Minggu, 10 Maret 2013

Pranata Sosial di India



BAB I
PENDAHULUAN
Sebuah negara atau kerajaan tidak akan terlepas dari apa yang dinamakan dengan pranata sosial. Dimana hal tersebut mengulas tentang keadaan sosial ekonomi pada masa pemerintahan kerajaan tersebut. Hal itu mempengaruhi sistem ekonomi dalam pemerintahan. Pranata sosial dalam suatu pemerintahan juga dapat menjadi tolok ukur seberapa suksesnya dalam pemerintahan tersebut. Struktur masyarakat Mughal yang pluralistik memungkinkan berkembangnya berbagai alternatif identitas Muslim yang diwujudkan dalam term kesukuan, kasta, pekerjaan, atau etnis.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Politik
1.      Hubungan dengan Khalifah
Khalifah adalah pewaris Nabi saw., pemimpin masyarakat, panglima perang, pelindung, dan pelayan umat Islam. Ia memiliki dua kekuasaan, politis dan spiritual, namun tidak membuat undang-undang baru. Khalifah adalah kekuasaan politik yang selain memiliki daerah kekuasaan sendiri juga mempunyai kekuasaan spiritual di negara-negara Islam di seluruh dunia yang jauh dari pusat dan tidak mungkin dapat dipimpin langsung oleh khalifah.[1] Pada periode ini tidak terdapat/dikenal hukum yang mengatur pergantian kepemimpinan. Sering seorang sultan ditentukan dengan pemilihan, tetapi kadang-kadang sultan yang sedang berkuasa menentukan sendiri calon penggantinya. Meskipun prioritasnya adalah tingkat usia, tetapi tingkat efisiensi dan pilihan sultan yang meninggal mendapatkan perhatian penting. Pemilihan seorang sultan tergantung pada para bangsawan.[2]
Meskipun sultan adalah penegak hukum yang utama, namun ia tidak dapat melawan hukum yang sudah berjalan. Ia hanya bebas membuat keputusan sendiri ketika terjadi ketidaksetujuan dikalangan para hakim. Ia memiliki kekuasaan untuk membuat semua peraturan sipil dan politik untuk kepentingan umum, tetapi tidak dapat menentang hukum syariat dalam pengesahannya. Supremasi hukum syariat inilah yang banyak membuat salah pengertian bahwa negara muslim India berbentuk teokrasi, yang sebenarnya adalah tidak demikian.
Sultan yang tidak mendapatkan pengakuan dari khalifah dianggap tidak sah (legitimate). Seperti telah diterangkan sebelumnya, Muhammad bin Qasim adalah utusan Hajjaj untuk menaklukan Sind, Hajjaj adalah gubernur jendral yangberkuasa di wilayah timur ( al-Masyriq) yang bertanggung jawab kepada khalifah al-Wali I. Sultan Mahmud, bergelar Yamid al-Daulah (Tangan Kanan Kerajaan) dan Amin al-Millah (Orang Kepercayaan Agama), dan para penggantinya adalah wakil khalifah yang resmi. Sultan Muhammad Ghuri mendapat gelar Nashiru Amirul Mukminin sebagai pengakuan dari khalifah. Mahmud membukakan pintu bagi masuknya kekuasaan Islam di India dan Ghurilah yang pertama menguasai India (sampai berdirinya kesultanan Delhi).[3]
Penguasa India harus terikat pada dukungan aktif para bangsawan (noble). Ia juga harus mempertahankan kerjasama dengan para ulama dan ahli hukum mengingat pengaruh mereka yang kuat bagi masyarakat musim. Para petani Hindu, kepala desa, zamindar (tuan tanah), dan bupati (kepala distrik) tidak dapat diabaikan. Disamping itu masih banyak pegawai diberbagai bidang administrasi yang kerjasama dan dukungan mereka dalam pelayanan negara sangat penting. Tidak ada penguasa yang berhasil tanpa mendapatkan dukungan elemen-elemen ini. Progam Alauddin Khalji berhasil tanpa mengalami banyak kesulitan karena ia memiliki perangkat teknis yang sangat baik yang bekerjasama secara efisien dengan dirinya. Muhammad ibn Tughluq tidak berhasil, karena tidak mendapatkan kerjasama dari para pegawai dan peraturan-peraturannya telah mengakibatkan ketidakpuasan secara luas diseluruh kerajaan.[4]
Sultan memiliki dewan (council) penasihat sebagai tempat ia meminta pertimbangan atas maslah-masalah penting yang berkaitan dengan negara. Tetapi saran dari dewan tidak mengikatnya. Ia boleh menerima ataupun menolaknya.
2.      Pemerintahan Pusat
Pegawai tertinggi di pemerintahan pusat adalah wazir dan departemennya disebut Diwan-e-Wazirat yang terorganisasi dengan sangat baik semasa pemerintahan kesultanan Delhi. Kantor keuangan pusat berada dalam kewenangan langhsung wazir, selain itu dia juga bertanggung jawab terhadap kantor-kantor lain di markas besar. Wazir memiliki seorang asisten yang disebut Naib-e-Wazir. Dia memiliki dua pegawai penting lain yang disebut Mushrif-e-Mumalik (Akuntan Publik) dan Mustaufi-e-Mumalik (Auditor Publik). Keduanya menempati tingkatan kementrian dan memiliki hubungan langsung dengan Sultan. Beberapa departemen lain yang penting antara lain Diwan-e-Risalat, Diwan-e-Arz, dan Diwan-e-Insha. Diwan-e-Risalat berurusan dengan masalah keagamaan, lembaga amal, gaji untuk penerima beasiswa dan orang-orang mulia. Diwan-e-Arz berurusan dengan kemiliteran. Diwan-e-Insha berurusan dengan hubungan kebangsawanan.[5] Di samping ini terdapat departemen-departemen lain. Masing-masing memiliki tempat sendiri yang terdiri dari sekretaris yang dibantu beberapa juru tulis dan pegawai dibawahnya.[6]
Pengadilan/Kehakiman biasanya diatur oleh kepala qazi (qaziul quzat) yang membantu Mufti menjelaskan hukum. Semua kota-kota penting memiliki seorang qazi untuk mengatur kehakiman. Hanya untuk orang-orang Hindu mereka diputuskan oleh panchayat (lembaga yang dikepalai oleh seorang berwibawa, serius dan memiliki dedikasi yang kuat di masyarakat atau semacam badan penasehat desa). Kotwal adalah pemelihara keamanan dan ketertiban. Kantor urusan yang lain disebut Muhtasib untuk mengawasi perilaku masyarakat, untuk mengendalikan pasar dan untuk mengatur timbangan dan ukuran. Sultan tetap terhubung dengan semua aktivitas masyarakatnya melalui mata-mata. Hukuman sangat keras diberikan kepada kasusu-kasus kriminal. Sumber pendapatan terutama berasal dari pajak, bahan tambang, kegiatan dagang dan harta warisan. Di samping itu ada beberapa pajak lain seperti pajak rumah, pajak taman, pajak air, dan lain-lain. Pajak dibayar baik dengan uang atau barang.
Kesejahteraan, keamanan, merupakan tanggung jawab pemerintah dalam hal penetapan jizyah. Ibn Qasim membagi struktur wajib jizyah dengan tiga kategori, pertama kelompok masyarakat kaya dan memiliki kewajiban jizyah sebanyak 48 dirham. Kedua, kelompok masyarakat menengah membayar 24 dirham. Ketiga, kelompok masyarakat kurang mampu membayar jizyah sebanyak 12 dirham, sedangkan bagi mereka yang ikut perang atau masuk Islam, dibebaskan dari kewajiban membayar jizyah, hal ini sangat berbeda dengan kebijaksanaan Dinasti Umayah terhadap mawali, bahkan orang Berber di Afrika dikenakan jizyah atas bayi yang lahir.[7]
3.      Pemerintahan Daerah
Kerajaan dibagi dalam sejumlah propinsi, masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur atau wali. Menurut Ziauddin Barani, ada 12 propinsi pada permulaan pemerintahan Muhammad ibn Tughluq. Tetapi kemudian sultan menambah jumlah propinsi untuk pengaturan yang lebih baik. Karenanya jumlah propinsi beragam antara 20 sampai 25. Gubernur bertugas mengatur administrasi sipil dan militer di propinsinya. Ia membangun milisi lokal dan harus memberikan bantuan militer kepada sultan apabila diperlukan. Kantor gubernur tidak dipimpin secara turun temurun. Penunjukkan, penggantian dan perpindahan tergantung pada keinginan sultan. Ia dibayar dari penghasilan propinsi dan setelah membayar semua keperluan administrasi sisanya masuk ke kas negara.[8]
Pada hari-hari yang sulit, Sultan harus mendapatkan kesatuan tentara yang besar yang terdiri dari tiga bagian, kavaleri, infanteri, dan pasukan gajah. Para gubernur propinsi yang bersikap ambisius, pemberontakan, dan bentuk komunikasi yang sangat sulit dan dalam keadaan negara kacau, satu-satunya alat untuk mengawasi gerak-gerik para gubernur propinsi dan memeriksa keinginan mereka yang dianggap membahayakan negara adalah barisan tentara yang berdisiplin tinggi.[9]
B.     Ekonomi
Jauh sebelum Islam datang, India sudah dikenal oleh para pedagang sebagai tempat persinggahan. Mereka membawa barang dagangan dari India berupa hasil bumi, hasil industri tekstil seperti pakaian tenun, kain wol dan kain sutera, hasil industri pewarna dan tinta, industri gula, tembaga, batu dan batu bara, dan industri kertas. Impor utama berbentuk barang mewah seperti kuda untuk orang-orang kaya dan ekspor utama berupa berbagai hasil pertanian dan industri tekstil. Harga barang-barang sangat murah dalam kondisi damai, tetapi dalam kondisi kacau naik secara tidak normal. Secara keseluruhan harga barang-barang dan berbagai keperluan lain murah pada periode ini. Tetapi standar hidup orang biasa tidak tinggi, sementara para pejabat dan pegawai hidup dalam kemewahan dan kemakmuran. Tekanan ekonomi datang pada akhir abad ke-14. Invansi Timur membahayakan kehidupan negara dan mengguncang fondasi kemasyarakatan.[10]
C.    Sosial
Islam mengajarkan dunia tentang persaudaraan universal. Dalam Islam, seorang budak pada hari ini dapat menjadi raja kemudian hari dengan syarat ia memiliki kemampuan yang diperlukan. Selama kesultanan Ghazni dan Ghuri tidak terdapat perbedaan dalam pengangkatan pegawai.
Kaum bangsawan muslim selama kesultanan Ghazni dan Ghuri menempati tempat terkemuka dalam masyarakat. Mereka memiliki banyak pengaruh terhadap aktivitas Sultan. Bangsawan memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan persoalan suksesi. Para bangsawan biasanya dikelompokkan dalam Khan, Malik, dan Amir. Tetapi bangsawan pada abad ke-13 M tidak bertindak sebagai suatu kesatuan homogen dan terorganisir dengan baik sebagaimana bangsawan Perancis dan Inggris. Para bangsawan berasal dari beragam bangsa seperti Turki, Arab, Afghanistan, Abisinia, Mesir, Jawa, dan India. Sebagian besar kaum bangsawan ini memulai karirnya sebagai budak.
Ulama memiliki kehormatan yang tinggi dan mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat. Para sufi juga memainkan peranan penting dalam sejarah sosial periode kesultanan. Di samping ulama dan syeikh, para sayyid dihormati oleh semua golongan masyarakat.[11] Sultan mendapatkan banyak budak. Beberapa budak naik ke posisi tertinggi berkat jasa dan kemampuannya. Pada awalnya para budak berguna bagi negara, tetapi kemudian mereka menjadi ancaman bagi kelangsungan negara dan bahkan mengakibatkan kejatuhan.
1.      Kondisi Umat Hindu
Masyarakat Hindu terbagi dalam beberapa kelompok terpisah. Sistem kasta menjadi semakin kaku dan tirani para Brahmana terhadap Sudra dan masyarakat tak mampu semakin tidak ditolerir. Dalam keadaan tersebut cahaya Islam muncul di ufuk India. Semangat kesamaan, toleransi, dan keadilan sosial menarik hati sejumlah besar masyarakat Hindu yang tertindas untuk memasuki Islam.
Pada masa Ibn Qashim, penyeleksian masuk dinas militer yang sebelumnya berdasarkan kasta-kasta, pola ini tidak diberlakukan lagi oleh Ibn Qashim, siapa saja yang mampu diperkenankan untuk masuk dinas militer. Dalam hubungan toleransi beragama, Ibn Qashim melarang pemotongan hewan sapi pada hari Raya Id al-Qurban bagi orang Islam, karena mayoritas penduduk adalah non muslim.[12]
Berdasarkan catatan-catatan dan bukti-bukti terlihat bahwa umat Hindu tidak hanya diperlakukan secara adil tetapi juga secara royal. Status mereka termasuk golongan yang harus diperhatikan dan dilindungi meskipun beberapa candi hancur ketika terjadinya penyerangan militer dan beberapa tekanan terhadap Hindu agar mereka tunduk dan patuh. Mereka diberikan kebebasan penuh dalam memilih agama dan merayakan upacara-upacara keagamaan selama masa kesultanan Delhi. Banyak orang Hindu yang mendapatkan pekerjaan yang baik seperti di kantor gubernur atau dalam militer.[13]
Kebanyakan Sultan senang melaksanakan acara-acara dan perayaan-perayaan agamanya, tetapi tidak pernah memaksakan agama pada orang lain. Administrasi lokal sepenuhnya berada di tangan orang Hindu. Beban pajak terhadap orang-orang Hindu jauh lebih ringan dibandingkan pada masa diperintah oleh penguasa Hindu. Orang-orang Hindu mendapatkan bagian yang besar dalam perdagangan, niaga, dan pertanian. Kredit dan perbankan berada dalam tangan mereka. Dalam segi budaya, semangat toleransi yang sama ditunjukkan terhadap orang-orang Hindu. Seni-bangunan, bahasa-kepustakaan, musik-lukisan, dan tradisi-filsafat, orang-orang Hindu dibolehkan berkembang berdampingan dengan muslim.
2.      Posisi Wanita
Ketergantungan wanita kepada suaminya merupakan ciri khusus dalam kehidupan sosial di antara umat Hindu dan muslim di India. Mereka menikmati posisi terhormat dalam masyarakat. Adat istiadat wanita beragam menurut kelasnya masing-masing. Beberapa wanita kelas atas menunjukkan perhatian mendalam terhadap seni dan ilmu pengetahuan. Wanita desa biasa terserap dalam tugas-tugas rumah tangga mereka. Sistem Purda telah biasa baik di kalangan Hindu maupun muslim kecuali di beberapa kota pesisir pantai. Pernikahan dini dan praktek Sati sedang digemari di kalangan Hindu. Islam pertama kali meninggikan martabat wanita. Adat Sati Daho, istri ikut membakar diri bersama jasad suaminya, sedikit demi sedikit dikurangi dan akhirnya hilang.[14] Islamlah yang pertama kali meninggikan martabat wanita.
3.      Gerakan Bhakti
Pelopor Gerakan Bhakti di India adalah Shankaracharya (788-820 M). Gerakan ini dikembangkan oleh Ramanand, tokoh terbesar dalam gerakan Bhakti, ajaran yang dibawanya terdiri atas 80% dari Islam, sisanya dari intisari Hindu dan Budha. Gerakan Bhakti antara lain menghilangkan sistem kasta dan mengambil ajaran Islam dengan diubah menjadi:
Hal menjadi Dasha (sebuah nama dari ibadah agama Hindu).
Dzikir menjadi Krishna (bertasbih menyebut nama Tuhan Krishna).
Shama menjadi Kirton.
Salah satu tokoh gerakan ini yaitu Guru Nanak, ia banyak belajar kepada ulama-ulama Islam dan guru-guru agama Hindu. Sebagaimana seperti yang disebutkan oleh Dr. Tara Chand, Influence of Islam on Indian Culture, bahwa “ Guru Nanak mengembara sebagaimana orang-orang sufi (Islam) mengunjungi pusat-pusat khankah (pondok-pondok sufi) di India, Persia, Arab, dan belajar kepada alim ulama. Karya Nanak membuktikan bahwa pengaruh Islamlah yang dominan dalam dirinya daripada Hindu”. Pokok ajaran Bhakti adalah “melatih kebaktian dan kecintaan yang abadi”. Ajaran ini berkembang pesat pada masa Akbar Agung (1556-1605 M) dan sisa ajarannya sekarang dikenal dengan ajaran Shikh.[15]  

D.    Asimilasi Budaya
1.      Ilmu Pengetahuan
Dalam bidang ilmu pengetahuan, hubungan Islam dengan India terjalin dengan baik dan terjadi pertukaran budaya antara keduanya. Banyak buku India yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada abad ke-8 M. Pada saat itu para ilmuwan Arab dikirim ke India untuk mempelajari ilmu-ilmu yang ada di India. Di lain pihak ilmuwan-ilmuwan India diundang ke Baghdad supaya para ilmuwan Arab mengenal ilmu-ilmu yang ada di India. Investasi India dalam angka-angka terhadap dunia Arab dikenal oleh Barat sebagai angka Arab (Arabic numerals). Penggunaan angka nol dikenal Arab setelah invansi Bin Qasim.
Banyak buku-buku kedokteran India yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, bahkan buku yang paling populer di kalangan Arab sekarang adalah Shashruta Dn Carak, di samping itu juga buku kehewanan juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Serta buku tentang etika, magic, kimia, dan ilmu politik banyak diterjemahkan dari India ke dalam bahasa Arab. Ilmu musik juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dari India. Menurut al-Biruni sebab utama masyarakat Hindu India memusuhi Islam karena berulang kali invansi ke India merampas kekayaan mereka penyebab permusuhan orang-orang Hindu dengan orang-orang Islam.[16]
2.      Seni dan Bangunan
Bangunan-bangunan yang didirikan oleh sultan antara lain istana kerajaan, benteng, masjid, tugu orng-orang besar, perlindungan bagi orang-orang miskin. Dalam rancangan bangunannya, merupakan campuran gaya Siria, Bizantium, Mesir, dan Iran, sedangkan detilnya Hindu,Jaina atau Budha. Kontak antara Islam dan Hindu menghasilkan evolusi gaya yang kadang-kadang disebut Indo-Muslim. Arsitektur Indo-Muslim adalah arsitektur Muslim yang menampilkan detil sifat-sifat tertentu dari seni bangunan Hindu. Semakin banyak ahli muslim memasuki India, pengaruh Hindu semakin berkurang sedikit demi sedikit.
3.      Bahasa
Pada zaman Dinasti Ghaznawi dan Ghuri, para sultan berbahasa Turki di Istana, sedangkan di kantor berbahasa Persi. Para tentara, ketika berbelanja ke pasar mengalami kesulitan (masyarakat memakai bahasa Prakit dan Sansekerta) akhirnya lahir bahasa baru yaitu Urdu sedangkan pengaruh Islam dalam bahasa Sansekerta melahirkan bahasa Bangla.[17] Bahasa Urdu berkembang pesat pada masa Inggris sampai sekarang mayoritas masyarakat India menggunakan Urdu, di Pakistan sebagai bahasa resmi. Sedangkan bahasa Bangla sebagai bahasa resmi kesultanan Bangla (Benggal). Sampai sekarang bahasa ini menjadi bahasa resmi Bangladesh.









BAB III
PENUTUP
Demikianlah pembahasan tentang pranata sosial di India. Dimana pranata tersebut terdiri dari politik, ekonomi, sosial, dan asimilasi budaya. Politik meliputi tentang  hubungan dengan khalifah, pemerintahan pusat dan pemmerintahan daerah. Yang kedua dalam bidang ekonomi berupa hasil bumi, hasil industri tekstil seperti pakaian tenun, kain wol dan kain sutera, hasil industri pewarna dan tinta, industri gula, tembaga, batu dan batu bara, dan industri kertas. Sedangkan di bidang sosial, Islam mengajarkan persaudaraan universal dalam kehidupan tidak membedakan status sosial masyarakat. Serta yang terakhir adalah asimilasi budaya, dimana disini terjadi kemajuan dalam ilmu pengetahuan, seni bangunan dan bahasa.




DAFTAR PUSTAKA
Karim, M. Abdul. Sejarah Islam di India. Yogyakarta: Bunga Grafis Production, 2003.
                            . Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publusher, 2007.
Maryam, Siti dkk. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: LESFI, 2005.


[1] M. Abdul Karim, Sejarah Islam di India (Yogyakarta: Bunga Grafis Production, 2003), hlm. 48.
[2] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: LESFI,2005), hlm. 174.
[3] Karim, Sejarah, hlm. 48-49.
[4] Maryam, Sejarah, hlm. 174.
[5] Ibid., hlm. 174-175.
[6] Karim, Sejarah, hlm. 51.
[7] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publusher, 2007), hlm. 274-275.
[8] Maryam, Sejarah, hlm. 175.
[9] Karim, Sejarah, hlm. 52.
[10] Maryam, Sejarah, hlm. 177-178.
[11] Karim, Sejarah, hlm. 54.
[12] Karim, Sejarah Pemikiran, hlm. 275.
[13] Maryam, Sejarah, hlm. 177.
[14] Karim, Sejarah, hlm. 55-56.
[15] Ibid., hlm. 57.
[16] Ibid., hlm. 60.
[17] Ibid., hlm. 60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar