BAB I
PENDAHULUAN
Sebuah
negara atau kerajaan tidak akan terlepas dari apa yang dinamakan dengan pranata
sosial. Dimana hal tersebut mengulas tentang keadaan sosial ekonomi pada masa
pemerintahan kerajaan tersebut. Hal itu mempengaruhi sistem ekonomi dalam
pemerintahan. Pranata sosial dalam suatu pemerintahan juga dapat menjadi tolok
ukur seberapa suksesnya dalam pemerintahan tersebut. Struktur masyarakat Mughal
yang pluralistik memungkinkan berkembangnya berbagai alternatif identitas
Muslim yang diwujudkan dalam term kesukuan, kasta, pekerjaan, atau etnis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Politik
1.
Hubungan
dengan Khalifah
Khalifah
adalah pewaris Nabi saw., pemimpin masyarakat, panglima perang, pelindung, dan
pelayan umat Islam. Ia memiliki dua kekuasaan, politis dan spiritual, namun
tidak membuat undang-undang baru. Khalifah adalah kekuasaan politik yang selain
memiliki daerah kekuasaan sendiri juga mempunyai kekuasaan spiritual di
negara-negara Islam di seluruh dunia yang jauh dari pusat dan tidak mungkin
dapat dipimpin langsung oleh khalifah.[1] Pada
periode ini tidak terdapat/dikenal hukum yang mengatur pergantian kepemimpinan.
Sering seorang sultan ditentukan dengan pemilihan, tetapi kadang-kadang sultan
yang sedang berkuasa menentukan sendiri calon penggantinya. Meskipun
prioritasnya adalah tingkat usia, tetapi tingkat efisiensi dan pilihan sultan
yang meninggal mendapatkan perhatian penting. Pemilihan seorang sultan
tergantung pada para bangsawan.[2]
Meskipun
sultan adalah penegak hukum yang utama, namun ia tidak dapat melawan hukum yang
sudah berjalan. Ia hanya bebas membuat keputusan sendiri ketika terjadi
ketidaksetujuan dikalangan para hakim. Ia memiliki kekuasaan untuk membuat
semua peraturan sipil dan politik untuk kepentingan umum, tetapi tidak dapat
menentang hukum syariat dalam pengesahannya. Supremasi hukum syariat inilah
yang banyak membuat salah pengertian bahwa negara muslim India berbentuk
teokrasi, yang sebenarnya adalah tidak demikian.
Sultan
yang tidak mendapatkan pengakuan dari khalifah dianggap tidak sah (legitimate). Seperti telah diterangkan
sebelumnya, Muhammad bin Qasim adalah utusan Hajjaj untuk menaklukan Sind,
Hajjaj adalah gubernur jendral yangberkuasa di wilayah timur ( al-Masyriq) yang bertanggung jawab
kepada khalifah al-Wali I. Sultan Mahmud, bergelar Yamid al-Daulah (Tangan Kanan Kerajaan) dan Amin al-Millah (Orang Kepercayaan Agama), dan para penggantinya
adalah wakil khalifah yang resmi. Sultan Muhammad Ghuri mendapat gelar Nashiru Amirul Mukminin sebagai
pengakuan dari khalifah. Mahmud membukakan pintu bagi masuknya kekuasaan Islam
di India dan Ghurilah yang pertama menguasai India (sampai berdirinya
kesultanan Delhi).[3]
Penguasa
India harus terikat pada dukungan aktif para bangsawan (noble). Ia juga harus
mempertahankan kerjasama dengan para ulama dan ahli hukum mengingat pengaruh
mereka yang kuat bagi masyarakat musim. Para petani Hindu, kepala desa, zamindar (tuan tanah), dan bupati
(kepala distrik) tidak dapat diabaikan. Disamping itu masih banyak pegawai
diberbagai bidang administrasi yang kerjasama dan dukungan mereka dalam
pelayanan negara sangat penting. Tidak ada penguasa yang berhasil tanpa
mendapatkan dukungan elemen-elemen ini. Progam Alauddin Khalji berhasil tanpa
mengalami banyak kesulitan karena ia memiliki perangkat teknis yang sangat baik
yang bekerjasama secara efisien dengan dirinya. Muhammad ibn Tughluq tidak
berhasil, karena tidak mendapatkan kerjasama dari para pegawai dan
peraturan-peraturannya telah mengakibatkan ketidakpuasan secara luas diseluruh
kerajaan.[4]
Sultan
memiliki dewan (council) penasihat sebagai tempat ia meminta pertimbangan atas
maslah-masalah penting yang berkaitan dengan negara. Tetapi saran dari dewan
tidak mengikatnya. Ia boleh menerima ataupun menolaknya.
2.
Pemerintahan
Pusat
Pegawai
tertinggi di pemerintahan pusat adalah wazir
dan departemennya disebut Diwan-e-Wazirat
yang terorganisasi dengan sangat baik semasa pemerintahan kesultanan Delhi.
Kantor keuangan pusat berada dalam kewenangan langhsung wazir, selain itu dia juga bertanggung jawab terhadap kantor-kantor
lain di markas besar. Wazir memiliki
seorang asisten yang disebut Naib-e-Wazir.
Dia memiliki dua pegawai penting lain yang disebut Mushrif-e-Mumalik (Akuntan Publik) dan Mustaufi-e-Mumalik (Auditor Publik). Keduanya menempati tingkatan
kementrian dan memiliki hubungan langsung dengan Sultan. Beberapa departemen
lain yang penting antara lain Diwan-e-Risalat,
Diwan-e-Arz, dan Diwan-e-Insha. Diwan-e-Risalat berurusan dengan masalah
keagamaan, lembaga amal, gaji untuk penerima beasiswa dan orang-orang mulia. Diwan-e-Arz berurusan dengan
kemiliteran. Diwan-e-Insha berurusan
dengan hubungan kebangsawanan.[5] Di
samping ini terdapat departemen-departemen lain. Masing-masing memiliki tempat
sendiri yang terdiri dari sekretaris yang dibantu beberapa juru tulis dan
pegawai dibawahnya.[6]
Pengadilan/Kehakiman
biasanya diatur oleh kepala qazi (qaziul
quzat) yang membantu Mufti
menjelaskan hukum. Semua kota-kota penting memiliki seorang qazi untuk mengatur kehakiman. Hanya
untuk orang-orang Hindu mereka diputuskan oleh panchayat (lembaga yang dikepalai oleh seorang berwibawa, serius
dan memiliki dedikasi yang kuat di masyarakat atau semacam badan penasehat
desa). Kotwal adalah pemelihara keamanan
dan ketertiban. Kantor urusan yang lain disebut Muhtasib untuk mengawasi perilaku masyarakat, untuk mengendalikan
pasar dan untuk mengatur timbangan dan ukuran. Sultan tetap terhubung dengan
semua aktivitas masyarakatnya melalui mata-mata. Hukuman sangat keras diberikan
kepada kasusu-kasus kriminal. Sumber pendapatan terutama berasal dari pajak,
bahan tambang, kegiatan dagang dan harta warisan. Di samping itu ada beberapa
pajak lain seperti pajak rumah, pajak taman, pajak air, dan lain-lain. Pajak
dibayar baik dengan uang atau barang.
Kesejahteraan,
keamanan, merupakan tanggung jawab pemerintah dalam hal penetapan jizyah. Ibn Qasim membagi struktur wajib
jizyah dengan tiga kategori, pertama kelompok masyarakat kaya dan memiliki
kewajiban jizyah sebanyak 48 dirham.
Kedua, kelompok masyarakat menengah membayar 24 dirham. Ketiga, kelompok
masyarakat kurang mampu membayar jizyah
sebanyak 12 dirham, sedangkan bagi mereka yang ikut perang atau masuk Islam,
dibebaskan dari kewajiban membayar jizyah,
hal ini sangat berbeda dengan kebijaksanaan Dinasti Umayah terhadap mawali, bahkan orang Berber di Afrika
dikenakan jizyah atas bayi yang
lahir.[7]
3.
Pemerintahan
Daerah
Kerajaan
dibagi dalam sejumlah propinsi, masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur
atau wali. Menurut Ziauddin Barani, ada 12 propinsi pada permulaan pemerintahan
Muhammad ibn Tughluq. Tetapi kemudian sultan menambah jumlah propinsi untuk
pengaturan yang lebih baik. Karenanya jumlah propinsi beragam antara 20 sampai
25. Gubernur bertugas mengatur administrasi sipil dan militer di propinsinya.
Ia membangun milisi lokal dan harus memberikan bantuan militer kepada sultan
apabila diperlukan. Kantor gubernur tidak dipimpin secara turun temurun.
Penunjukkan, penggantian dan perpindahan tergantung pada keinginan sultan. Ia
dibayar dari penghasilan propinsi dan setelah membayar semua keperluan
administrasi sisanya masuk ke kas negara.[8]
Pada
hari-hari yang sulit, Sultan harus mendapatkan kesatuan tentara yang besar yang
terdiri dari tiga bagian, kavaleri, infanteri, dan pasukan gajah. Para gubernur
propinsi yang bersikap ambisius, pemberontakan, dan bentuk komunikasi yang
sangat sulit dan dalam keadaan negara kacau, satu-satunya alat untuk mengawasi
gerak-gerik para gubernur propinsi dan memeriksa keinginan mereka yang dianggap
membahayakan negara adalah barisan tentara yang berdisiplin tinggi.[9]
B.
Ekonomi
Jauh
sebelum Islam datang, India sudah dikenal oleh para pedagang sebagai tempat
persinggahan. Mereka membawa barang dagangan dari India berupa hasil bumi,
hasil industri tekstil seperti pakaian tenun, kain wol dan kain sutera, hasil
industri pewarna dan tinta, industri gula, tembaga, batu dan batu bara, dan
industri kertas. Impor utama berbentuk barang mewah seperti kuda untuk
orang-orang kaya dan ekspor utama berupa berbagai hasil pertanian dan industri
tekstil. Harga barang-barang sangat murah dalam kondisi damai, tetapi dalam
kondisi kacau naik secara tidak normal. Secara keseluruhan harga barang-barang
dan berbagai keperluan lain murah pada periode ini. Tetapi standar hidup orang
biasa tidak tinggi, sementara para pejabat dan pegawai hidup dalam kemewahan
dan kemakmuran. Tekanan ekonomi datang pada akhir abad ke-14. Invansi Timur
membahayakan kehidupan negara dan mengguncang fondasi kemasyarakatan.[10]
C.
Sosial
Islam
mengajarkan dunia tentang persaudaraan universal. Dalam Islam, seorang budak
pada hari ini dapat menjadi raja kemudian hari dengan syarat ia memiliki
kemampuan yang diperlukan. Selama kesultanan Ghazni dan Ghuri tidak terdapat
perbedaan dalam pengangkatan pegawai.
Kaum
bangsawan muslim selama kesultanan Ghazni dan Ghuri menempati tempat terkemuka
dalam masyarakat. Mereka memiliki banyak pengaruh terhadap aktivitas Sultan.
Bangsawan memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan persoalan
suksesi. Para bangsawan biasanya dikelompokkan dalam Khan, Malik, dan Amir.
Tetapi bangsawan pada abad ke-13 M tidak bertindak sebagai suatu kesatuan
homogen dan terorganisir dengan baik sebagaimana bangsawan Perancis dan
Inggris. Para bangsawan berasal dari beragam bangsa seperti Turki, Arab,
Afghanistan, Abisinia, Mesir, Jawa, dan India. Sebagian besar kaum bangsawan
ini memulai karirnya sebagai budak.
Ulama
memiliki kehormatan yang tinggi dan mempunyai pengaruh yang besar dalam
masyarakat. Para sufi juga memainkan peranan penting dalam sejarah sosial
periode kesultanan. Di samping ulama dan syeikh, para sayyid dihormati oleh
semua golongan masyarakat.[11] Sultan
mendapatkan banyak budak. Beberapa budak naik ke posisi tertinggi berkat jasa
dan kemampuannya. Pada awalnya para budak berguna bagi negara, tetapi kemudian
mereka menjadi ancaman bagi kelangsungan negara dan bahkan mengakibatkan
kejatuhan.
1.
Kondisi
Umat Hindu
Masyarakat
Hindu terbagi dalam beberapa kelompok terpisah. Sistem kasta menjadi semakin
kaku dan tirani para Brahmana terhadap Sudra dan masyarakat tak mampu semakin
tidak ditolerir. Dalam keadaan tersebut cahaya Islam muncul di ufuk India.
Semangat kesamaan, toleransi, dan keadilan sosial menarik hati sejumlah besar
masyarakat Hindu yang tertindas untuk memasuki Islam.
Pada
masa Ibn Qashim, penyeleksian masuk dinas militer yang sebelumnya berdasarkan
kasta-kasta, pola ini tidak diberlakukan lagi oleh Ibn Qashim, siapa saja yang
mampu diperkenankan untuk masuk dinas militer. Dalam hubungan toleransi
beragama, Ibn Qashim melarang pemotongan hewan sapi pada hari Raya Id al-Qurban
bagi orang Islam, karena mayoritas penduduk adalah non muslim.[12]
Berdasarkan
catatan-catatan dan bukti-bukti terlihat bahwa umat Hindu tidak hanya
diperlakukan secara adil tetapi juga secara royal. Status mereka termasuk
golongan yang harus diperhatikan dan dilindungi meskipun beberapa candi hancur
ketika terjadinya penyerangan militer dan beberapa tekanan terhadap Hindu agar
mereka tunduk dan patuh. Mereka diberikan kebebasan penuh dalam memilih agama
dan merayakan upacara-upacara keagamaan selama masa kesultanan Delhi. Banyak
orang Hindu yang mendapatkan pekerjaan yang baik seperti di kantor gubernur
atau dalam militer.[13]
Kebanyakan
Sultan senang melaksanakan acara-acara dan perayaan-perayaan agamanya, tetapi
tidak pernah memaksakan agama pada orang lain. Administrasi lokal sepenuhnya
berada di tangan orang Hindu. Beban pajak terhadap orang-orang Hindu jauh lebih
ringan dibandingkan pada masa diperintah oleh penguasa Hindu. Orang-orang Hindu
mendapatkan bagian yang besar dalam perdagangan, niaga, dan pertanian. Kredit dan
perbankan berada dalam tangan mereka. Dalam segi budaya, semangat toleransi
yang sama ditunjukkan terhadap orang-orang Hindu. Seni-bangunan,
bahasa-kepustakaan, musik-lukisan, dan tradisi-filsafat, orang-orang Hindu
dibolehkan berkembang berdampingan dengan muslim.
2.
Posisi
Wanita
Ketergantungan
wanita kepada suaminya merupakan ciri khusus dalam kehidupan sosial di antara
umat Hindu dan muslim di India. Mereka menikmati posisi terhormat dalam
masyarakat. Adat istiadat wanita beragam menurut kelasnya masing-masing.
Beberapa wanita kelas atas menunjukkan perhatian mendalam terhadap seni dan
ilmu pengetahuan. Wanita desa biasa terserap dalam tugas-tugas rumah tangga
mereka. Sistem Purda telah biasa baik di kalangan Hindu maupun muslim kecuali
di beberapa kota pesisir pantai. Pernikahan dini dan praktek Sati sedang
digemari di kalangan Hindu. Islam pertama kali meninggikan martabat wanita.
Adat Sati Daho, istri ikut membakar diri bersama jasad suaminya, sedikit demi
sedikit dikurangi dan akhirnya hilang.[14] Islamlah
yang pertama kali meninggikan martabat wanita.
3.
Gerakan
Bhakti
Pelopor
Gerakan Bhakti di India adalah Shankaracharya (788-820 M). Gerakan ini
dikembangkan oleh Ramanand, tokoh terbesar dalam gerakan Bhakti, ajaran yang
dibawanya terdiri atas 80% dari Islam, sisanya dari intisari Hindu dan Budha.
Gerakan Bhakti antara lain menghilangkan sistem kasta dan mengambil ajaran
Islam dengan diubah menjadi:
Hal
menjadi Dasha (sebuah nama dari
ibadah agama Hindu).
Dzikir menjadi
Krishna (bertasbih menyebut nama
Tuhan Krishna).
Shama
menjadi Kirton.
Salah
satu tokoh gerakan ini yaitu Guru Nanak, ia banyak belajar kepada ulama-ulama
Islam dan guru-guru agama Hindu. Sebagaimana seperti yang disebutkan oleh Dr.
Tara Chand, Influence of Islam on Indian
Culture, bahwa “ Guru Nanak mengembara sebagaimana orang-orang sufi (Islam)
mengunjungi pusat-pusat khankah
(pondok-pondok sufi) di India, Persia, Arab, dan belajar kepada alim ulama.
Karya Nanak membuktikan bahwa pengaruh Islamlah yang dominan dalam dirinya
daripada Hindu”. Pokok ajaran Bhakti adalah “melatih kebaktian dan kecintaan
yang abadi”. Ajaran ini berkembang pesat pada masa Akbar Agung (1556-1605 M)
dan sisa ajarannya sekarang dikenal dengan ajaran Shikh.[15]
D. Asimilasi Budaya
1.
Ilmu
Pengetahuan
Dalam
bidang ilmu pengetahuan, hubungan Islam dengan India terjalin dengan baik dan
terjadi pertukaran budaya antara keduanya. Banyak buku India yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab pada abad ke-8 M. Pada saat itu para ilmuwan Arab dikirim
ke India untuk mempelajari ilmu-ilmu yang ada di India. Di lain pihak
ilmuwan-ilmuwan India diundang ke Baghdad supaya para ilmuwan Arab mengenal
ilmu-ilmu yang ada di India. Investasi India dalam angka-angka terhadap dunia
Arab dikenal oleh Barat sebagai angka Arab (Arabic
numerals). Penggunaan angka nol dikenal Arab setelah invansi Bin Qasim.
Banyak
buku-buku kedokteran India yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, bahkan buku
yang paling populer di kalangan Arab sekarang adalah Shashruta Dn Carak, di
samping itu juga buku kehewanan juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Serta
buku tentang etika, magic, kimia, dan ilmu politik banyak diterjemahkan dari
India ke dalam bahasa Arab. Ilmu musik juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
dari India. Menurut al-Biruni sebab utama masyarakat Hindu India memusuhi Islam
karena berulang kali invansi ke India merampas kekayaan mereka penyebab
permusuhan orang-orang Hindu dengan orang-orang Islam.[16]
2.
Seni
dan Bangunan
Bangunan-bangunan
yang didirikan oleh sultan antara lain istana kerajaan, benteng, masjid, tugu
orng-orang besar, perlindungan bagi orang-orang miskin. Dalam rancangan
bangunannya, merupakan campuran gaya Siria, Bizantium, Mesir, dan Iran,
sedangkan detilnya Hindu,Jaina atau Budha. Kontak antara Islam dan Hindu menghasilkan
evolusi gaya yang kadang-kadang disebut Indo-Muslim. Arsitektur Indo-Muslim
adalah arsitektur Muslim yang menampilkan detil sifat-sifat tertentu dari seni
bangunan Hindu. Semakin banyak ahli muslim memasuki India, pengaruh Hindu
semakin berkurang sedikit demi sedikit.
3.
Bahasa
Pada
zaman Dinasti Ghaznawi dan Ghuri, para sultan berbahasa Turki di Istana,
sedangkan di kantor berbahasa Persi. Para tentara, ketika berbelanja ke pasar
mengalami kesulitan (masyarakat memakai bahasa Prakit dan Sansekerta) akhirnya
lahir bahasa baru yaitu Urdu sedangkan pengaruh Islam dalam bahasa Sansekerta
melahirkan bahasa Bangla.[17] Bahasa
Urdu berkembang pesat pada masa Inggris sampai sekarang mayoritas masyarakat
India menggunakan Urdu, di Pakistan sebagai bahasa resmi. Sedangkan bahasa
Bangla sebagai bahasa resmi kesultanan Bangla (Benggal). Sampai sekarang bahasa
ini menjadi bahasa resmi Bangladesh.
BAB
III
PENUTUP
Demikianlah
pembahasan tentang pranata sosial di India. Dimana pranata tersebut terdiri
dari politik, ekonomi, sosial, dan asimilasi budaya. Politik meliputi tentang hubungan dengan khalifah, pemerintahan pusat
dan pemmerintahan daerah. Yang kedua dalam bidang ekonomi berupa hasil bumi,
hasil industri tekstil seperti pakaian tenun, kain wol dan kain sutera, hasil
industri pewarna dan tinta, industri gula, tembaga, batu dan batu bara, dan
industri kertas. Sedangkan di bidang sosial, Islam mengajarkan persaudaraan
universal dalam kehidupan tidak membedakan status sosial masyarakat. Serta yang
terakhir adalah asimilasi budaya, dimana disini terjadi kemajuan dalam ilmu
pengetahuan, seni bangunan dan bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, M. Abdul. Sejarah Islam di India. Yogyakarta: Bunga Grafis Production, 2003.
. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.
Yogyakarta: Pustaka Book Publusher, 2007.
Maryam,
Siti dkk. Sejarah Peradaban Islam Dari
Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: LESFI, 2005.
[1] M. Abdul Karim, Sejarah Islam di India (Yogyakarta:
Bunga Grafis Production, 2003), hlm. 48.
[2] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik
hingga Modern (Yogyakarta: LESFI,2005), hlm. 174.
[3] Karim, Sejarah, hlm. 48-49.
[4] Maryam, Sejarah, hlm. 174.
[5] Ibid., hlm. 174-175.
[6] Karim, Sejarah, hlm. 51.
[7] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
(Yogyakarta: Pustaka Book Publusher, 2007), hlm. 274-275.
[8] Maryam, Sejarah, hlm. 175.
[9] Karim, Sejarah, hlm. 52.
[10] Maryam, Sejarah, hlm. 177-178.
[11] Karim, Sejarah, hlm. 54.
[12] Karim, Sejarah Pemikiran, hlm. 275.
[13] Maryam, Sejarah, hlm. 177.
[14] Karim, Sejarah, hlm. 55-56.
[15] Ibid., hlm. 57.
[16] Ibid., hlm. 60.
[17] Ibid., hlm. 60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar