BAB I
PENDAHULUAN
Usaha
sarjana-sarjana barat untuk melakukan studi tentang Islam pada khususnya dan
dunia Timur pada umumnya sudah sering dikemukakan penulis dalam beberapa karya
yang sudah dipublikasikan seperti Orientalisme dan Islam, perkembangan dan
pertumbuhan orientalisme, orientalisme dan studi tentang Islam, serta beberapa
artikel yang di muat dalam majalah ala-Jami’ah
dan Sinar Darussalam mengenai tokoh-tokoh terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan
di Barat seperti Ignaz Goldziher. Snouck Hurgronje, D.B. macDonald, H,A.R. Gib
dan lain-lain.[1]
Apa
yang disajikan sekarang khusus mengenai penulisan sejarah Islam yang dilakukan
oleh sarjana-sarjana Barat, jadi jadi disini tidak dikemukakan penulisan dalam
bidang hukum Islam, tasawuf dan tafsir, hadist dan sebagainy yang jumlahnya
cukup banyak.[2]
Christiaan
Snouck Hurgronje (1857-1936) memang figur kontroversial dalam pentas sejarah
Indonesia kontemporer. Polemik seputar pro dan kontra atas keberadaan Hurgronje
sebagai tokoh orientalis bagaikan danau dari mata air yang tak pernah kering
untuk terus direnangi oleh siapa pun.[3]
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
Snouck Hurgronje
Snouck
Hurgronje lahir pada tanggal 8 Febuari 1857. Ayahnya adalah seorang pendeta, ia
belajar Teologi Masehi pada sebuah lembaga yang dikhususkan bagi pengadaan dan
mempersipkan para pendeta. Kemudian ia mendalami bahasa Arab dan ilmu-ilmu
Islam yang lain, seraya mempersiapkan desertasi tentang menunaikan ibadah haji
ke Mekkah pada tahun 1880 M. Ia telah menyamar sebagai seorang muslim, kemudian
pergi ke Mekah dan bermukim disana kurang lebih selama enam bulan dengan
menggunakan nama Abdul Goffar. Ia memang dikenal sangat pandai memerankan peran
seorang muslim.
Di
Mekah ia banyak berpindah-pindah tempat mengaji dan banyak bergaul dengan para
ulama disana. Sekembalinya dari Mekah, ia bekerja untuk kepentingan negaranya
dalam usaha memperluas dan lebih memantapkan wilayah jajahannya. Ketika di
Indonesia, ia tetap berpura-pura menjadi seorang muslim bahkan sempat mengecoh
salah seorang pejabat pemerintah dan berhasil menikahi putrinya hingga
mempunyai beberapa orang anak. Salah satu fakta nyata yang melibatkan dirinya
untuk kepentingan penjajahan adalah pernyataan dan laporannya kepada Jendral Van
Houts untuk memerangi kaum muslim diseluruh wilayah jajahan Belanda. Disamping
itu, SH juga banyak membantu dalam pembinaan kader misionaris Belanda dan
membuka sekolahan untuk mengkristenkan muslimin di seluruh wilayah jajahannya.
B.
Kontribusi Penulisannya Dan Karya Snouck Hurgronje
Dalam
kalangan sarjana, Snouck Hurgronje terkenal dengan karyanya De Atjehers yang
terdiri dari dua jilid diterbitkan sekitar tahun 1893-1894. Buku ini telah
memberikan kontribusi penting sebagai pedoman untuk memerintah Hindia-Belanda
khususnya dalam usaha pemerintah kolonial Belanda menaklukkan Aceh. Bagi dunia
ilmu pengetahuan negeri Belanda, mereka sangat mengharapkan penerbitan
karya-karya Snouck Hurgronje. Atas usaha Oosters Institut di Leiden yang
bekerja sama dengan Panitia Nasional Penyusun Sejarah Belanda memoranda dan
referendum-referendum dari Snouck Hurgronje berhasil diterbitkan. Karya-karya
lain yang masih berserakan juga dikumpulkan dalam karangan yang berjudul
Verspreide Geschriften yang kesemuanya terdiri dari enam jilid.
Dia
banyak menulis buku-buku tentang Islam diantaranya yang berhubungan dengan haji
di Mekkah yang dicetak di Leiden judulnya ialah Mekkaanche Feest.
Karya-karyanya yang lain ialah : De Atjehers – Het Gajoland—Arabic en Oost
Indie, disamping itu banyak artikel-artikelnya yang ditulis di majlah-majalah
ilmiah.[4]
C.
Kontroversi Snouck
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje
en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun
1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam
upaya membantu penjajah Belanda untuk ‘menaklukkan Islam‘. Mengikuti
jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh
al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti
nama menjadi Abdul Ghaffar.
Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan
pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah
Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.[5]
Menurut Van Koningsveld, pemerintah
kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ‘penyamarannya’ sebagai
Muslim. Snouck dianggap oleh
banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ‘ulama‘. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Mufti Hindia Belanda“. Juga ada
yang memanggilnya “Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis
tentang Islam: “Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan
ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan
peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu
pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).[6]
Menurut Snouck, lapisan pribumi yang
berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh
Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan
Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional
mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan
mengalami kekalahan akhir melalui
asosiasi pemeluk agama ini ke
dalam kebudayaan Belanda. Dalam
perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan
adat. (hal. 43).[7]
Aqib Suminto mengupas beberapa
strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap
daerah yang Islamnya kuat semacam
Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak
merestui dilancarkan kristenisasi.
Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan
semangat mereka kearah yang menjauhi
agamanya (Islam) melalui asosiasi
kebudayaan.” (hal. 24).[8]
Yang pokok adalah bagaimana upaya
kita untuk menempatkan temuan-temuan tentang Hurgronje itu dalam relasi
kehidupan masa kini, terutama dalam konteks pembangunan di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Hanya dengan berupaya memahami fenomena Snouck Hurgronje dalam
relasi semacam itu, sebagaimana dikemukakan Dr Amirul Hadi MA dari IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh, baru kita mampu memberikan pemahaman yang kontekstual
terhadap pemikiran dan perilakunya. Dalam tulisannya di harian Kompas edisi 2
Februari 1983, menyusul polemik mengenai Snouck Hurgronje yang disulut
pernyataan Dr PS van Koningsveld, Remmelingk menyatakan, "Oleh karena
Snouck Hurgronje adalah tokoh yang pernah berdiri di tengah badai yang masih
mengamuk ini, kita harus berkepala dingin jika kita membicarakan
peranannya." Bahwa, menguasai sepenuhnya semua sumber tertulisnya harus
juga disertai pengetahuan yang lengkap mengenai realitas yang hidup.
Menurut tesis Hurgronje, seperti
halnya dalam kehidupan individu, dalam kehidupan masyarakat pun unsur-unsur agama
dan yang bukan agama terkait dan tak terpisahkan. Oleh karena itu, mereka yang
yang memang betul-betul ingin menyelami faktor Islam dalam kehidupan suatu
bangsa harus mengetahui pula aspek keseharian masyarakatnya. Permainan
anak-anak, kesenangan orang-orang dewasa, sastra profan, berikut tata
pengaturan desa, dalam banyak segi sama penting dengan kitab-kitab yang
digunakan dalam pengajaran agama, tarekat-tarekat mistik yang dipropagandakan
di daerah bersangkutan, atau posisi para ahli syariat. yarakat luas.
Amirul Hadi mencatat, dampak ikutan
dari kebijakan itu telah menimbulkan berbagai ketegangan. Revolusi sosial
berdarah di Aceh pada akhir tahun 1945 dan awal tahun 1946, yang dikenal dengan
Perang Cumbok, salah satu penyebabnya juga karena dipicu oleh sistem yang
diterapkan oleh pemerintahan kolonial dengan pola divide and rule-nya:
mempertentangkan posisi uleebalang dengan kaum ulama. Rekomendasi Hurgronje itu
memang berhasil mengukuhkan kekuasaan pemerintahan kolonial di tanah Aceh,
tetapi gagasan dan obsesinya untuk menciptakan apa yang dia sebut
"asosiasi budaya" antara pribumi dan Belanda gagal total.[9]
Hurgronje
ialah seorang ahli ilmu pengetahuan bangsa Belanda yang paling berpengaruh, dan
satu dari sekian banyak para oreintalis yang benar-benar men-dalami ajaran
Islam dengan sebaik-baiknya. Maka tidaklah mungkin akan meng-gambarkan sarjana
itu sebagaimana mes-tinya dalam bentuk uraian yang terbatas dan sederhana ini,
karena usaha itu akan merupakan kerja sepotong-sepotong. Oleh karena itu,
sesuai dengan subjudul di atas maka penulis hanya akan menyinggung hal-hal yang
berhubungan dengan pokok-pokok pikirannya saja.[10]
Sebelum
kita meneruskan uraian ini, kita tentu harus mengetahui terlebih dahulu bahwa
Hurgronje bukanlah seorang Islam dan dia mengambil Islam itu sebagai profesinya
tentu-lah didorong oleh tujuan tertentu. Oleh karena itu,
sebagai orang di luar Islam, tentu saja cara dia menilai atau menggambarkan
masalah-masalah yang timbul dalam Islam itu tidak akan terlepas dari
subjektivitas pribadi, bagaimana pun dia berusaha untuk bersikap objektif.
Na-mun demikian kita harus bersikap terbuka, sejauh kritik yang diajukannya itu
bersifat konstriktif. Penelitian dan kritik terhadap Tuhan sebagai pencipta
alam semesta nampak-nya tidak banyak menarik perhatian Hurgronje. Tetapi
diskusi dan pandangannya terhadap pribadi Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu
dan Quran ialah hal-hal yang paling banyak mendapat sorotannya. Begitu pun
studi mengenai bahasa Arab dan orang Islam serta cara hidup mereka mendapat
prioritas utama dalam pandangan Hurgronje. Dia sendiri mengakui terus terang
bahwa mempelajari bahasa Arab dan kehidupan spiritual orang Islam merupakan
satu cabang dari pengetahauan sejarah kemanusiaan yang paling penting. Misalnya
dia mengatakan “L’etude de langue arabe
et de la vie spirituelle don’t elle est devenue l’organe, est une branche tres
importante de lascience de l’histoire humaine (L’Arabie et les Indes
Neerlandaises. P 3)”[11]
Dilihat kembali
kepada pandangan orientalis terdahulu terhadap Nabi Muhammad nampaknya
Hurgronje tidaklah dapat dikatakan bertambah maju. Kalau orientalis zaman
pertengahan menganggap Nabi Muhammad itu bukanlah seorang Nabi yang
sesungguhnya telah menerima wahyu, maka Hurgronje masih mempertahan teori itu
pada abad ke-20 ini. Nampaknya dia tetap meragukan kerasulan Muham-mad, menolak
sehatnya pribadi beliau sebagai penerima wahyu dan mempertanyakan tentang
ketulusan dan kejujuran hati beliau untuk menyebarkan ajaran Islam. Muhammad
yang datang dibelakang disbanding nabi-nabi yang lainnya, menurut dia hanya
mencontoh dan meniru saja akan ajaran-ajaran agama terdahulu. Antara lain dia
mengatakan “There was no other way for
the unlettered Prophet, whose belief in his mission was unshaken to overcome
the difficulties entailed by his closer acquaintance with the tenest of other
religions (Mohammadenaism, p. 42)”[12]
Menurut
Hurgronje, tidak ada cara lain yang telah ditempuh oleh Nabi yang buta huruf
(Muhammad) yang mempunyai keyakinan tak tergoyahkan terhdap missinya itu untuk
mengatasikesulitan yang dihadapinya kecuali dengan mengaitkan ajaran-ajarannya
itu dengan ajaran agama lainnya. Menurut Hurgronje setelah meneliti secara
ilmiah, mempelajari beberapa bahagian penting dari kehidupan pribadi Nabi,
“...sebenarnya seruan Muhammad itu atas kerasulannya didorong oleh perasaan
tidak puas semasa remajanya ditambah dengan kepercayaan pada diri sendiri yang
kuat serta dorongan spiritual yang tinggi terhadap lingkungannya. Motivasi
sesungguhnya dari seruan itu adalah pengaruh ajaran agama Yahudi dan Kristen
(terhadap dirinya)...” (Mohamadenism, p 43)[13]
Setelah berkecimpung
dalam soal-soal Islam selama puluhan tahun, kelihatannya Hurgronje masih tetap
mendukung pendapat dan jalan pikiran orang-orang terdahulu dari padanya. Bahkan
tuduhan palsu yang ditujukan oleh orang kafir Qurasyi terhadap pribadi Nabi
selama ribuan tahun sebelum-nya masih tetap disokongnya. Perhatikanlah
kata-katanya di bawah ini:
But as soon as we try to give a positive name to this
negative quality then we do the same at the heathens of Mecca, who were
violently awakened by this thundering prophecies. He is nothing but one
posses-sed a poet, a soothsayer, a sorcerer, they said whether we say with the
European biographers “impostor” or with the modern ones put “ epileptic, or
“hysteric”, in its place”, makes little difference. (Mohamadenism, p 43)[14]
Bagi dia, apa
pun cacian yang dilemparkan oleh orang kafir Mekkah terhadap Muhammad seperti
penyair, tukang tenung dan sebagainya, atau pembohong, epilepsi dan hysteria
sebagai yang dituduhkan orientalis terdahulu, semuanya itu adalah wajar dan
dapat diterima. Pendeknya bagi dia, Muhammad tidak dapat diakui sebagai Nabi
yang sesungguhnya. Menurut logika Hurgronje, karena Nabi Muhammad datang
setelah Nabi Musa dan Isa maka dia haruslah membawa dan menyebarkan kembali
ajaran-ajaran mereka. Islam tidak ada artinya kecuali dengan ajaran-ajaran
Kristen dan Yahudi. Katanya “Yet, the
influence of Christianity upon Mohammed’s vocation was very great, without the
Christian idea of the final scene of human history of the Ressurection of the
Dead and the Last Judgment, Mohammad’s mission have no meaning...
(Mohamadenism, p 33)”[15]
Di antara ide
dan ajaran Kristen yang diambil oleh Nabi Muhammad, menurut Hurgronje adalah
mengenai kebangkitan setalah mati serta pembalasan di hari yang akhir. Tanpa
kedua hal ini, katanya, ajaran Islam tidak ada artinya. Jadi, menurut
Hurgronje, kalau Muhammad ingin sukses dengan seruan kenabiannya, maka ia harus
menjadi missionary Kristen atau Yahudi (...he might have become a mi-ssionary
of Yudaism or of Cristianity to the Meccans) (Mohamadenism, p 34-35)[16]
Kalau kita lihat
statement Hurgronje di atas, maka kita kan berkesimpulan bahwa ternyata
Hurgronje kurang adil dalam menilai masalah. Seperti katanya, Islam tidak ada
artinya kalau tidak mengambil ajaran-ajaran Kristen mengenai hari kebangkitan
dan hari pembalasan. Sebagaimana kita kenal dalam Islam bahwa beriman kepada
keesaan Allah yang Maha Agung adalah merupakan tiang utama dan urat tunggang
dari kepercayaan seorang Muslim sedangkan lima rukun iman lainnya haruslah
bersumber dan berhubungan erat dengan yang pertama. Percaya kepada keesaan
Allah tanpa embel-embel adalah masalah utama yang dapat perhatian dalam
theo-logy Islam. Persoalan keesaan Allah itu kurang mendapat perhatian yang
sewajarnya dalam alam pikiran Hurgronje, ka-lau tidak akan dikatakan tidak
mendapat tempat sama sekali. Yang menjadi sorotan Hurgronje adalah pribadi Nabi
Muhammad dan sincerity-nya beliau dalam me-nyebarkan agamanya. Menurut pendapat
kita, Hurgronje terlalu yakin akan kebenaran agama yang dianutnya, sehingga
masalah yang paling prinsipil, yaitu mengenai ke Esaan Tuhan tidak lagi
diusikusiknya. Alasan apa yang sebenarnya menahan Hurgronje untuk mendiskusikan
keesaan Allah yang diajarkan oleh Muham-mad masih merupakan tanda tanya yang
belum dapat kita jawab pada kesempatan ini.Coba kita lihat pula uraian
Hurgronje berikut mengenai wahyu (revelation) yang diterima oleh Nabi Muhammad:[17]
At length he saw
and heard that which he thought he ought to hear and see. In feverish dreams he
found the form for the revelation, and he did not in the least realize that the
contents of his inspiration from heaven were nothing but the result of what him
self absorbed. He realized it so little, that the identity of what was revealed
to him with what he held to be the contents of the scriptures of Jews and
Christians was a miracle to him, the only miracle upan which he relied for the
support of his mission. (Mohamadenism, p 36)[18]
Di sini
Hurgronje tetap mempertahankan pendiriannya bahwa wahyu yang di-terima oleh
Nabi Muhammad dari Tuhan, sebenarnya bukanlah wahyu, tetapi angan-angan saja.
Sedangkan yang dianggapnya mukzizat, demikian Hurgronje, tidak lain dari
kumpulan apa yang dinamaknnya wahyu yang berasal dari ajaran Kristen dan
Yahudi. Kalau kita lihat sesungguhnya argumentasi Hurgronje di atas kurang
da-pat dipahami secara baik apalagi oleh orang-orang terpelajar. Bagaimana
mungkin seseorang yang menderita hysteria dan epilepsy akan menerima wahyu dari
Tuhan, padahal seseorang yang akan diangkat menjadi Nabi dan Rasul itu adalah
orang-orang yang dipilih oleh Tuhan, tidak bercacat baik jasmani maupun
rohaninya. Jangankan untuk menjadi Nabi dan Rasul, saya kira, kalau Hurgronje
ditanya apakah dia mau megikuti atau tunduk kepada orang yang berpenyakit
hysteria atau epilepsy, apakah itu lurah, camat atau bupati, sudah dapat
diperkirakan bahwa dia akan mengajukan protes keras, sebagai pertanda tidak
setuju. Dan kalau seruan Muhammad itu kepada umat manusia untuk mengikuti
ajaran yang dibawanya hanyalah berupa angan-angan saja, bagaimana mungkin ia
akam mampu mere-produksi seluruh ayat al Qur’an dengan sebaik-baiknya, dan
semuanya itu tetap melekat dan berada dalam ingatannya selama hidupnya. Kalau
apa yang diucapkannya itu hanyalah khayalan saja tentu agak sekali dalam
hidupnya dia akan tersalah dan keseleo menyebutkan urut-urut ayat beserta
peristiwa-peristiwa yang mengiringinya. Kiranya dia pembohong bagaimana pula
dia akan mampu mempertahankan kebohongannya itu terus menerus tanpa mengalami
bermacam-macam komplikasi jiwa yang mengganggu kete-nangan hidupnya seperti
tingkah laku sadis dan meru-gikan orang lain. Sebab untuk mempertahankan
kebohongan itu orang harus melakukan segala macam cara, kalau perlu mengadakan
intimidasi, terror atau membunuh orang lain yang mungkin akan membukakan tabir
kebohongannya. Setahu saya di dalam kehidupannya yang berjalan sampai enam
puluh tahun itu, tidak ada peristiwa di atas yang pernah terjadi pada diri Nabi
Muhammad. Apalagi kalau kita lihat pada karakter ajaran Islam itu sendiri.
Kebebasan berfikir dan mempertanyakan masalah-masalah keislaman tidak pernah
tertutup dalam ajaran ini, bagaimana mungkin Muhammad dan para sahabatnya akan
mampu mempertahankan dengan kata lain bahwa pokok-pokok ajaran agama dan
prakteknya hanya menjadi milik ahli agama, sedangkan orang biasa hanya boleh
atau harus mengikuti saja sebagaimana yang diajarkan oleh pemimpin mereka.
Agama Islam bukanlah agama untuk orang-orang besar atau pun orang-orang
terhormat saja tetapi dia juga agama dari orang-orang yang lemah dan rakyat
biasa. Semua mereka berkewajiban mempelajari dan mendalami masa lah-masalah
yang bersangkutan de ngan agama. Berdasarkan jawaban kita ini, maka dengan rasa
berat terpaksa kita mengatakan bahwa argumentasi dan pendapat Hurgronje yang
menyatakan Nabi Muhammad itu seorang pembo hong, berpenyakit dan sebagainya,
ialah pendapat lemah.[19]
BAB III
PENUTUP
Snouck
Hurgronje wafat pada tahun 1936 M. Pada tanggal 10 Febuari 1957 dalam rangka
memperingati 100 tahun lahirnya SH, Universitas Leaden mengadakan suatu upacara
yang bertempat diruangan audiensi kotapraja Leiden. Dalam upacara tersebut
dikemukakan suatu ceramah mengenai SH yang berhubungan dengan kegiatannya dalam
bidang Islamic Studies yang
disampaikan oleh Prof. DR. G. W. J. Drewes yang pada waktu itu menjadi Guru
Besar Islamic Studies di Universitas
Leaden. Bagi Universitas Leaden, nama Snouck Hurgronje adalah kebanggaan
mereka, karena ia telah memberikan sumbangan yang amat besar dalam melapangkan
ilmu pengetahuan Islam. Ilmu tersebut bukan saja dinikmati kalangan universitas
tetapi juga pemerintah Belanda yang sengaja memanfaatkan hasil penelitiannya
untuk tujuan-tujuan penetrasi politik kolonialnya di Hindia-Belanda.
Sebagai
seorang sarjana yang ahli dalam bahasa arab dan Islamic Studies Snouck Hurgronje memilih Islam sebagai objek
studinya. Dalam bidang ini ada tiga problema yang menarik perhatiannya. Yang
pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan? Yang kedua, apa arti
Islam dalam kehidupan sehari-hari? Yang ketiga, bagaimana cara memerintah
orang-orang Islam sehingga melapangkan jalan menuju dunia modern dan bila
mungkin mengajak orang-orang Islam bekerja sama guna membangun suatu peradaban
yang universal?
DAFTAR PUSTAKA
Umar A. Muin, Orientalisme Dan Study Tentang Islam,
Bulan Bintang, Jakarta 1978
Umar H. A. Muin, Historiografi Islam, Rajawali Pers
Jakarta, 1988
http://id.shvoong.com/social-sciences/1690979-fenomena-snouck-hurgronje-di-pentas/#ixzz1OnKbbmh4. Diakses pada tanggal 10 Juni
http://indrayogi.multiply.com/reviews/item/151, akses 10 juni2011
http://mohdfikri.com/blog/biografi-tokoh/tokoh-orientalis/christiaan-snouckhurgronje-1857-1936.html. Diakses pada tanggal 10 Juni
http://id.shvoong.com/social-sciences/1690979-fenomena-snouck-hurgronje-di-pentas/#ixzz1OnKbbmh4. Diakses pada tanggal 10 Juni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar