Senin, 11 Maret 2013

Snouck Hurgronje



BAB I
PENDAHULUAN
Usaha sarjana-sarjana barat untuk melakukan studi tentang Islam pada khususnya dan dunia Timur pada umumnya sudah sering dikemukakan penulis dalam beberapa karya yang sudah dipublikasikan seperti Orientalisme dan Islam, perkembangan dan pertumbuhan orientalisme, orientalisme dan studi tentang Islam, serta beberapa artikel yang di muat dalam majalah ala-Jami’ah dan Sinar Darussalam mengenai tokoh-tokoh terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan di Barat seperti Ignaz Goldziher. Snouck Hurgronje, D.B. macDonald, H,A.R. Gib dan lain-lain.[1]
Apa yang disajikan sekarang khusus mengenai penulisan sejarah Islam yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat, jadi jadi disini tidak dikemukakan penulisan dalam bidang hukum Islam, tasawuf dan tafsir, hadist dan sebagainy yang jumlahnya cukup banyak.[2]
Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) memang figur kontroversial dalam pentas sejarah Indonesia kontemporer. Polemik seputar pro dan kontra atas keberadaan Hurgronje sebagai tokoh orientalis bagaikan danau dari mata air yang tak pernah kering untuk terus direnangi oleh siapa pun.[3]



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Riwayat Hidup Snouck Hurgronje
Snouck Hurgronje lahir pada tanggal 8 Febuari 1857. Ayahnya adalah seorang pendeta, ia belajar Teologi Masehi pada sebuah lembaga yang dikhususkan bagi pengadaan dan mempersipkan para pendeta. Kemudian ia mendalami bahasa Arab dan ilmu-ilmu Islam yang lain, seraya mempersiapkan desertasi tentang menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada tahun 1880 M. Ia telah menyamar sebagai seorang muslim, kemudian pergi ke Mekah dan bermukim disana kurang lebih selama enam bulan dengan menggunakan nama Abdul Goffar. Ia memang dikenal sangat pandai memerankan peran seorang muslim.
Di Mekah ia banyak berpindah-pindah tempat mengaji dan banyak bergaul dengan para ulama disana. Sekembalinya dari Mekah, ia bekerja untuk kepentingan negaranya dalam usaha memperluas dan lebih memantapkan wilayah jajahannya. Ketika di Indonesia, ia tetap berpura-pura menjadi seorang muslim bahkan sempat mengecoh salah seorang pejabat pemerintah dan berhasil menikahi putrinya hingga mempunyai beberapa orang anak. Salah satu fakta nyata yang melibatkan dirinya untuk kepentingan penjajahan adalah pernyataan dan laporannya kepada Jendral Van Houts untuk memerangi kaum muslim diseluruh wilayah jajahan Belanda. Disamping itu, SH juga banyak membantu dalam pembinaan kader misionaris Belanda dan membuka sekolahan untuk mengkristenkan muslimin di seluruh wilayah jajahannya.

B.     Kontribusi Penulisannya Dan Karya Snouck Hurgronje
Dalam kalangan sarjana, Snouck Hurgronje terkenal dengan karyanya De Atjehers yang terdiri dari dua jilid diterbitkan sekitar tahun 1893-1894. Buku ini telah memberikan kontribusi penting sebagai pedoman untuk memerintah Hindia-Belanda khususnya dalam usaha pemerintah kolonial Belanda menaklukkan Aceh. Bagi dunia ilmu pengetahuan negeri Belanda, mereka sangat mengharapkan penerbitan karya-karya Snouck Hurgronje. Atas usaha Oosters Institut di Leiden yang bekerja sama dengan Panitia Nasional Penyusun Sejarah Belanda memoranda dan referendum-referendum dari Snouck Hurgronje berhasil diterbitkan. Karya-karya lain yang masih berserakan juga dikumpulkan dalam karangan yang berjudul Verspreide Geschriften yang kesemuanya terdiri dari enam jilid.
Dia banyak menulis buku-buku tentang Islam diantaranya yang berhubungan dengan haji di Mekkah yang dicetak di Leiden judulnya ialah Mekkaanche Feest. Karya-karyanya yang lain ialah : De Atjehers – Het Gajoland—Arabic en Oost Indie, disamping itu banyak artikel-artikelnya yang ditulis di majlah-majalah ilmiah.[4]

C.   Kontroversi Snouck
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ‘menaklukkan Islam‘. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.[5]
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ‘penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ‘ulama‘. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Mufti Hindia Belanda“. Juga ada yang memanggilnya “Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: “Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).[6]
Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).[7]
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).[8]
Yang pokok adalah bagaimana upaya kita untuk menempatkan temuan-temuan tentang Hurgronje itu dalam relasi kehidupan masa kini, terutama dalam konteks pembangunan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hanya dengan berupaya memahami fenomena Snouck Hurgronje dalam relasi semacam itu, sebagaimana dikemukakan Dr Amirul Hadi MA dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, baru kita mampu memberikan pemahaman yang kontekstual terhadap pemikiran dan perilakunya. Dalam tulisannya di harian Kompas edisi 2 Februari 1983, menyusul polemik mengenai Snouck Hurgronje yang disulut pernyataan Dr PS van Koningsveld, Remmelingk menyatakan, "Oleh karena Snouck Hurgronje adalah tokoh yang pernah berdiri di tengah badai yang masih mengamuk ini, kita harus berkepala dingin jika kita membicarakan peranannya." Bahwa, menguasai sepenuhnya semua sumber tertulisnya harus juga disertai pengetahuan yang lengkap mengenai realitas yang hidup.

Menurut tesis Hurgronje, seperti halnya dalam kehidupan individu, dalam kehidupan masyarakat pun unsur-unsur agama dan yang bukan agama terkait dan tak terpisahkan. Oleh karena itu, mereka yang yang memang betul-betul ingin menyelami faktor Islam dalam kehidupan suatu bangsa harus mengetahui pula aspek keseharian masyarakatnya. Permainan anak-anak, kesenangan orang-orang dewasa, sastra profan, berikut tata pengaturan desa, dalam banyak segi sama penting dengan kitab-kitab yang digunakan dalam pengajaran agama, tarekat-tarekat mistik yang dipropagandakan di daerah bersangkutan, atau posisi para ahli syariat. yarakat luas.

Amirul Hadi mencatat, dampak ikutan dari kebijakan itu telah menimbulkan berbagai ketegangan. Revolusi sosial berdarah di Aceh pada akhir tahun 1945 dan awal tahun 1946, yang dikenal dengan Perang Cumbok, salah satu penyebabnya juga karena dipicu oleh sistem yang diterapkan oleh pemerintahan kolonial dengan pola divide and rule-nya: mempertentangkan posisi uleebalang dengan kaum ulama. Rekomendasi Hurgronje itu memang berhasil mengukuhkan kekuasaan pemerintahan kolonial di tanah Aceh, tetapi gagasan dan obsesinya untuk menciptakan apa yang dia sebut "asosiasi budaya" antara pribumi dan Belanda gagal total.[9]

Hurgronje ialah seorang ahli ilmu pengetahuan bangsa Belanda yang paling berpengaruh, dan satu dari sekian banyak para oreintalis yang benar-benar men-dalami ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Maka tidaklah mungkin akan meng-gambarkan sarjana itu sebagaimana mes-tinya dalam bentuk uraian yang terbatas dan sederhana ini, karena usaha itu akan merupakan kerja sepotong-sepotong. Oleh karena itu, sesuai dengan subjudul di atas maka penulis hanya akan menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan pokok-pokok pikirannya saja.[10]
Sebelum kita meneruskan uraian ini, kita tentu harus mengetahui terlebih dahulu bahwa Hurgronje bukanlah seorang Islam dan dia mengambil Islam itu sebagai profesinya tentu-lah didorong oleh tujuan tertentu. Oleh karena itu, sebagai orang di luar Islam, tentu saja cara dia menilai atau menggambarkan masalah-masalah yang timbul dalam Islam itu tidak akan terlepas dari subjektivitas pribadi, bagaimana pun dia berusaha untuk bersikap objektif. Na-mun demikian kita harus bersikap terbuka, sejauh kritik yang diajukannya itu bersifat konstriktif. Penelitian dan kritik terhadap Tuhan sebagai pencipta alam semesta nampak-nya tidak banyak menarik perhatian Hurgronje. Tetapi diskusi dan pandangannya terhadap pribadi Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu dan Quran ialah hal-hal yang paling banyak mendapat sorotannya. Begitu pun studi mengenai bahasa Arab dan orang Islam serta cara hidup mereka mendapat prioritas utama dalam pandangan Hurgronje. Dia sendiri mengakui terus terang bahwa mempelajari bahasa Arab dan kehidupan spiritual orang Islam merupakan satu cabang dari pengetahauan sejarah kemanusiaan yang paling penting. Misalnya dia mengatakan “L’etude de langue arabe et de la vie spirituelle don’t elle est devenue l’organe, est une branche tres importante de lascience de l’histoire humaine (L’Arabie et les Indes Neerlandaises. P 3)”[11]
Dilihat kembali kepada pandangan orientalis terdahulu terhadap Nabi Muhammad nampaknya Hurgronje tidaklah dapat dikatakan bertambah maju. Kalau orientalis zaman pertengahan menganggap Nabi Muhammad itu bukanlah seorang Nabi yang sesungguhnya telah menerima wahyu, maka Hurgronje masih mempertahan teori itu pada abad ke-20 ini. Nampaknya dia tetap meragukan kerasulan Muham-mad, menolak sehatnya pribadi beliau sebagai penerima wahyu dan mempertanyakan tentang ketulusan dan kejujuran hati beliau untuk menyebarkan ajaran Islam. Muhammad yang datang dibelakang disbanding nabi-nabi yang lainnya, menurut dia hanya mencontoh dan meniru saja akan ajaran-ajaran agama terdahulu. Antara lain dia mengatakan “There was no other way for the unlettered Prophet, whose belief in his mission was unshaken to overcome the difficulties entailed by his closer acquaintance with the tenest of other religions (Mohammadenaism, p. 42)”[12]
Menurut Hurgronje, tidak ada cara lain yang telah ditempuh oleh Nabi yang buta huruf (Muhammad) yang mempunyai keyakinan tak tergoyahkan terhdap missinya itu untuk mengatasikesulitan yang dihadapinya kecuali dengan mengaitkan ajaran-ajarannya itu dengan ajaran agama lainnya. Menurut Hurgronje setelah meneliti secara ilmiah, mempelajari beberapa bahagian penting dari kehidupan pribadi Nabi, “...sebenarnya seruan Muhammad itu atas kerasulannya didorong oleh perasaan tidak puas semasa remajanya ditambah dengan kepercayaan pada diri sendiri yang kuat serta dorongan spiritual yang tinggi terhadap lingkungannya. Motivasi sesungguhnya dari seruan itu adalah pengaruh ajaran agama Yahudi dan Kristen (terhadap dirinya)...” (Mohamadenism, p 43)[13]
Setelah berkecimpung dalam soal-soal Islam selama puluhan tahun, kelihatannya Hurgronje masih tetap mendukung pendapat dan jalan pikiran orang-orang terdahulu dari padanya. Bahkan tuduhan palsu yang ditujukan oleh orang kafir Qurasyi terhadap pribadi Nabi selama ribuan tahun sebelum-nya masih tetap disokongnya. Perhatikanlah kata-katanya di bawah ini:
But as soon as we try to give a positive name to this negative quality then we do the same at the heathens of Mecca, who were violently awakened by this thundering prophecies. He is nothing but one posses-sed a poet, a soothsayer, a sorcerer, they said whether we say with the European biographers “impostor” or with the modern ones put “ epileptic, or “hysteric”, in its place”, makes little difference. (Mohamadenism, p 43)[14]
Bagi dia, apa pun cacian yang dilemparkan oleh orang kafir Mekkah terhadap Muhammad seperti penyair, tukang tenung dan sebagainya, atau pembohong, epilepsi dan hysteria sebagai yang dituduhkan orientalis terdahulu, semuanya itu adalah wajar dan dapat diterima. Pendeknya bagi dia, Muhammad tidak dapat diakui sebagai Nabi yang sesungguhnya. Menurut logika Hurgronje, karena Nabi Muhammad datang setelah Nabi Musa dan Isa maka dia haruslah membawa dan menyebarkan kembali ajaran-ajaran mereka. Islam tidak ada artinya kecuali dengan ajaran-ajaran Kristen dan Yahudi. Katanya “Yet, the influence of Christianity upon Mohammed’s vocation was very great, without the Christian idea of the final scene of human history of the Ressurection of the Dead and the Last Judgment, Mohammad’s mission have no meaning... (Mohamadenism, p 33)”[15]
Di antara ide dan ajaran Kristen yang diambil oleh Nabi Muhammad, menurut Hurgronje adalah mengenai kebangkitan setalah mati serta pembalasan di hari yang akhir. Tanpa kedua hal ini, katanya, ajaran Islam tidak ada artinya. Jadi, menurut Hurgronje, kalau Muhammad ingin sukses dengan seruan kenabiannya, maka ia harus menjadi missionary Kristen atau Yahudi (...he might have become a mi-ssionary of Yudaism or of Cristianity to the Meccans) (Mohamadenism, p 34-35)[16]
Kalau kita lihat statement Hurgronje di atas, maka kita kan berkesimpulan bahwa ternyata Hurgronje kurang adil dalam menilai masalah. Seperti katanya, Islam tidak ada artinya kalau tidak mengambil ajaran-ajaran Kristen mengenai hari kebangkitan dan hari pembalasan. Sebagaimana kita kenal dalam Islam bahwa beriman kepada keesaan Allah yang Maha Agung adalah merupakan tiang utama dan urat tunggang dari kepercayaan seorang Muslim sedangkan lima rukun iman lainnya haruslah bersumber dan berhubungan erat dengan yang pertama. Percaya kepada keesaan Allah tanpa embel-embel adalah masalah utama yang dapat perhatian dalam theo-logy Islam. Persoalan keesaan Allah itu kurang mendapat perhatian yang sewajarnya dalam alam pikiran Hurgronje, ka-lau tidak akan dikatakan tidak mendapat tempat sama sekali. Yang menjadi sorotan Hurgronje adalah pribadi Nabi Muhammad dan sincerity-nya beliau dalam me-nyebarkan agamanya. Menurut pendapat kita, Hurgronje terlalu yakin akan kebenaran agama yang dianutnya, sehingga masalah yang paling prinsipil, yaitu mengenai ke Esaan Tuhan tidak lagi diusikusiknya. Alasan apa yang sebenarnya menahan Hurgronje untuk mendiskusikan keesaan Allah yang diajarkan oleh Muham-mad masih merupakan tanda tanya yang belum dapat kita jawab pada kesempatan ini.Coba kita lihat pula uraian Hurgronje berikut mengenai wahyu (revelation) yang diterima oleh Nabi Muhammad:[17]
At length he saw and heard that which he thought he ought to hear and see. In feverish dreams he found the form for the revelation, and he did not in the least realize that the contents of his inspiration from heaven were nothing but the result of what him self absorbed. He realized it so little, that the identity of what was revealed to him with what he held to be the contents of the scriptures of Jews and Christians was a miracle to him, the only miracle upan which he relied for the support of his mission. (Mohamadenism, p 36)[18]
Di sini Hurgronje tetap mempertahankan pendiriannya bahwa wahyu yang di-terima oleh Nabi Muhammad dari Tuhan, sebenarnya bukanlah wahyu, tetapi angan-angan saja. Sedangkan yang dianggapnya mukzizat, demikian Hurgronje, tidak lain dari kumpulan apa yang dinamaknnya wahyu yang berasal dari ajaran Kristen dan Yahudi. Kalau kita lihat sesungguhnya argumentasi Hurgronje di atas kurang da-pat dipahami secara baik apalagi oleh orang-orang terpelajar. Bagaimana mungkin seseorang yang menderita hysteria dan epilepsy akan menerima wahyu dari Tuhan, padahal seseorang yang akan diangkat menjadi Nabi dan Rasul itu adalah orang-orang yang dipilih oleh Tuhan, tidak bercacat baik jasmani maupun rohaninya. Jangankan untuk menjadi Nabi dan Rasul, saya kira, kalau Hurgronje ditanya apakah dia mau megikuti atau tunduk kepada orang yang berpenyakit hysteria atau epilepsy, apakah itu lurah, camat atau bupati, sudah dapat diperkirakan bahwa dia akan mengajukan protes keras, sebagai pertanda tidak setuju. Dan kalau seruan Muhammad itu kepada umat manusia untuk mengikuti ajaran yang dibawanya hanyalah berupa angan-angan saja, bagaimana mungkin ia akam mampu mere-produksi seluruh ayat al Qur’an dengan sebaik-baiknya, dan semuanya itu tetap melekat dan berada dalam ingatannya selama hidupnya. Kalau apa yang diucapkannya itu hanyalah khayalan saja tentu agak sekali dalam hidupnya dia akan tersalah dan keseleo menyebutkan urut-urut ayat beserta peristiwa-peristiwa yang mengiringinya. Kiranya dia pembohong bagaimana pula dia akan mampu mempertahankan kebohongannya itu terus menerus tanpa mengalami bermacam-macam komplikasi jiwa yang mengganggu kete-nangan hidupnya seperti tingkah laku sadis dan meru-gikan orang lain. Sebab untuk mempertahankan kebohongan itu orang harus melakukan segala macam cara, kalau perlu mengadakan intimidasi, terror atau membunuh orang lain yang mungkin akan membukakan tabir kebohongannya. Setahu saya di dalam kehidupannya yang berjalan sampai enam puluh tahun itu, tidak ada peristiwa di atas yang pernah terjadi pada diri Nabi Muhammad. Apalagi kalau kita lihat pada karakter ajaran Islam itu sendiri. Kebebasan berfikir dan mempertanyakan masalah-masalah keislaman tidak pernah tertutup dalam ajaran ini, bagaimana mungkin Muhammad dan para sahabatnya akan mampu mempertahankan dengan kata lain bahwa pokok-pokok ajaran agama dan prakteknya hanya menjadi milik ahli agama, sedangkan orang biasa hanya boleh atau harus mengikuti saja sebagaimana yang diajarkan oleh pemimpin mereka. Agama Islam bukanlah agama untuk orang-orang besar atau pun orang-orang terhormat saja tetapi dia juga agama dari orang-orang yang lemah dan rakyat biasa. Semua mereka berkewajiban mempelajari dan mendalami masa lah-masalah yang bersangkutan de ngan agama. Berdasarkan jawaban kita ini, maka dengan rasa berat terpaksa kita mengatakan bahwa argumentasi dan pendapat Hurgronje yang menyatakan Nabi Muhammad itu seorang pembo hong, berpenyakit dan sebagainya, ialah pendapat lemah.[19]



















BAB III
PENUTUP
Snouck Hurgronje wafat pada tahun 1936 M. Pada tanggal 10 Febuari 1957 dalam rangka memperingati 100 tahun lahirnya SH, Universitas Leaden mengadakan suatu upacara yang bertempat diruangan audiensi kotapraja Leiden. Dalam upacara tersebut dikemukakan suatu ceramah mengenai SH yang berhubungan dengan kegiatannya dalam bidang Islamic Studies yang disampaikan oleh Prof. DR. G. W. J. Drewes yang pada waktu itu menjadi Guru Besar Islamic Studies di Universitas Leaden. Bagi Universitas Leaden, nama Snouck Hurgronje adalah kebanggaan mereka, karena ia telah memberikan sumbangan yang amat besar dalam melapangkan ilmu pengetahuan Islam. Ilmu tersebut bukan saja dinikmati kalangan universitas tetapi juga pemerintah Belanda yang sengaja memanfaatkan hasil penelitiannya untuk tujuan-tujuan penetrasi politik kolonialnya di Hindia-Belanda.
Sebagai seorang sarjana yang ahli dalam bahasa arab dan Islamic Studies Snouck Hurgronje memilih Islam sebagai objek studinya. Dalam bidang ini ada tiga problema yang menarik perhatiannya. Yang pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan? Yang kedua, apa arti Islam dalam kehidupan sehari-hari? Yang ketiga, bagaimana cara memerintah orang-orang Islam sehingga melapangkan jalan menuju dunia modern dan bila mungkin mengajak orang-orang Islam bekerja sama guna membangun suatu peradaban yang universal?







DAFTAR PUSTAKA

Umar A. Muin, Orientalisme Dan Study Tentang Islam, Bulan Bintang, Jakarta 1978
Umar H. A. Muin, Historiografi Islam, Rajawali Pers Jakarta, 1988
Tulisan Adian Husaini  http://www.muslimdaily.net/. Diakses pada tanggal 10 Juni




[1] Orientalisme Dan Study Tentang Islam, Hlm 37

[2] Historiografi Islam, Drs. H. A. Muin Umar , Hlm, 129-130
[4] ibid
[5] Tulisan Adian Husaini  http://www.muslimdaily.net/

[6] ibid
[7] ibid
[8] ibid
[10] Murni Djamal yang diterbitkan dalam Majalah Panji Masyarakat edisi 217 (15 Februari 1977)

[11] Ibid.
[12] ibid
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar