PEMBAHASAN
Sebelum pengaruh islam masuk ke Indonesia, di kawasan ini sudah
terdapat kontak-kontak dagang, Melalui perdagangan itulah Islam masuk ke
kawasan Indonesia. Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada
umumnya menggunakan pendekatan cultural, sehingga terjadi dialog budaya dan
pergaulan social yang penuh toleransi.
Ada proses awal
penyebaran Islam di Indonesia:
1. Perdagangan
dan Perkawinan
Dengan menunggu angina muson (6 bulan), pedagang
mengadakan perkawinan dengan penduduk asli. Dari perkawinan itulah terjadi
interaksi social yang menghantarkan Islam berkembang (masyarakat Islam).
2. Pembentukan
masyarakat Islam dari tingkat ‘bawah’ dari rakyat lapisan bawah, kemudian
berpengaruh ke kaum birokrat (J.C. Van Leur).
3. Gerakan
Dakwah, melalui dua jalur yaitau:
a. Ulama
keliling menyebarkan agama Islam (dengan pendekatan Akulturasi dan
Sinkretisasi/lambing-lambang budaya).
b. Pendidikan
pesantren (ngasu ilmu/perigi/sumur), melalui lembaga/sisitem pendidikan Pondok
Pesantren, Kyai sebagai pemimpin, dan santri sebagai murid.
Dari ketiga model perkembangan Islam itu,
secara relitas Islam sangat diminati dan cepat berkembang di Indonesia.
Meskipun demikian, intensitas pemahaman dan aktualisasi keberagman islam
bervariasi menurut kemampuan masyarakat dalam mencernanya.
Ditemukan dalam sejarah, bahwa komunitas
pesantrean lebih intens keberagamannya, dan memiliki hubungan komunikasi
“ukhuwah” (persaudaraan/ikatan darah dan agama) yang kuat. Proses terjadinya
hubungan “ukhuwah” itu menunjukkan bahwa dunia pesantren memiliki komunikasi
dan kemudian menjadi tulang punggung dalam melawan colonial.[1]
Kebudayaan Iran dan Indonesia memiliki jalinan sejarah.
Salah satu bukti yang mendukung hubungan sejarah itu adalah adanya persamaan
sastra dan bahasa yang saling memengaruhinya. Keberadaan lebih dari 400 kata
dari bahasa Persia pada bahasa Melayu yang masih digunakan dalam kehidupan
sehari-hari membuktikan eratnya hubungan ini. Almarhum
Zafar Iqbal, mantan dosen Uviversitas Indonesia dan Universitas Syarif
Hidayatullah, Jakarta, pernah mengaji pengaruh sastra dan puisi Persia terhadap
sastra dan puisi Indonesia serta dunia Melayu dalam disertasinya. Berangkat
dari itu, penulis mencoba mengaji hubungan kebudayaan Iran dan Indonesia dari
sisi sastra dan syair.
Perkenalan orang Iran dengan orang Melayu memiliki sejarah
panjang. Hal ini dapat dikenali berdasarkan dokumen historis, mitos, dan
tulisan di batu nisan. Orang Iran, sebelum menerima Islam, karena perdagangan
yang luas dengan China dan sebagai jembatan penghubung antara Barat (Kaisar
Romawi) dan Timur (China) dalam dua jalan, yaitu rute darat “Jalan Sutera” dan
rute laut “Jalan Rempah-rempah”, memunyai hubungan dagang dan budaya dalam
perjalanan mereka dengan Nusantara, sungguhpun mereka aktif mendakwakan
kepercayaan Zoroaster di kawasan ini. Sejarah hubungan semacam ini dimulai
sejak Dinasti Ashkhaniyah, khususnya Dinasti Sasaniyah melalui rute rempah-rempah
200 tahun Sebelum Masehi.
Tapi setelah orang Iran menerima Islam dan migrasi
kelompok-kelompok Iran dari China Selatan karena penderitaan yang ditimpakan
Pemerintah China, para pedagang dan mubalig Iran dalam rangka berdagang dan
mendakwahkan Islam di kawasan ini. Sejarah Barat, yang mendasarkan pada catatan
Marcopolo, percaya bahwa Islam masuk ke Nusantara di abad ke-13, tapi sejarah
Timur yang mendasarkan pada referensi orang China, Arab, dan Melayu menekankan
pada tahun pertama hijriyah atau paling tidak tahun ketiga hijriyah (abad ke-9
Masehi). Dalam hal ini, latar belakang kehadiran orang Iran yang aktif dan
terus-menerus di kawasan nusantara – terkait masalah ekonomi, budaya, dan
politik – jelas sekali menunjukkan peran kaum ini mendakwahkan Islam dan hidup
damai dengan orang Melayu.
Untuk mengetahui kehadiran orang Iran dalam sejarah
Nusantara dapat dilihat dari pengaruh bahasa dan literatur Persia dalam
literatur Melayu. Secara keseluruhan, pengaruh sastra Persia terhadap sastra
Indonesia dapat digolongkan dalam tujuh kategori, yaitu pengaruh sastra Persia
terhadap buku-buku bersejarah, buku-buku undang-undang Malaka, agama, kerajaan
Indonesia, cerita para nabi dan ahlulbait, sastra keseharian Indonesia, dan
alhasil pengaruh sastra Persia terhadap puisi-puisi Indonesia. Seperti
ditemukan pada buku Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Malaka, dan Hikayat Aceh.
Dalam buku tersebut ditemukan 130 kosa kata bahasa Persia.
Seperti diketahui, pada zaman dahulu, para raja Pasai
menugaskan para ahli sejarah untuk menulis hal-hal yang terjadi terkait
kerajaan mereka. Raja-raja Pasai mengumpulkan para penyair dan pemikir besar
serta mendatangkan pemikir besar mancanegara seperti Sayed Amir Sharif Shirazi
dan Tajuddin Esfahani sebagai penasihat kerajaan. Pendalaman terhadap
naskah-naskah kerajaan menunjukkan pengaruh signifikan sastra Persia terhadap
buku pada masanya. Seperti buku Serat Tajusalatin yang ditulis pada kerajaan
Islami Aceh (1603 M) dan buku Bustanul Arefin. Pada buku tersebut, terdapat
lebih 36 kosakata dan pepatah bahasa Persia. Penggunaan nama-nama para raja
Iran, peribahasa, dan kata-kata Persia menunjukkan pengaruh sastra Persia
terhadap buku yang beredar di Kerajaan Pasai. Sebagian besar buku itu bersumber
pada buku karya pemkir Iran seperti Attar dan Vaez Kashani dan terinpirasi dari
karya Khosro va Shirin, Yusef va Zoleykha, dan sebagainya.
Buku-buku agama pula tidak luput dari pengaruh aroma Persia.
Katakanlah buku Sheikh Nuruddin Arraniri dan Abdul Rauf Al-Senkili yang ditulis
pada abad 17 M dan 50 judul lainnya memiliki interaksi dengan buku Sa’di, Abu
Hamed Mohammad Gazali, Suhravardi, Khoja Abdullah Ansari, yang menjadi
sufi-sufi besar di Iran.
Karya sastra Nusantara lain adalah cerita para nabi dan
ahlulbait. Sejarah menunjukkan bahwa penulisan cerita para nabi dan ahlulbait
dimulai dari Yaman dan Iran, lalu meluas ke negara lainnya dan diterjemahkan
dalam berbagai bahasa, antara lain Turki dan Melayu. Penulis menyebutkan cerita
Nabi Yusuf, Hikayat Nabi Miraj, Hikayat Nabi Lahir, Hikayat Bulan Berbelah,
Hikayat Raja Khandagh, dan banyak cerita lainnya sebagai cerita para nabi dan
ahlulbait yang terlihat dengan jelas pengaruh bahasa dan sastra Persia di
dalamnya.
Selain 400 kata dari bahasa Persia pada bahasa Melayu
seperti bandar, nakhoda, istana, masih banyak kata lainnya yang menjadi bagian
dari bahasa keseharian masyarakat Indonesia yang berasal dari bahasa Persia.
Lebih sembilan buah hikayat seperti hikayat Amir Hamzah, Muhammad Hanafiyah dan
Bendara Hitam dari Churasan terdapat pengaruh menonjol bahasa Persia dalam
hikayat-hikayat ini. Hikayat Bendara Hitam dari Churasan merupakan cerita
seorang pahlawan dari Kota Khorasan – salah satu provinsi terbesar di Iran –
yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia pada 1953.
Bukti lain, yang membuktikan interaksi historis sastra
Persia dan Nusantara adalah syair-syair yang dikenal masyarakat Indonesia.
Yakni Bustan dan Musyawarah Burung yang berinteraksi mendapatkan pengaruh dari
karya-karya penyair ternama di Iran, seperti Attar, Molawi (Rumi). Pengaruh
signifikan penyair-penyair dan sufi masyhur Iran seperti Ghazali, Saadi, Attar
terhadap buku-buku Hamzah Fansuri terlihat dari banyaknya kosa kata yang digunakan
dalam naskah tersebut.
Alhasil, persamaan antara kedua bangsa Iran dan Indonesia
begitu banyak yang pada kesempatan ini hanya dibahas dari sisi persamaan
sastra. Tentu saja persamaan-persamaan ini dapat menunjukkan hubungan baik yang
sedang terjalin antara kedua negara di berbagai bidang pada saat ini bukan
merupakan fenomena baru, melainkan sebagai kelanjutan dari suatu hubungan yang
umurnya berabad-abad.[2]
Bentuk-bentuk pengaruh Persia di Indonesia
Tradisi
Syiah
Kajian tentang Syi'ah di Indonesia, telah dilakukan oleh
sejumlah ahli dan pengamat sejarah, sebagian besar diantaranya berkesimpulan
bahwa orang-orang Persia yang pernah tinggal di Gujarat yang berpaham Syiahlah
yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia.
Bahkan dikatakan Syi'ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di nusantara.
M Yunus Jamil dalam bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh (1968) menulis kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah Kerajaan Peureulak (Perlak) yang didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajaan ini adalah para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan Gujarat dan mengangkat seorang Sayyid Maulana 'Abd al-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syi'ah, sebagai sultan Perlak.
Bahkan dikatakan Syi'ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di nusantara.
M Yunus Jamil dalam bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh (1968) menulis kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah Kerajaan Peureulak (Perlak) yang didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajaan ini adalah para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan Gujarat dan mengangkat seorang Sayyid Maulana 'Abd al-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syi'ah, sebagai sultan Perlak.
Agus Sunyoto, staf Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam
(LPII) Surabaya yang dipimpin Dr Saleh Jufri, seperti dilaporkan Majalah
Prospek (10 Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan, bahwa Syaikh
'Abd al-Ra'uf Al-Sinkli, salah seorang ulama besar nusantara asal Aceh pada
abad ke-17, adalah pengikut dan penggubah sastra Syi'ah. Ia pun setelah
melakukan penelitian terhadap kuburan-kuburan di Jawa Timur, berkesimpulan
bahwa dari segi fisik dan arsitekturnya itu adalah kuburan-kuburan orang
Syi'ah.
Bahkan Agus Sunyoto lewat bukti-bukti sejarah, berspekulasi, sebagian besar dari Walisongo adalah ulama Syi'ah. Dengan tegas ia menulis, Syekh Maulana Malik Ibrahim, guru dari semua sunan wali songo adalah Syiah.
Bahkan Agus Sunyoto lewat bukti-bukti sejarah, berspekulasi, sebagian besar dari Walisongo adalah ulama Syi'ah. Dengan tegas ia menulis, Syekh Maulana Malik Ibrahim, guru dari semua sunan wali songo adalah Syiah.
Mazhab
Syafi'i
Dalam
masyarakat NU, pengaruh Syi'ah pun cukup kuat di dalammya, Dr Said Agil Siraj,
Wakil Katib Syuriah PBNU secara terang mengatakan, "Harus diakui, pengaruh
Syi'ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca Barzanji atau Diba'i
yang menjadi ciri khas masyarakat NU misalnya, jelas berasal dari tradisi
Syi'ah".
KH Abdurrahman Wahid bahkan pernah mengatakan bahwa Nahdatul
Ulama secara kultural adalah Syi'ah. Ada beberapa shalawat khas Syi'ah yang
sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren.
Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syi'ah.
Tradisi itu lahir di Indonesia dalam bentuk mazhab Syafi'i padahal sangat berbeda dengan mazhab Syafi'i yang dijalankan di negara-negara lain. Berkembangnya ajaran pantheisme (kesatuan wujud, union mistik, Manunggal ing Kawula Gusti), di Jawa dan Sumatera merupakan pandangan teologi dan mistisisme (tasawuf falsafi) yang sinkron dengan aqidah Syiah dan sangat bertentangan dengan paham Islam wahabi yang literal.
Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syi'ah.
Tradisi itu lahir di Indonesia dalam bentuk mazhab Syafi'i padahal sangat berbeda dengan mazhab Syafi'i yang dijalankan di negara-negara lain. Berkembangnya ajaran pantheisme (kesatuan wujud, union mistik, Manunggal ing Kawula Gusti), di Jawa dan Sumatera merupakan pandangan teologi dan mistisisme (tasawuf falsafi) yang sinkron dengan aqidah Syiah dan sangat bertentangan dengan paham Islam wahabi yang literal.
Ritus-ritus Tabut di Bengkulu dan Sumatera dan Gerebek Sura
di Jogjakarta dan Ponorogo adalah ritus teologi Syiah yang datang dari
Gujarat-Persia. Doktor Muhammad Zafar Iqbal dalam bukunya, Kafilah Budaya
meruntut berbagai fakta tentang adanya pengaruh-pengaruh tradisi Syiah dan Iran
di tanah air terutama bagi masyarakat Minangkabau yang masih terjaga sampai
kini.
Perguruan Tinggi pertama di Aceh bernama Universitas Syiah
Kuala, menunjukkan fakta lainnya. Universitas yang disingkat Unsyiah yang
diresmikan berdirinya oleh Presiden Soekarno tahun 1959 menunjukkan bahwa idiom
Syiah telah sangat dikenal masyarakat.
Syiah bukanlah idiom yang asing dan berbahaya, melainkan menunjukkan tradisi keilmuan yang tinggi sebagaimana yang dikembangkan di Iran. Kesemua fakta ini menunjukkan kenyataan terjadinya proses sinkretisasi antara Syiah dengan kebudayaan setempat di Indonesia yang sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Nusantara.
Syiah bukanlah idiom yang asing dan berbahaya, melainkan menunjukkan tradisi keilmuan yang tinggi sebagaimana yang dikembangkan di Iran. Kesemua fakta ini menunjukkan kenyataan terjadinya proses sinkretisasi antara Syiah dengan kebudayaan setempat di Indonesia yang sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Nusantara.
Karenanya, lewat tulisan ini saya menggugat, jika dikatakan
tradisi Iran dan Syiah baru datang ke Indonesia belakangan ini dan dikatakan
tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Muslim Indonesia yang bermazhab Sunni.
Justru yang bertentangan dengan tradisi masyarakat Muslim Indonesia adalah yang
menganggap bid'ah dan sesat hal-hal yang selama ini ditradisikan masyarakat
kita, terutama Muslim Bugis-Makassar, seperti shalawatan, barazanji, maulid dan
menyimpan gambar-gambar wajah wali yang dianggap mendatangkan keberkahan.
Tentunya, kajian tentang Syi'ah memang dibutuhkan. Tidak saja untuk kepentingan akademisi dan mengenal lebih dekat pemikiran Syiah, namun ia juga mempunyai kepentingan ganda: Untuk menentukan sikap! Sebab, sebagaimana pesan Imam Ali as, "Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya."[3]
Tentunya, kajian tentang Syi'ah memang dibutuhkan. Tidak saja untuk kepentingan akademisi dan mengenal lebih dekat pemikiran Syiah, namun ia juga mempunyai kepentingan ganda: Untuk menentukan sikap! Sebab, sebagaimana pesan Imam Ali as, "Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya."[3]
KESIMPULAN
Setelah memahami bahwa perkembangan Islam di Indonesia memiliki
warna atau ciri yang khas dan memiliki karakter tersendiri dalam penyebarannya,
kita dapat mengambil hikmah, di antaranya sebagai berikut:
1. Islam membawa ajaran yang berisi kedamaian.
2. Penyebar ajaran Islam di Indonesia adalah pribadi yang memiliki
ketangguhan dan pekerja keras.
3. Terjadi akulturasi budaya antara Islam dan kebudayaan lokal meskupin Islam tetap memiliki batasan dan secara tegas tidak boleh bertentangan dengan ajaran dasar dalam Islam.
3. Terjadi akulturasi budaya antara Islam dan kebudayaan lokal meskupin Islam tetap memiliki batasan dan secara tegas tidak boleh bertentangan dengan ajaran dasar dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
http://media-sastra-nusantara.blogspot.com/
Casino City - Casinos Near Chicago, IL
BalasHapusBest Casino Cities In The World. Casinos close 강원도 출장마사지 to casinos in Illinois. Find your next gaming 파주 출장마사지 event at 원주 출장마사지 nearby casinos 문경 출장마사지 near 광주광역 출장안마 you in Illinois.