Minggu, 10 Maret 2013

PEMBAHARUAN DALAM ISLAM



PEMBAHARUAN DALAM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Sumber ajaran Islam adalah al Quran dan hadis. Keduanya lalu ditafsirkan, tafsir itu merupakan hasil pemikiran mufasir. Pemikiran itulah sebenarnya yang membentuk sikap dan perilaku kaum muslimin. Tatkala suatu pemikiran dimunculkan dan dianggap sesuai dengan keadaan zaman, pemikiran tersebut diterima oleh masyarakat Islam masa itu. Tetapi lama kelamaan situasi berubah. Pemikiran tadi adakalanya tidak sesuai lagi dengan keadaan yang baru. Maka para pemikir memikirkan kembali hasil pemikiran lama untuk disesuaikan dengan keadaan baru. Tatkala pemikiran ulang itu dilakukan dan disesuaikan dengan zaman modern, hasil pemikiran itu disebut modernisasi pemikiran Islam. Pembaruan dalam Islam dilakukan berdasarkan pemikiran baru tersebut. Jadi, pada hakikatnya, istilah pembaharuan atau modernisasi itu sama saja, yaitu penerapan pemikiran modern dalam memajukan Islam dan umat Islam.
Kondisi zaman modern ditandai oleh penggunaan rasio dalam kehidupan. Karena itu, pada dasarnya, pembaharuan atau modernisasi dalam Islam identik dengan rasionalisasi. Pemikiran rasional dalam Islam dipengaruhi oleh persepsi tentang tingginya kedudukan akal dalam Islam. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani yang sudah masuk ke dunia Islam. Tetapi, jika pemikiran rasional Islam itu bersifat religius, maka pemikiran rasional Yunani bercorak sekuler.
Untuk memahami pemikiran modern dalam Islam, sebaiknya lebih dahulu diketahui garis besar sejarah umat Islam sejak awal sampai zaman modern.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian pembaharuan
Pembaharuan yang dimaksud disini adalah pembaharuan yang kata padanannya dalam bahasa Arab ialah tajdid, bukan bid’ah, ibda’ atau ibtida’. Sebab, meskipun kata-kata ini juga mengandung makna kebaruan, pembaharuan ataupun pembuatan hal baru, konotasinya negative karena secara semantic mengandung arti pembuatan hal baru dalam agama. Secara kebahasaan sebetulnya kata-kata bid’ah dan tasyrifnya mempunyai arti kreativitas atau daya cipta. Maka dalam al Quran pun Tuhan disebutkan sebagai al-Badi’, Maha Kreatif atau Maha berdaya cipta (QS. 2:59 dan 6:101). Dan jika Nabi SAW bersabda agar kita berbudi dengan mencontoh budi Tuhan, maka kreativitas atau daya cipta adalah hal yang sangat terpuji. Namun sudah dikatakan, tentu saja yang terpuji itu bukanlah kreativitas atau daya cipta dalam hal agama itu sendiri, seperti kreativitas dan daya cipta dalam masalah ibadah murni. Maka sama sekali tidak dapat dibenarkan, misalnya, menambah jumlah rakaat dalam shalat atau memasukkan sesuatu yang sebenarnya hanya budaya belaka menjadi bagian dari agama murni. Maka kreativitas atau daya cipta dalam hal keagamaan murni (bukan dalam hal budaya keagamaan) sama dengan tindakan mengambil wewenang Allah SWT dan Rasul-Nya. Ini suatu perbuatan yang sesungguhnya tidak mungkin, sehingga yang memaksa melakukannya juga, menurut sabda Nabi SAW adalah sesat.[1]
B. Pemikiran Islam Sebelum Periode Modern
Pada periode pertengahan, telah muncul pemikiran dan usaha pembaharuan Islam dikerajaan Usmani di Turki. Akan tetapi usaha itu gagal karena ditentang golongan militer dan ulama. Pada abad ke-17, kerajaan Usmani mulai mengalami kekalahan dalam peperangan dengan Negara Eropa. Kekalahan itu mendorong raja dan pemuka kerajaan Usmani untuk menyelidiki sebab-sebabnya. Kemudian diketahui bahwa penyebabnya adalah ketertinggalan mereka dalam teknologi militer. Mereka selidiki pula rahasia keunggulan Barat. Mereka temukan bahwa rahasianya adalah karena Barat memiliki sains dan teknologi tinggi yang diterapkan dalam kemiliteran.
Karena itulah, pada 1720, kerajaan Usmani mengangkat Celebi Mehmed sebagai utusan kerajaan untuk Perancis. Dia bertugas mempelajari benteng-benteng pertahanan, pabrik-pabrik, serta institusi-institusi Perancis lainnya. Laporan Celebi Mehmed tertuang dalam bukunya, seferetname. Berdasarkan laporan itu, diupayakanlah pembaharuan di Kerajaan Usmani.
Usaha pembaharuan itu mendapat tantangan. Tantangan pertama datang dari tentara tetap yang disebut Janissary. Janissary mempunyai hubungan erat dengan Tarekat Bektasyi yang berpengaruh besar dalam masyarakat. Tantangan kedua datang dari pihak ulama. Ide-ide baru yang didatangkan dari Eropa itu dianggap bertentangan dengan paham tradisional yang dianut masyarakat Islam ketika itu. Karena itu, usaha pembaharuan pertama di Kerajaan Usmani tidak berhasil seperti yang diharapkan.
Di India, sebelum periode modernisasi, muncul juga ide dan usaha pembaharuan. Pada awal abad ke-18, kesultanan mogul memasuki zaman kemunduran. Perang saudara untuk merebut kekuasaan sering terjadi. Golongan hindu yang merupakan mayoritas, ingin melepaskan diri dari kekuasaan mogul. Selain itu, inggris juga telah mulai memperbesar usahanya untuk memperoleh daerah kekuasaan di India.
Suasana itu menyadarkan para pemimpin Islam India akan kelemahan umat Islam. Salah seorang yang menyadari hal itu ialah Syah Waliyullah (1703-1762) dari Delhi. Ia berpendapat Salah satu penyebab kelemahan umat Islam ialah perubahan system pemerintahan dari system khilafah ke system kerajaan. System pertama bersifat demokratis, sedang system kedua bersifat otokratis. Karena itu system ke Khalifahan seperti pada masa al- Khulafa al-Rasyidun perlu dihidupkan kembali.
Di Arab Saudi juga ada usaha pembaharuan sebelum periode modern yang dipelopori oleh Mohammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Menurut Wahab, penyebab kelemahan umat Islam saat itu ialah tauhid umat Islam yang tidak lagi murni. Kemurnian tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran tarekat. Tarekat menurut Muhammad bin Abdul Wahab, mengajarkan pemujaan kepada syekh dan wali. Umat Islam menunaikan haji dan meminta pertolongan kekuburan-kuburan syekh dan wali itu. Karenanya, semua hal itu harus diberantas. Ia juga menganjurkan ijtihad. Inti pemikirannya adalah al-Quran dan hadislah sumber ajaran Islam, taqlid kepada ulama tidak dibenarkan dan pintu ijtihad tidak tertutup.
Gerakan pembaharuan Islam juga muncul melalui tasawwuf. Gerakan ini disebut neo sufisme, yaitu tasawwuf yang di perbaharui dan tampil dalam bentuk aktifis. Neo sufisme berawal di Afrika Utara melalui tarekat sanusiyah. Sanusiyah adalah cabang Ordo Idrisiyah yang didirikan di Arab Saudi oleh Ahmad Ibnu Idris (w. 1837). Tarekatnya ini dinamakan juga Tariqah Muhammadiyyah.
Tujuan tarekat ini ialah memperbaharui moral kaum muslim melalui tindakan politik. Tarekat ini membangun banyak tempat peribadatan. Yang paling penting diantaranya adalah Di Kafra dan Jaghbub. Disana orang tidak hanya diajari agama, tetapi juga dilatih menggunakan senjata dan didorong untuk melibatkan diri dalam usaha professional seperti bertani dan berdagang.
Tarekat ini tidak bermaksud untuk menghilangkan ide tradisional tentang kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat itu tetap penting. Ide pembaharuan mereka berada dalam batas pembaharuan moral dan kesejahteraan social. Mereka hanya melakukan pergeseran dan penekanan, pergeseran inilah yang menandai fenomena pembaharuan sufisme pada periode pra modern.[2]
D. Pemikiran Islam Modern[3]
1. Mesir
Pemikiran dan pembaharuan Islam di Mesir pada periode modern ditokohi oleh cukup banyak pemikir, antara lain: Muhammad Ali Pasya (1765-1849) yang bermodel reformisme Barat. Dia mempertautkan ekonomi Mesir dengan Eropa. at-Tahtawi (1801-1873) memiliki pandangan bahwa rahasia pertumbuhan Eropa terletak pada pikiran orang-orangnya yang bebas untuk berfikir secara kritis, mengubah kebijakan lama dan menerapkan ilmu dan teknologi modern untuk menyelesaikan masalah.[4] Jamaluddin al-Afgani (1839-1897)yang mencoba menanamkan kembali kepercayaan kepada kekuatan sendiri dengan melepas baju apatis dan putus asa, Muhammad Abduh (1849-1905) yang mengumandangkan panggilan jihad melawan penjajah , dan muridnya Rasyid Ridha (1865-1935) yang membangkitkan ruh jihad dan ijtihad, mengumandangkan kembali kepada Quran dan Sunnah, sebagai satu-satunya jalan untuk keluar dari kelemahan dan kehinaan posisi.[5]
Secara garis besar isi pemikiran mereka diantaranya mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, social, dan ekonomi, memberantas tahayul dan bid’ah yang masuk kedalam ajaran Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dikalangan umat Islam, menghilangkan faham salah yang dibawa oleh tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik Negara Barat.[6]
2. Turki
Pemikiran dan pembaharuan Islam Turki pada periode modern dipimpin oleh banyak tokoh pemikir, antara lain Sultan Mahmud II (1785-1839), tokoh-tokoh Tanzimat (Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa Sami, Mehmed Sadik Rifat Pasya), tokoh-tokoh pemikir Usmani Muda (Ziya Pasya dan Namik Kemal), para pemikir Turki Muda (Ahmad Riza, Pangeran Sabahuddin, Mehmed Murad), tokoh-tokoh aliran Barat-Islam-Nasionalis dan Mustafa Kemal (1881-1938). Isi pembaharuan tokoh-tokoh pemikir Turki diantaranya memisahkan urusan agama dan urusan dunia, pembaharuan dibidang pemerintahan, pendidikan yaitu pendidikan universal, ekonomi dan politik, juga westernisasi, sekularisasi dan nasionalisme terbatas.[7]
3. India-pakistan
Pemikiran modern Islam di India-Pakistan merupakan kelanjutan pemikiran Syah Waliyullah pada abad ke-18. pewaris mughal adalah yang paling dekat dengan bangsa Eropa dalam kaitan dengan hubungan antara struktur administrasi mereka dan yang pada akhirnya menjadi suatu struktur administrasi kolonial. Pendidikan modern, transportasi dan terutama sekali struktur administrasi distrik diciptakan oleh Inggris pada abad ke-19 ketika mereka menjajah India. Selain itu Isi pembaharuan mereka diantaranya menghilangkan taqlid sekalipun pendapat empat imam besar, melawan penjajahan barat, pembaharuan pendidikan yaitu mementingkan ilmu dan teknologi juga menghargai kebebasan akal, tidak memusatkan pada ibadah dan akherat saja, membuka kembali pintu ijtihad, dan emansipasi wanita.[8] Para penerusnya itu ialah tokoh-tokoh pemikir gerakan Mujahidin (Syah Abdul Aziz dan Sayyid Ahmad Syahid), Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) dengan gerakan Aligarhnya yang mewakili kepentingan elit bahasa Urdu dan bangsawan Muslim di India akhir abad ke-19. retorika gerakan ini berfokus pada reformasi pendidikan.[9] Sayyid Amir Ali (1849-1928), Muhammad Iqbal (1876-1938) yang menawarkan formula baru tentang hubungan Islam dan Negara dalam berbagai dimensi.[10] Ali Jinnah (1876-1948), dan Abu Kalam Azzad (1888-1916).. [11]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpilkan, bahwa periode pemikiran pembahruan Islam terbagi menjadi dua, yaitu; periode pra modern dan periode modern. Timbulnya pemikiran pembaharuan lebih disebabkan kekalahan umat Islam dengan Negara Barat, baik militer, ekonomi, pendidikan dan politik. Hal inilah yang membuat para pemikir muslim gerah dan berusaha berfikir dengan menggunakan metode Barat.
Pembagian periode pemikiran pembaharuan Islam yang kita bahas pada makalah ini berbeda dengan pembagian periode menurut Fazlur Rahman. Ia membagi periode pemikiran pembaharuan Islam menjadi empat bagian, yaitu; revivalisme pra-modernis, modernisme klasik, neo-revivalisme dan neo-modernisme.
B. Daftar Rujukan
1.Abdullah, Taufik [et.al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran Dan Peradaban, vol. 4 cet. III (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005)
2.Cooper, John, Ronald L. Nettler, Mohamed Mahmoud. Pemikiran Islam, cet. I (Jakarta; Erlangga, 2002)
3.Saefuddin, A.M [et.al], Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, cet. IV (Bandung; Mizan, 1998)
4.S. Ahmed, Akbar, Rekonstruksi Sejarah Islam: Ditengah Pluralitas Agama Dan Peradaban, cet. II (Yogyakarta; Fajar Pustaka Baru, 2003)
5.Irwandar, Dekonstruksi Pemikiran Islam: Idealitas Nilai dan Realitas Empiris, cet. I (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media Press, 2003)


[1] Taufik Abdullah [et.al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran Dan Peradaban, vol. 4 cet. III (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) hal: 9
[2] Ibid, hal: 395
[3] Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah Islam: Ditengah Pluralitas Agama Dan Peradaban, cet. II (Yogyakarta; Fajar Pustaka Baru, 2003) hal:155
[4] John Cooper, Ronald L. Nettler, Mohamed Mahmo ud. Pemikiran Islam, cet. I (Jakarta; Erlangga, 2002) hal: XV
[5] A.M. Saefuddin [et.al], Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, cet. IV (Bandung; Mizan, 1998) hal: 177
[6]Op. cit. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran Dan Peradaban,  hal: 397-401
[7] Ibid, hal: 402-406
[8] Op.cit. Rekonstruksi Sejarah Islam: Ditengah Pluralitas Agama Dan Peradaban, hal: 154
[9] Op.cit.  Pemikiran Islam, hal: 2
[10] Irwandar, Dekonstruksi Pemikiran Islam: Idealitas Nilai dan Realitas Empiris, cet. I (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media Press, 2003) hal: 146
[11]Op.cit. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran Dan Peradaban, hal: 407-412

http://prilam.wordpress.com/2010/01/27/pembaharuan-dalam-islam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar