Senin, 11 Maret 2013

Islam di Filipina



BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan beberapa sumber sejarah, terlihat bahwa Islam bukanlah agama pertama yang tumbuh pesat, namun Islam  masuk ke lapisan masyarakat yang telah memiliki peradaban, budaya, dan agama sebagaimana terlihat dalam masyarakat Asia Tenggara bahkan Islam dianggap sebagai Islam periferal karena adanya akomodasi antara pranata dalam Islam dengan agama lain dan tidak terlepas oleh pengaruh yang datang di wilayah Asia Tenggara. Apapaun label Islam yang ada di Asia Tenggara bukan berarti Islam di Asia Tenggara tidak memiliki penganut khususnya Filipina. Filipina adalah salah satu negara di Asia Tenggara dengan jumlah penganut Islamnya lebih sedikit dengan jumlah penduduk yang ada. Bagaimana sejarah dan dinamika Islam di Filipina??  
Sehubungan dengan hal diatas, dalam makalah ini kami akan membahas secara singkat lembaran-lembaran sejarah Islam di Filipina.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah singkat Islam di Filipina
Menurut Taufiq Abdullah, kawasan Asia Tenggara terbagi menjadi tiga bagian berdasarkan atas pengaruh yang ada yakni:
·         Indianized Southeast, Asia Tenggara yang dipengaruhi India yang dalam hal ini Hindu dan Budha
·         Sinized South East, Asia Tenggara yang mendapat pengaruh China seperti India
·         Hispainized South East, Wilayah Asia Tenggara yang diSpanyolkan yaitu Filipina.
Ketiga pembagian tersebut seolah meniadakan pengaruh Islam yang begitu besar di asia tenggara khususnya Filipina, walaupun Filipina mendapatkan pengaruh oleh Spanyol akan tetapi pranata kehidupan di Filipina tidak terlepas pengaruh Islam terutama pada masa penjajahan Amerika dan Spanyol. Adapun secara kuntitas, Dr. Hamid mencantumkan bahwa Islam di Filipina merupakan salah satu kelompok minoritas diantara negara-negara yang ada. Dari statistik demografi pada tahun 1977 masyarakat Filipina berjumlah 44.300.000 jiwa. Sedangkan jumlah muslim 2.348.000 jiwa dengan presentase 5,3 % dengan unsur dominan komunitas Mindanao dan mogondinao.  Hal ini tidak terlepas dari latar belakang sejarah Islam di negeri Filipina.
Menurut cendekiawan Muslim Filipina, Ahmed Alonto, berdasarkan bukti-bukti sejarah yang terekam, Islam datang ke Filipina pada tahun 1380. Muslim pertama yang datang adalah Sherif Macdum (Sharif Karim al-Makhdum) yang merupakan seorang ahli fikih. Kedatangannya kemudian diikuti oleh para pedagang Arab dan pendakwah yang bertujuan menyebarkan Islam. Pada mulanya dia tinggal di kota Bwansa, dimana rakyat setempat dengan sukarela membangun masjid untuknya dan banyak yang ikut meramaikan masjid. Secara bertahap beberapa kepala suku setempat menjadi Muslim. Kemudian dia juga mengunjungi beberapa pulau lain. Makamnya dipercaya terdapat di pulau Sibutu.
Selain orang Arab, umat Islam India, Iran dan Melayu datang ke Filipina, menikahi penduduk lokal dan mendirikan pemerintahan di pulau-pulau yang tersebar di kepulauan Filipina. Salah seorang pendiri pemerintahan itu adalah Sherif Abu Bakr, yang berasal dari Hadramaut. yang datang ke kepulauan Sulu melalui Palembang dan Brunei. Dia menikahi putri pangeran Bwansa, Raja Baginda, yang sudah beragama Islam. Ayah mertuanya menunjuknya sebagai pewaris. Setelah menggantikan mertuanya dia menjalankan pemerintahan dengan hukum Islam dengan memerhatikan adat istiadat setempat. Dengan demikian
, dia bisa disebut sebagai pendiri kesultanan Sulu yang bertahan hingga kedatangan Amerika ke Filipina. Kesultanan Sulu mencapai puncak kejayaannya pada abad delapan belas dan awal abad sembilan belas, ketika pengaruhnya membentang hingga Mindanao dan Kalimantan utara. Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada di bawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datuk dan Raja. Dengan berhasilnya penyebaran islam di wilayah Mindanao dan kepulauan Sulu jumlah Islam pun semakin besar, sehingga tidak mudah ditaklukkan oleh bangsa Spanyol.
 Bangsa Spanyol masuk ke wilayah Filipina pada 16 Maret 1521 M. Bangsa Spanyol tidak mudah menaklukkan wilayah selatan seperti halnya wilayah utara, mereka harus bertempur mati-matian, kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu bahkan harus menghabiskan lebih dari 375 tahun untuk menaklukkan wilayah selatan yang kaumnya tak lain kaum muslim. Walaupun demikian, kaum muslim tidak pernah dapat ditundukkan secara total. Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule serta mision-sacre terhadap orang islam. Bahkan orang-orang islam diistigmatisasi sebagai Moro. Sejak saat itu julukan Moro melekat orang-orang islam yang mendiami kawasan Filipina selatan. Pada tahun 1578 M terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri. penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol. Kemudian di adu domba dan disuruh berperang melawan orang-orang islam di selatan, sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan misi suci. Dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang kristen Filipina terhadap bangsa Moro[1]. Sejarah mencatat orang islam pertama yang masuk kristen akibat politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini adalah istri Raja Humabon dari pulau Cebu.  
Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao-Solo, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah tersebut merupakan bagian dan teritorialnya. Secara tidak sah dan bermoral, Spanyol menjual Filipina ke Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 M melalui Traktat Paris . Dengan kedatangan Amerika Serikat di Filipina merupakan babak baru bagi bangsa Filipina khususnya bangsa Moro yang berada di wilayah selatan.  
Masa imperealisme Amerika Serikat
Pada tahun 1896, presiden McKinley dari AS memutuskan untuk menduduki Filipina untuk mengkristenkan. Amerika berhasil menaklukkan jajahan Spanyol pada tahun 1899 namun baru pada tahun 1914 berhasil menklukkan bangsa sulu setelah perjuangan dan gagah berani serta menghapuskan kesultanan Sulu dan menggabungkan bangsa Moro ke dalam Filipina.[2]   Pada tahun 1914-1920 Amerika melancarkan program pengintegrasian bangsa Moro (Muslim) dan pada tahun 1919 pemerintah Filipina mendapat hak legislatif untuk menguasai tanah Moro. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat dipercaya. Dan inilah karakter musuh-musuh Islam sebenarnya pada abad ini. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898 M) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro. Namun traktat tersebut hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo. Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902 M, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903 M) Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah propinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu. Periode berikutnya tercatat pertempuran antara kedua belah pihak. Teofisto Guingona, Sr. mencatat antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali pertempuran. Tahun 1921-1923, terjadi 21 kali pertempuran. Patut dicatat bahwa selama periode 1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro. Namun Amerika memandang peperangan tak cukup efektif meredam perlawanan Bangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan strategi penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan bujukan. Kebijakan ini kemudian disempurnakan oleh orang-orang Amerika sebagai ciri khas penjajahan mereka. Kebijakan pendidikan dan bujukan yang diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang sangat efektif dalam meredam perlawanan Bangsa Moro. Sebagai hasilnya, kohesitas politik dan kesatuan diantara masyarakat Muslim mulai berantakan dan basis budaya mulai diserang oleh norma-norma Barat. Pada dasarnya kebijakan ini lebih disebabkan keinginan Amerika memasukkan kaum Muslimin ke dalam arus utama masyarakat Filipina di Utara dan mengasimilasi kaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen. Seiring dengan berkurangnya kekuasaan politik para Sultan dan berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke Manila, pendekatan ini sedikit demi sedikit mengancam tradisi kemandirian.
Manuel L. Quezon, seorang senator (1936-1944), berusaha memperbanyak jumlah bangsa Filipina non-muslim. Konsep penjajahan AS melalui koloni diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu AS hengkang dari negeri tersebut. Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka sendiri. Hal ini terbukti, pada tahun 1944 terjadi transmigrasi besar-besaran penduduk Filipina Utara ke wilayah Mindanau yang berakibat semakin meningkatnya pertikaian-pertikaian antara Muslim dengan penduduk Filipina. Kebijakan yang telah terjadi dalam rentang waktu yang panjang telah membuat Muslim Filipina harus memperjuangkan kemerdekaannya supaya dapat bebas sebagaimana masyarakat Filipina lainnya. Penderitaan Muslim yang tidak kalah pelak itu semakin diperparah ketika Ferdinand Marcos berkuasa pada tahun 1965 memperlakukan Muslim secara tidak wajar dan melakukan tekanan-tekanan terhadap Muslim. Dari Maret 1968 sampai tahun 1982, lebih dari seratus ribu orang sipil muslim dibunuh oleh tentara Filipina, lebih dari liama puluh desa, kota kecil dan besar telah diratakan oleh tentara Filipina, termasuk ibu kota Muslim, Joko.[3]
B.     Muslim Filipina sebagai Minoritas
Telah disinggung di atas bahwa keminoritasan ummat islam di Filipina akan terjadi akibat goncangan yang ada dari pribumi Filipina yang tidak menginginkan kebebasan bagi kaum muslim. Namun demikian, kaum muslim khususnya di kepulauan Sulu dan Mindanao mampu mempertahankan diri dari serangan Spanyol karena raja yang ada di wilayah selatan mendapatkan dukungan dari rakyatnya atau dalam konsep Milner disebut politic centity (masyarakat politik). Dalam konsep Milner, raja adalah tumpuan utama kesetiaan rakyat, bukan ras. Dengan demikian, raja menduduki tempat sentral dalam kehidupan warganya. Di luar raja dan kerajaan , tidak ada sesuatu pun. (Milner, 1981:49)[4]
Filipina merdeka tahun 1946. Tapi nasib bangsa Moro tidak pernah berubah sampai sekarang. Filipina menjelma menjadi penjajah yang lainnya, bahkan sama kejamnya. Dalam masa kemerdekaan Filipina, muslim Moro sadar bahwa perjuangannya harus bersatu, tidak boleh bercerai-berai. Kemudian dibentuklah MIM (Muslim Independent Movement), Anshar-el-Islam, MNLF (Moro National Liberation Front), MILF (Moro Islamic Liberation front), MNLF-Reformis, BMIF.
Pada awalnya umat Islam Filipina memilih jalan damai untuk merebut kedaulatan. Setelah terbukti bahwa perjuangan konstitusional untuk merebut kemerdekaan tidak dapat dilakukan, mereka membentuk MNLF (Moro National Liberation Front) untuk mengorganisasi perjuangan bersenjata. Tujuan berdirinya MNLF pada mulanya ialah untuk membentuk negara sendiri. Namun kemudian hal ini berubah ketika pemerintah Filipina memulai negosiasi dengan MNLF pada 1975 dan setahun kemudian tercapai kata sepakat tentang kerangka penyelesaian masalah di Filipina. Persetujuan ini dikenal dengan Kesepakatan Tripoli yang ditandatangani pada 23 Desember 1976 antara MNLF dan pemerintahan Filipina. Kesepakatan ini mengikat MNLF untuk menerima otonomi sebagai status bagi wilayah Filipina selatan. Penerimaan MNLF terhadap Kesepakatan Tripoli memicu perpecahan di kalangan internal MNLF, yang berakibat pada munculnya faksi baru yang bernama MILF. Kesepakatan Tripoli berisi pembentukan pemerintahan otonomi di Filipina selatan yang mencakup tiga belas propinsi, yaitu Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga del Sur, Zamboanga del Norte, Cotabato utara, Manguindanao, Sultan Kudarat, Lanao Norte, Lanao Sur, Davao Sur, Cotabato selatan, dan Palawan.[5] Otonomi penuh diberikan pada bidang pendidikan dan pengadilan, sementara bidang pertahanan dan politik luar negeri tetap menjadi wewenang pemerintahan pusat di Manila. Kesepakatan damai yang ditanda tangani di Tripoli ternyata dikhianati oleh Ferdinand Marcos, dengan mengadakan referendum di tiga belas propinsi yang tercantum dalam Kesepakatan Tripoli untuk mengetahui penduduk ketiga belas propinsi yang akan diberi otonomi khusus. Referendum yang dilakukan Marcos ini sebenarnya adalah cara yang dia gunakan untuk membatalkan Kesepakatan Tripoli secara halus. Dengan program perpindahan penduduk yang digalakkan pemerintah pusat untuk mendorong rakyat bagian utara yang mayoritas Katolik, kawasan selatan yang semula lebih banyak penduduk Muslim menjadi didominasi warga Katolik/Kristen. Kondisi ini memastikan hasil yang diharapkan Marcos, yaitu menolak otonomi.
Disamping perjuangan bersenjata melalui organisasi seperti MNLF, masyarakat sipil juga melakukan pendekatan damai dan demokratis dibawah pengawasan PBB, melalui Bangsa Moro People’s Consultative Assembly yang melakukan pertemuan pada tahun 1996 dan 2001. Pertemuan pertama, yang menurut laporan dihadiri lebih dari satu juta orang, menghasilkan pernyataan untuk mendirikan kembali negara dan pemerintahan Bangsa Moro. Hal ini semakin nyata dalam pernyataan bersama yang dideklarasikan oleh ratusan ribu Bangsa Moro yang ikut serta dalam Rapat Umum untuk Perdamaian dan Keadilan in Cotabato City dan Davao City pada 23 Oktober 1999, di Marawi City pada 24 Oktober 1999, dan di Basilan pada 7 Desember 1999. Dalam serangkaian rapat umum mereka mengeluarkan pernyataan sikap terhadap pemerintah Filipina: ”…kami percaya bahwa satu-satunya solusi berguna dan abadi bagi hubungan yang tidak sehat dengan pemerintah Filipina adalah pengembalian kebebasan kami yang secara ilegal dan imoral telah dicuri dari kami, dan kami diberi kesempatan untuk mendirikan pemerintahan sesuai dengan nilai-nilai sosial, relijius dan budaya kami”. Sikap ini dipertegas dalam pertemuan kedua, yang dilaksanakan pada tahun 2001 dan dihadiri sekitar dua setengah juta orang, yang menyatakan ”Satu-satunya solusi yang adil, bermakna dan permanen untuk persoalan Mindanao adalah kemerdekaan rakyat dan wilayah Bangsa Moro sepenuhnya”.
Hubungan problematis antara Bangsa Moro dan pemerintah pusat di Manila, yang dalam banyak kasus berarti konfrontasi kekerasan, harus dipahami dalam konteks keinginan untuk merdeka. Masyarakat Bangsa Moro meyakini bahwa jaminan terbaik untuk keamanan mereka dan satu-satunya kesempatan untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang mereka yakini adalah ketika mereka memiliki kekuasaan untuk mengatur nasib sendiri, yang menjadi inti permasalahan dalam konflik berkepanjangan yang terjadi.
C.      Perkembanagan ekonomi, sosial dan budaya
Masyarakat muslim terkonsentrasi di wilayah otonom Filipina Selatan. Mereka ada di kepulauan Mindanao, daerah ujung selatan Palawan, dan gugusan kepulauan Sulu. Secara etnis dan bahasa mereka setidaknya terdiri dari tiga belas kelompok bahasa. Mereka berkedudukan di 13 propinsi yang berada di empat wilayah perundang-undangan yang berbeda.
Dari segi etnis, tiga suku diantaranya yakni, suku maranao, tausug dan Manguindanao merupakan kelompok etnis muslim terbesar di kawasan ini memiliki penduduk muslim sekitar 75 % dari jumlah total penduduk muslim di Filipina.
Dilihat dari jenis, setidaknya sampai 1970-an, masyarakat muslim Filipina tidak banyak yang berbeda dari warga lainnya. Mayoritas dari mereka menekuni bidang pertanian, perikanan, dan ekonomi yang berbasis pada hutan. Kaum muslim Manguindanau banyak yang bertani sawah, sedangkan masyarakat maranau dikenal sebagai pengrajin kuningan dan tenunan, selain bertanam padi dan jagung di pegunungan. Sebagian mereka juga dikenal sebagai pedagang yang terkenal sampai ke pelosok-pelosok Filipina.
Orang Tausug yang tinggal di pesisir umumnya bekerja sebagai nelayan, hampir sama dengan sebagian masyarakat Iranun, kalagan, dan Samal pesisir.fenomena yang agak berbeda terdapat pada orang-orang tagalog Islam yang karena mengalami proses urbanisasi besar-besaran, telah beralih menjadi pekerja profesional baik di kantor maupun pabrik di daerah perkotaan.

 


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas, kami dapat menggaris bawahi bahwa:
secara umum kelompok minoritas dapat digolongkan menjadi tiga kategori besar.
·         Pertama adalah komunitas migran, sebagaimana banyak ditemukan di negara-negara Barat saat ini.
·         Kedua adalah penduduk setempat yang menjadi minoritas di tempat tinggalnya, seperti yang terjadi di suku Aborigin di Australia dan Indian di Amerika.
·         Kategori ketiga adalah mereka yang dipaksa bergabung ke dalam negara-bangsa baru, seperti yang terjadi pada umat Islam di Filipina selatan, yang dipaksa bergabung dengan pemerintahan pusat di Manila usai penjajahan Amerika Serikat.
Menurut C. A. Majul dalam bukunya Muslims in the Philippine membagi Islamisasi awal di Sulu ke dalam beberapa tahap.
Tahap pertama terjadi pada seperempat terakhir abad ketiga belas atau lebih awal ketika para pedagang asing mendiami kawasan ini. Beberapa pedagang ini menikahi keluarga setempat yang berpengaruh. Pada tahap ini elemen-elemen Islam awal diintegrasikan ke dalam masyarakat setempat dan secara bertahap terjadi pembentukan keluarga Muslim. Tahap kedua, yang diperkirakan terjadi pada paruh kedua abad keempat belas, adalah kelanjutan dari pendirian kumpulan keluarga Muslim yang secara bertahap melakukan dakwah terhadap masyarakat setempat. Peristiwa ini bersamaan dengan proses dakwah Islam di Jawa. Pada tahap ini para pendakwah dikenal dengan sebutan makhdumin. Tahap ketiga adalah kedatangan Muslim Melayu dari Sumatra pada permulaan abad kelima belas.


DAFTAR PUSTAKA
Azra azyumardi, Dr., Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet.III, 2006.
Majul, Cesar adib, Muslims in the Philippine, Jakarta: LP3ES, 1989
Kettani, Ali M., minoritas muslim di dunia dewasa ini, Jakarta: RajaGrafimdo Persada, 2005.

www.google.com, BangsaMoro, Minoritas Muslim Filipina, Februari 7, 2009.

www.google.com. Islam di Mindanao, Minoritas di Negeri sendiri, 20 January 2010.

















[1]  Bangsa Moro adalah bangsa filipina yang berada disebelah selatan, sedangkan istilah moro merupakan julukan kepada orang islam yang tinggal di wilayah selatan. Moro artinya, orang yang butah huruf , jahat, tidak bertuhan, dan huramentados (tukang bunuh).
[2] M. Ali Kettani,Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini,  (Jakarta: PT RajaGravindo Persada, 2005), hlm. 196.
[3] Ibid,.I hlm. 197.         
[4] Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A., Renaisan Islam  Asia Tenggara, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 90.
[5] Cesar A. Majul,  Muslim in the Philippie, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 141.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar