BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan budaya
dan peradaban Islam itulah ilmu sejarah dalam Islam lahir dan berkembang.
Ketika umat Islam sudah mencapai kemajuan dalam penulisan sejarah, tidak ada
bangsa lain pada waktu itu yang menulis sejarah seperti halnya kaum Muslimin.
Perkembangan penulisan biografidalam sejarah (historiografi) Islam dimulai
dengan penulisan riwayat Nabi Muhammad SAW. yang lebih dikenal dengan sirah an-Nabi wa maghazih (riwayat hidup
Nabi SAW. dan perang-perangnya) atau disingkat dengan al-sirah wa al-maghazih (riwayat hidup dan perang-perang Nabi SAW.)
saja. Menyusul setelah itu karya sejarah dalam bentuk al-Thabaqat (kumpulan biografi singkat) para sahabat, para tabi’in,
dan tabi’i at-tabiin, terutama mereka yang merawikan hadits, dan akhirnya
biografi para tokoh, yang didasarkan pada kesamaan profesi (al-mihan) atau pada kesamaan penguasaan
ilmu atau keahlian. Karya-karya sejarah seperti ini, muncul dengan judul-judul
yang beragam, yaitu al-thabaqat, al-siyar,
al-tarajim, dan al-mu’jam, yang
semuanya mempunyai arti yang sama, kumpulan biografi.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Ibn
Khaldun
Ibnu
Khaldun lahir di Tunis, Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M, nama
lengkap Ibnu Khaldun adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin Bin Khaldun, nama
kecilnya Abdurrahman, nama panggilan keluarga Abu Zaid. Nenek moyang Ibnu
Khaldun berasal dari Hadramaut, Yaman yang berimigrasi ke Sevilla (Andalusia/Spanyol).
Keluarga Ibnu Khaldun ini masih memiliki keturunan dengan Wail bin Hajar, salah
seorang sahabat nabi Muhammad SAW, Ibnu Khaldun terlahir dari keluarga Arab -
Spanyol ini sejak kecil sudah dekat dengan kehidupan intelektual dan politik.
Ayahnya bernama Abu Abdillah Muhammad, seorang mantan perwira militer yang
gemar mempelajari ilmu hukum, teologi dan sastra. Di usia 17 tahun, Ibnu
Khaldun telah menguasai ilmu Islam klasik, termasuk Aqliyah (ilmu kefilsafatan,
tasawuf), selain menggemari dunia ilmu pengetahuan, Ibnu Khaldun juga terlibat
dalam dunia politik.[2]
Keluarganya
berasal dari Hadramaut (kini Yaman) dan silsilahnya sampai kepada seorang
sahabat Nabi SAW bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah. Salah seorang cucu
Wail, Khalid bin Usman, memasuki daerah Andalusia bersama orang-orang Arab
penakluk pada awal abad ke-3 H (ke-9 M).anak cucu Khalid bin Usman membentuk
satu keluarga besar dengan nama Bani Khaldun. Bani itu lahir dan berkembang di
kota Qarmunah (kini Carmona) di Andalusia (Spanyol) sebelum hijrah ke kota
Isybilia (Sevilla). Di kota yang terakhir ini Bani Khaldun berhasil menduduki
beberapa jabatan penting.[3]
Riwayat
hidup tokoh ini sarat dengan aneka ragam pengalaman dan pengembaraan
intelektual yang memperkaya cakrawala berpikirnya. Masa kecil dan remajanya
dilalui di kota kelahirannya, dengan kegiatan belajar ilmu Al-Qur’an, hadis,
tata bahasa Arab dan ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu hukum, teologi, dan
filsafat. Tapi pada masa selanjutnya sejak ia berusia delapan belas tahun
sampai wafatnya, ia tidak menetap lagi disuatu kota atau tempat tertentu,
melainkan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.[4] Keluarga Ibnu Khaldun sebenarnya berasal dari wilayah
Seville, Spanyol, ketika dalam pemerintahan Islam. Ketika masa kanak-kanak,
beliau mempelajari al-Quran dari orang tuanya sebelum melanjutkan studi ke
jenjang yang lebih tinggi sambil dibantu sejarawan dan ulama Tunisia serta Spanyol.[5]
Secara umum kehidupan Ibn Khaldun dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu:
·
Pertama, fase kelahiran, perkembangan, dan studi. Fase ini berlangsung
sejak kelahiran sampai usia dua puluh tahun, yaitu dari tahun 732 H/1332 M
hingga tahun 751 H/ 1350 M. Fase ini dilaluinya di Tunis.
·
Kedua, fase bertugas di pemerintahan dan terjun ke dunia politik di Maghrib
dan Andalusia, yaitu tahun 751 H/1350 M sampai tahun 776 H/ 1374 M.
·
Ketiga, fase kepengarangan, ketika dia berpikir dan berkontemplasi di
Benteng Ibn Salamah milik Banu ‘Arui, yaitu sejak tahun 776 H/1374 M sampai 784
H/1382 M.
·
Keempat, fase mengajar dan bertugas sebagi Hakim Negeri di Mesir, yaitu
dari tahun 784 H/ 1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/ 1406 M.[6]
Dalam semua bidang studinya, ia mendapat nilai yang
sangat memuaskan dari gurunya. Akan tetapi, studinya secara tiba-tiba terhenti
akibat berjangkitnya penyakit pes pada 749 H di sebagian besar belahan dunia
bagian timur. Wabah itu merenggut ribuan nyawa. Akibatnya lebih jauh, penguasa
bersama ulama hijrah ke Maghrib Jauh (Maroko) pada 750 H. Oleh karena itu, ia
berusaha mendapatkan pekerjaan dan mencoba mengikuti jejak kakek-kakeknya di
dunia politik. Komunikasi yang dijalinnya dengan ulama dantokoh-tokoh terkenal
banyak membantunya dalam mencapai jabatan-jabatan tinggi.[7]
Sebagai seorang yang berkecimpung langsung dalam bidang politik ia berhasil
menduduki jabatan-jabatan penting dan strategis dalam pemerintahan di beberapa
dinasti Islam, baik sewaktu ia berada di Afrika maupun sewaktu berada di
Spanyol. Kepintarannya dalam bidang diplomasi membuat dirinya dikagumi, bukan
hanya oleh rekan-rekan seagamanya, melainkan juga oleh Pedro Sang Pembengis
dari Barat (Raja Kristen dari Spanyol) dan oleh Timur Lenk, Si Pincang dari
Timur (Raja Mongol).[8]
Ketika berada di Fez, Maroko
(1351-1382), ditandai oleh keterlibatan Ibnu Khaldun dalam politik praktis.
Ketika itu bakat Ibnu Khaldun yang sangat luar biasa telah tampak. Melalui
persekongkolannya dengan berbagai tokoh dan kelompok, Ibnu Khaldun berhasil memegang
berbagai jabatan yang tinggi tanpa meninggalkan perkembangan ilmu pengetahuan.
Keterlibatannya dalam politik praktis menyebabkannya mendekam dalam penjara
selama kira-kira dua tahun. Petualangan Ibnu Khaldun di bidang politik ini
tidak memberikannya ketenangan dan ketentraman sehinga ia melarikan diri ke
Andalusia dan berbakti kepada raja Muhammad yang sedang berkuasa di Andalusia
saat itu. Di Andalusia Ibnu Khaldun bertemu Ibnu al Khatib seorang pemikir dan
budayawan yang juga menjadi perdana menteri. Ketika berada di Andalusia inilah
Ibnu Khaldun mendapatkan tugas untuk mengadakan perundingan dengan Pedro yang
kejam, penguasa kristiani yang telah menjadikan Sevilla sebagai ibu kotanya.
Keberhasilan Ibnu Khaldun dalam perundingan ini menyebabkan raja semakin
percaya dan memberinya kedudukan penting. Keberhasilan yang diraih oleh Ibnu
Khaldun ini menimbulkan rasa isi pada sahabatnya Ibnu al Khatib, menyadari
gelagat ini Ibnu Khaldun memutuskan kembali ke Afrika Utara. Namun kembali lagi
ketika ia berada di Afrika utara ia terlibat kembali dalam politik praktis yang
ditandai dengan pertempuran dan persaingan yang tidak habis-habisnya antara
berbagai dinasti kecil yang ada. Hal ini membuktikan bahwa Ibnu Khaldun sangat
terkenal dan diharapkan oleh setiap penguasa untuk senantiasa berada dibarisannya, karena
perananya yang demikian besar dalam setiap pertempuran. Menyadari demikian berbahanya politik praktis maka
Ibnu Khaldun memutuskan untuk bergerak dibidang ilmu pengetahuan. Karenanya
Ibnu Khaldun mengasingkan diri di tengah padang pasir di Qol’at Bani Salamah di
daerah Aljazair. Disanalah lahirnya Muqoddimah yang membuat namanya
terkenal. Setalah empat tahun terpencil di Qol’at Bani Salamah ia kembali ke
Tunis untuk menyempurnakan tulisannya dengan menggunakan fasilitas perpustakaan
yang terdapat di Tunis Namun karena adanya dua hal yaitu :
-
Penguasa di Tunis ingin melibatkannya dalam politik
praktis
-
Para ahli ilmu pengetahuan tidak menerimanya dengan baik
bahkan menjadikannya sebagai saingan.
Maka Ibnu Khaldun meninggalkan Afrika Utara belahan Barat
dan pergi ke Timur dengan alasan menunaikan ibadah haji.
B. Metode Sejarah Ibn Khaldun
Dalam kajian sejarahnya tentang negara-negara Arab
Timur, Ibn Khaldun banyak bersandar kepada para ahli ssebelumnya.[9] Penulisan
sejarah membutuhkan sumber yang beragam, dan pengetahuan yang bermacam-macam.
Kedua sifat ini membawa sejarawan pada kebenaran, dan menyelamatkannya dari
berbagai ketergelinciran dan kesalahan. Dari bab pendahuluan kitab
Muqaddimah-nya, paling tidak, dapat disimpulkan pendapatnya tentang
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang sejarawan dan sebab-sebab
kesalahan dalam penulisan sejarah.
a. Syarat-Syarat Yang Harus di Penuhi Seorang Sejarawan
1. Memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip politik,
watak segala yang ada, perbedaan bangsa-bangsa, tempat-tempat dan priode-priode
dalam hubungannya dengan sistem kehidupan, nilai-nilai akhlak, kebiasaan,
sekte-sekte, mazhab-mazhab, dan segala ihwal lainnya. Selanjutnya iapun perlu
memiliki pengetahuan tentang situasi-situasi dan kondisi mendatang dalam semua
aspeknya.
2. Harus mampu membandingkan kesamaan dan perbedaan kini dengan masa lalu.
3. Harus mampu mengetahui keadaan dan sejarah orang-orang yang mendukung suatu peristiwa.
b. Sebab-sebab kesalahan dalam penulisan Sejarah
1.
Keberpihakan terhadap suatu pihak atau kepercayaan
2.
Terlalu percaya kepada penutur tanpa dilakukan ta’dil
dan tarjih
3.
Tidak sanggup memahami hakikat dari sebuah peristiwa
(maksud sebenarnya dari sebuah informasi)
4.
Memutlakkan sebuah kebenaran
5.
Tidak mampu menempatkan sebuah peristiwa dalam hubungannya
dengan peristiwa-perostiwa yang sebenarnya
6.
Adanya latar belakang kepentingan
7.
Tidak memahami hukum-hukum, watak dan perubahan masyarakat
8.
Kesalahan dalam memahami sebuah berita/informasi
9. Menganalogikan secara mutlak masa lalu dengan masa kini.[10]
Dengan cara tersebut, Ibn
Khaldin melakukan perubahan dalam penulisan sejarah dengan melakukan analisis
mendalam tentang peristwa sejarah.[11]
Sebagai sejarawan Ibn Khaldun mencatat peristiwa sejarah, namun lebih jauh ia
berusaha menemukan alasan yang menonjol dalam proses perubahan sejarah dan
mengemukakan sebuah teori yang dengannya dapat digunakan untuk memperkirakan
gambaran sejarah masa depan.[12]
C. Sebagai Filsosof Sejarah
Dalam hakekat sejarah, terkandung pengertian observasi
dan usaha mencari kebenaran (tahqiq), keterangan yang mendalam tentang sebab
dan asal benda wujudi, serta pengertian dan pengetahuan substansi, essensi, dan
sebab-sebab terjadinya peristiwa. Dengan demikian, sejarah benar-benar terhujam
berakar dalam filsafat, dan patut dianggap sebagai salah satu cabang filsafat.
Di dalam pengantar
kitab Muqodimmah-nya Ibn Khaldun membagi sejarah kedalam dua aspek: aspek
lahir dan sejarah tidak lebih daripada berita-berita tentang
peristiwa-peristiwa, negara-negara, dan kejadian-kejadian pada abad-abad yang
silam. Dan perjamuan-perjamuan besar, peristiwa-peristiwa itu dituturkan batin.
Secara lahir, sebagi sejian. Sedangkan secara batin (hakikat)-nya, dalam
sejarah terkandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran, keterangan
yang mendalam tentang sebab-sebab terjadinya peristiwa. Oleh kerena,
menurutnya, sejak lama elah timbul pikiran tentang hikmah mempelajari sejarah.
Dari penjelasan ibnu khaldun diatas, Zaynab
al-Khudhayari menyatakan, kalau aspek lahir adalah sejarah dalam pengertian
umumnya, maka aspek batinnya adalah salah satu cabang dari hikmah atau
flisafat, sebab ia mengkaji berbagai sebab peristiwa dan hukum-hukum yang
menggendalikannya.[13]
Dalam pengertian yang paling sedrhana, filsafat
sejarah adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis
untuk mengetahui faktor-faktor esensial yang mengendalikan peristiwa-peristiwa
historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang
mengarahkan perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan
generasi. Sebagian penulis berpendapat bahwa sejarah berjalan sesuai dengan
suatu kerangka tertentu dan bukannya secara acak-acakan, dan filsafat sejarah
adalah upaya untuk mengetahui kerangka tersebut yang diikuti sejarah dalam
perjalanannya, atau arah yang ditujunya, ataupun tujuan yang hendak dicapainya.
Dalam kasus yang demikian ini, filsafat sejarah merupakan wawasan atau
penilaian seseorang pemikir terhadap sejarah. Ibn Khaldun sendiri tidak
menggunakan ungkapan “ filsafat sejarah” sebagai sebutan kajiannya, tetapi
menyebutnya dengan nama “al-umran
al-basyari”, yang secara harfiah berarti masyarakat manusia. Namun, menurut
Zanab al-Khudhayri, banyak para peneliti yang berpendapat bahwa yang dimaksud
Ibn Khaldun dengan al-umran adalah
kebudayaan.[14]
Berdasarkan pemikiran filsafat sejarahnya, Ibn Khaldun
telah melahirkan bibit filsafat sejarah seperti:
·
Aliran sosial, karena dia berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial dapat
diinterpretasikan dan teori-teorinya dapat diikhtiarkan dari fakta-fakta sejarah.
·
Aliran ekonomi, yang menafsirkan sejarah secara materialistis dan
menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis serta merujukkan setiap
perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomenanya pada faktor-faktor ekonomi.
·
Aliran geografi, yang memandang bahwa manusia merupakan putera lingkungan
dan kondisi alamnya.[15]
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa Ibn Khaldun adalah seorang politikus. Ia telah memberikan peran dan
sumbangan yang unik sebagai sarana pendekatan kesejarahan. Muqaddimah merupakan karya pendahuluan dari karyanya yang lain
yakni kitab al-I’bar. Muqaddimah itu membuka jalan menuju
pembahasan ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu, dalam sejarah Islam, Ibn Khaldun
dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik. Ibn Khaldun juga memberikan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang sejarawan dan
sebab-sebab kesalahan dalam penulisan sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Yusri Abdul Ghani. Historiografi Islam
Dari Klasik Hingga Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Amin,
Husayu Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah
Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995.
Cyril
Glasse, Ensiklopedi Islam, diterjemahkan
oleh Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi
Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Yatim,
Badri. Historiografi Islam. Jakarta:
PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.
Zamawi,
A. Somad. Ensiklopedi Islam. Jakarta:
CV Anda Utama, 1993.
http://www.scribd.com/doc/45969310/Historiografi-Islam-Muqaddimah-Ibn-Khaldun
http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/173032312201007141.pdf
[1] Yusri
Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam
Dari Klasik Hingga Modern, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.
XI.
[3] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 158.
[9] Husayu
Ahmad Amin,Seratus Tokoh dalam Sejarah
Islam ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 241.
[10] http://www.scribd.com/doc/45969310/Historiografi-Islam-Muqaddimah-Ibn-Khaldun
[12] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999,
diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi), hlm. 151.
saya izin ikut ngutip ngehhhh
BalasHapus