Minggu, 10 Maret 2013

Ibnu Khaldun



BAB I
PENDAHULUAN
            Seiring dengan perkembangan budaya dan peradaban Islam itulah ilmu sejarah dalam Islam lahir dan berkembang. Ketika umat Islam sudah mencapai kemajuan dalam penulisan sejarah, tidak ada bangsa lain pada waktu itu yang menulis sejarah seperti halnya kaum Muslimin. Perkembangan penulisan biografidalam sejarah (historiografi) Islam dimulai dengan penulisan riwayat Nabi Muhammad SAW. yang lebih dikenal dengan sirah an-Nabi wa maghazih (riwayat hidup Nabi SAW. dan perang-perangnya) atau disingkat dengan al-sirah wa al-maghazih (riwayat hidup dan perang-perang Nabi SAW.) saja. Menyusul setelah itu karya sejarah dalam bentuk al-Thabaqat (kumpulan biografi singkat) para sahabat, para tabi’in, dan tabi’i at-tabiin, terutama mereka yang merawikan hadits, dan akhirnya biografi para tokoh, yang didasarkan pada kesamaan profesi (al-mihan) atau pada kesamaan penguasaan ilmu atau keahlian. Karya-karya sejarah seperti ini, muncul dengan judul-judul yang beragam, yaitu al-thabaqat, al-siyar, al-tarajim, dan al-mu’jam, yang semuanya mempunyai arti yang sama, kumpulan biografi.[1]


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Ibn Khaldun
Ibnu Khaldun lahir di Tunis, Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M, nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin Bin Khaldun, nama kecilnya Abdurrahman, nama panggilan keluarga Abu Zaid. Nenek moyang Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut, Yaman yang berimigrasi ke Sevilla (Andalusia/Spanyol). Keluarga Ibnu Khaldun ini masih memiliki keturunan dengan Wail bin Hajar, salah seorang sahabat nabi Muhammad SAW, Ibnu Khaldun terlahir dari keluarga Arab - Spanyol ini sejak kecil sudah dekat dengan kehidupan intelektual dan politik. Ayahnya bernama Abu Abdillah Muhammad, seorang mantan perwira militer yang gemar mempelajari ilmu hukum, teologi dan sastra. Di usia 17 tahun, Ibnu Khaldun telah menguasai ilmu Islam klasik, termasuk Aqliyah (ilmu kefilsafatan, tasawuf), selain menggemari dunia ilmu pengetahuan, Ibnu Khaldun juga terlibat dalam dunia politik.[2]
Keluarganya berasal dari Hadramaut (kini Yaman) dan silsilahnya sampai kepada seorang sahabat Nabi SAW bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah. Salah seorang cucu Wail, Khalid bin Usman, memasuki daerah Andalusia bersama orang-orang Arab penakluk pada awal abad ke-3 H (ke-9 M).anak cucu Khalid bin Usman membentuk satu keluarga besar dengan nama Bani Khaldun. Bani itu lahir dan berkembang di kota Qarmunah (kini Carmona) di Andalusia (Spanyol) sebelum hijrah ke kota Isybilia (Sevilla). Di kota yang terakhir ini Bani Khaldun berhasil menduduki beberapa jabatan penting.[3]
Riwayat hidup tokoh ini sarat dengan aneka ragam pengalaman dan pengembaraan intelektual yang memperkaya cakrawala berpikirnya. Masa kecil dan remajanya dilalui di kota kelahirannya, dengan kegiatan belajar ilmu Al-Qur’an, hadis, tata bahasa Arab dan ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu hukum, teologi, dan filsafat. Tapi pada masa selanjutnya sejak ia berusia delapan belas tahun sampai wafatnya, ia tidak menetap lagi disuatu kota atau tempat tertentu, melainkan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.[4] Keluarga Ibnu Khaldun sebenarnya berasal dari wilayah Seville, Spanyol, ketika dalam pemerintahan Islam. Ketika masa kanak-kanak, beliau mempelajari al-Quran dari orang tuanya sebelum melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi sambil dibantu sejarawan dan ulama Tunisia serta Spanyol.[5] Secara umum kehidupan Ibn Khaldun dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu:
·         Pertama, fase kelahiran, perkembangan, dan studi. Fase ini berlangsung sejak kelahiran sampai usia dua puluh tahun, yaitu dari tahun 732 H/1332 M hingga tahun 751 H/ 1350 M. Fase ini dilaluinya di Tunis.
·         Kedua, fase bertugas di pemerintahan dan terjun ke dunia politik di Maghrib dan Andalusia, yaitu tahun 751 H/1350 M sampai tahun 776 H/ 1374 M.
·         Ketiga, fase kepengarangan, ketika dia berpikir dan berkontemplasi di Benteng Ibn Salamah milik Banu ‘Arui, yaitu sejak tahun 776 H/1374 M sampai 784 H/1382 M.
·         Keempat, fase mengajar dan bertugas sebagi Hakim Negeri di Mesir, yaitu dari tahun 784 H/ 1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/ 1406 M.[6]
Dalam semua bidang studinya, ia mendapat nilai yang sangat memuaskan dari gurunya. Akan tetapi, studinya secara tiba-tiba terhenti akibat berjangkitnya penyakit pes pada 749 H di sebagian besar belahan dunia bagian timur. Wabah itu merenggut ribuan nyawa. Akibatnya lebih jauh, penguasa bersama ulama hijrah ke Maghrib Jauh (Maroko) pada 750 H. Oleh karena itu, ia berusaha mendapatkan pekerjaan dan mencoba mengikuti jejak kakek-kakeknya di dunia politik. Komunikasi yang dijalinnya dengan ulama dantokoh-tokoh terkenal banyak membantunya dalam mencapai jabatan-jabatan tinggi.[7] Sebagai seorang yang berkecimpung langsung dalam bidang politik ia berhasil menduduki jabatan-jabatan penting dan strategis dalam pemerintahan di beberapa dinasti Islam, baik sewaktu ia berada di Afrika maupun sewaktu berada di Spanyol. Kepintarannya dalam bidang diplomasi membuat dirinya dikagumi, bukan hanya oleh rekan-rekan seagamanya, melainkan juga oleh Pedro Sang Pembengis dari Barat (Raja Kristen dari Spanyol) dan oleh Timur Lenk, Si Pincang dari Timur (Raja Mongol).[8]
Ketika berada di Fez, Maroko (1351-1382), ditandai oleh keterlibatan Ibnu Khaldun dalam politik praktis. Ketika itu bakat Ibnu Khaldun yang sangat luar biasa telah tampak. Melalui persekongkolannya dengan berbagai tokoh dan kelompok, Ibnu Khaldun berhasil memegang berbagai jabatan yang tinggi tanpa meninggalkan perkembangan ilmu pengetahuan. Keterlibatannya dalam politik praktis menyebabkannya mendekam dalam penjara selama kira-kira dua tahun. Petualangan Ibnu Khaldun di bidang politik ini tidak memberikannya ketenangan dan ketentraman sehinga ia melarikan diri ke Andalusia dan berbakti kepada raja Muhammad yang sedang berkuasa di Andalusia saat itu. Di Andalusia Ibnu Khaldun bertemu Ibnu al Khatib seorang pemikir dan budayawan yang juga menjadi perdana menteri. Ketika berada di Andalusia inilah Ibnu Khaldun mendapatkan tugas untuk mengadakan perundingan dengan Pedro yang kejam, penguasa kristiani yang telah menjadikan Sevilla sebagai ibu kotanya. Keberhasilan Ibnu Khaldun dalam perundingan ini menyebabkan raja semakin percaya dan memberinya kedudukan penting. Keberhasilan yang diraih oleh Ibnu Khaldun ini menimbulkan rasa isi pada sahabatnya Ibnu al Khatib, menyadari gelagat ini Ibnu Khaldun memutuskan kembali ke Afrika Utara. Namun kembali lagi ketika ia berada di Afrika utara ia terlibat kembali dalam politik praktis yang ditandai dengan pertempuran dan persaingan yang tidak habis-habisnya antara berbagai dinasti kecil yang ada. Hal ini membuktikan bahwa Ibnu Khaldun sangat terkenal dan diharapkan oleh setiap penguasa untuk senantiasa berada dibarisannya, karena perananya yang demikian besar dalam setiap pertempuran. Menyadari demikian berbahanya politik praktis maka Ibnu Khaldun memutuskan untuk bergerak dibidang ilmu pengetahuan. Karenanya Ibnu Khaldun mengasingkan diri di tengah padang pasir di Qol’at Bani Salamah di daerah Aljazair. Disanalah lahirnya Muqoddimah yang membuat namanya terkenal. Setalah empat tahun terpencil di Qol’at Bani Salamah ia kembali ke Tunis untuk menyempurnakan tulisannya dengan menggunakan fasilitas perpustakaan yang terdapat di Tunis Namun karena adanya dua hal yaitu :
-          Penguasa di Tunis ingin melibatkannya dalam politik praktis
-          Para ahli ilmu pengetahuan tidak menerimanya dengan baik bahkan menjadikannya sebagai saingan.
Maka Ibnu Khaldun meninggalkan Afrika Utara belahan Barat dan pergi ke Timur dengan alasan menunaikan ibadah haji.
B.     Metode Sejarah Ibn Khaldun
Dalam kajian sejarahnya tentang negara-negara Arab Timur, Ibn Khaldun banyak bersandar kepada para ahli ssebelumnya.[9] Penulisan sejarah membutuhkan sumber yang beragam, dan pengetahuan yang bermacam-macam. Kedua sifat ini membawa sejarawan pada kebenaran, dan menyelamatkannya dari berbagai ketergelinciran dan kesalahan. Dari bab pendahuluan kitab Muqaddimah-nya, paling tidak, dapat disimpulkan pendapatnya tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang sejarawan dan sebab-sebab kesalahan dalam penulisan sejarah.

a.      Syarat-Syarat Yang Harus di Penuhi Seorang Sejarawan
1.   Memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip politik, watak segala yang ada, perbedaan bangsa-bangsa, tempat-tempat dan priode-priode dalam hubungannya dengan sistem kehidupan, nilai-nilai akhlak, kebiasaan, sekte-sekte, mazhab-mazhab, dan segala ihwal lainnya. Selanjutnya iapun perlu memiliki pengetahuan tentang situasi-situasi dan kondisi mendatang dalam semua aspeknya.
2.   Harus mampu membandingkan kesamaan dan perbedaan kini dengan masa lalu.
3.   Harus mampu mengetahui keadaan dan sejarah orang-orang yang mendukung suatu peristiwa.
b.      Sebab-sebab kesalahan dalam penulisan Sejarah
1.      Keberpihakan terhadap suatu pihak atau kepercayaan
2.      Terlalu percaya kepada penutur tanpa dilakukan ta’dil dan tarjih
3.      Tidak sanggup memahami hakikat dari sebuah peristiwa (maksud sebenarnya dari sebuah informasi)
4.      Memutlakkan sebuah kebenaran
5.      Tidak mampu menempatkan sebuah peristiwa dalam hubungannya dengan peristiwa-perostiwa yang sebenarnya
6.      Adanya latar belakang kepentingan
7.      Tidak memahami hukum-hukum, watak dan perubahan masyarakat
8.      Kesalahan dalam memahami sebuah berita/informasi
9.      Menganalogikan secara mutlak masa lalu dengan masa kini.[10]
Dengan cara tersebut, Ibn Khaldin melakukan perubahan dalam penulisan sejarah dengan melakukan analisis mendalam tentang peristwa sejarah.[11] Sebagai sejarawan Ibn Khaldun mencatat peristiwa sejarah, namun lebih jauh ia berusaha menemukan alasan yang menonjol dalam proses perubahan sejarah dan mengemukakan sebuah teori yang dengannya dapat digunakan untuk memperkirakan gambaran sejarah masa depan.[12]   
C.    Sebagai Filsosof Sejarah
Dalam hakekat sejarah, terkandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran (tahqiq), keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda wujudi, serta pengertian dan pengetahuan substansi, essensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa. Dengan demikian, sejarah benar-benar terhujam berakar dalam filsafat, dan patut dianggap sebagai salah satu cabang filsafat.
 Di dalam pengantar kitab  Muqodimmah-nya Ibn Khaldun membagi sejarah kedalam dua aspek: aspek lahir dan sejarah tidak lebih daripada berita-berita tentang peristiwa-peristiwa, negara-negara, dan kejadian-kejadian pada abad-abad yang silam. Dan perjamuan-perjamuan besar, peristiwa-peristiwa itu dituturkan batin. Secara lahir, sebagi sejian. Sedangkan secara batin (hakikat)-nya, dalam sejarah terkandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran, keterangan yang mendalam tentang sebab-sebab terjadinya peristiwa. Oleh kerena, menurutnya, sejak lama elah timbul pikiran tentang hikmah mempelajari sejarah. Dari penjelasan ibnu  khaldun diatas, Zaynab al-Khudhayari menyatakan, kalau aspek lahir adalah sejarah dalam pengertian umumnya, maka aspek batinnya adalah salah satu cabang dari hikmah atau flisafat, sebab ia mengkaji berbagai sebab peristiwa dan hukum-hukum yang menggendalikannya.[13]  
Dalam pengertian yang paling sedrhana, filsafat sejarah adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor esensial yang mengendalikan peristiwa-peristiwa historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi. Sebagian penulis berpendapat bahwa sejarah berjalan sesuai dengan suatu kerangka tertentu dan bukannya secara acak-acakan, dan filsafat sejarah adalah upaya untuk mengetahui kerangka tersebut yang diikuti sejarah dalam perjalanannya, atau arah yang ditujunya, ataupun tujuan yang hendak dicapainya. Dalam kasus yang demikian ini, filsafat sejarah merupakan wawasan atau penilaian seseorang pemikir terhadap sejarah. Ibn Khaldun sendiri tidak menggunakan ungkapan “ filsafat sejarah” sebagai sebutan kajiannya, tetapi menyebutnya dengan nama “al-umran al-basyari”, yang secara harfiah berarti masyarakat manusia. Namun, menurut Zanab al-Khudhayri, banyak para peneliti yang berpendapat bahwa yang dimaksud Ibn Khaldun dengan al-umran adalah kebudayaan.[14]
Berdasarkan pemikiran filsafat sejarahnya, Ibn Khaldun telah melahirkan bibit filsafat sejarah seperti:
·         Aliran sosial, karena dia berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial dapat diinterpretasikan dan teori-teorinya dapat diikhtiarkan dari fakta-fakta sejarah.
·         Aliran ekonomi, yang menafsirkan sejarah secara materialistis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis serta merujukkan setiap perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomenanya pada faktor-faktor ekonomi.
·         Aliran geografi, yang memandang bahwa manusia merupakan putera lingkungan dan kondisi alamnya.[15]



BAB III
PENUTUP
            Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Ibn Khaldun adalah seorang politikus. Ia telah memberikan peran dan sumbangan yang unik sebagai sarana pendekatan kesejarahan. Muqaddimah merupakan karya pendahuluan dari karyanya yang lain yakni kitab al-I’bar. Muqaddimah itu membuka jalan menuju pembahasan ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu, dalam sejarah Islam, Ibn Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik.  Ibn Khaldun juga memberikan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang sejarawan dan sebab-sebab kesalahan dalam penulisan sejarah.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Yusri Abdul Ghani. Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Amin, Husayu Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995.
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.
Zamawi, A. Somad. Ensiklopedi Islam. Jakarta: CV Anda Utama, 1993.
http://www.scribd.com/doc/45969310/Historiografi-Islam-Muqaddimah-Ibn-Khaldun
http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/173032312201007141.pdf


[1] Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. XI.
[2] http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/173032312201007141.pdf
[3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 158.
[4] A. Somad Zawawi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: CV Anda Utama, 1993), hlm. 387.
[5]  http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/173032312201007141.pdf
[6] Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997),  hlm. 140.
[7] Redaksi, Ensiklopedi, hlm. 158.
[8] Zawawi, Ensiklopedi, hlm. 387.
[9] Husayu Ahmad Amin,Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 241.
[10]  http://www.scribd.com/doc/45969310/Historiografi-Islam-Muqaddimah-Ibn-Khaldun
[11]  Zawawi, Ensiklopedi, hlm. 387.
[12]  Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam  ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi), hlm. 151.
[13] Yatim, Historiografi, hlm. 151-152.
[14]  Ibid., hlm. 153-154.
[15] Ibid., hlm. 156.

1 komentar: