairin dalam Pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta : UI Press.
Hazairin, 1968, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta:
Tintamas. Hilman, Hadikusuma, 1983, Hukum Perkawinan Adat, Bandung :
Alumni.
_______, tth, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al
Qur’an, Jakarta : Tintamas.
Ismuha, 2004, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris
Menurut KUH Perdata, Hukum Adat, dan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Ka’bah, Rifyal, 1999, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Universitas Yarsi.
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak, 2004, Hukum
Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad, Bushar, 1994, Asas - asas Hukum Adat Suatu
Pengantar, Jakarta: Pradnya Paramita. 42
Mundy, Martha, 1988, The
Family Inheritance and Islam : A Reexamination of the Sociology of Fara’id Law,
London : Routledge.
Musa, Yusuf, 1960, Al Tikatu wan al mirats fi al
Islam, Cairo : Dar al Ma’rifah.
Muzainah, Gusti, 1999, Pembagian Harta Warisan
Menurut Hukum waris Adat Masyarakat Banjar, Tesis, Surabaya : UNAIR.
Prodjodikoro, Wirjono, 1961, Hukum Warisan di
Indonesia, Bandung: Sumur Bandung.
Ramulyo, M. Idris, 1995, Hukum Perkawinan, Hukum
Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta:
Sinar Grafika Offset.
_______________. 1992. Perbandingan Hukum Kewarisan
Islam di Pengadilan Agama dan Kewarisan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata
(BW) di Pengadilan Negeri (Suatu Studi Kasus). Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Soepomo, 2003, Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Salman, Otje, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat
Terhadap Hukum Waris, Bandung : Alumni.
Sanusi, Muhammad. (tanpa tahun) Suatu Tinjauan
terhadap Harta Bersama dalam Hukum Keluarga dan Hukum Waris Suku Banjar,
Prasaran pada Diskusi Hakim/Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Banjarmasin
Sarmadi, A. Sukris, 1997, Transendensi Keadilan
Hukum Waris Islam Normatif, Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soerjono, 1982, Kamus Hukum Adat, Bandung :
Alumni.
Thalib, Sajuti, 1982, Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, Jakarta: Bina Aksara.
Tim Peneliti Puslit Unlam, 1990, Hukum Adat
Kalimantan, Banjarmasin: BAPEDA Tingkat I Kal-Sel.
Umam, Dian Khairul, 1999, Fiqh Mawaris,
Bandung: Pustaka Setia.
Wignjodipoero, Soerojo, 1982, Pengantar dan
Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung. 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar